Apa Yang Dimaksud Dengan Perceraian....?
Definisi talak atau perceraian menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikan bahwa talak
sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan di masa yang akan datang.
Yang dimaksud secara langsung adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya
langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami. Sedangkan yang
dimaksud di masa yang akan datang adalah berlakunya hukum talak tersebut
tertunda oleh sesuatu hal. [1]
Perceraian dalam istilah Arab adalah thalaq
(melepas atau membuka simpul), thalaq disebut pula khulu’ (menanggalkan atau membuka sesuatu) sehingga dapat dimaknai
bahwa perceraian adalah proses melepaskan ikatan perkawinan antara suami dan
istri baik secara lahir maupun batin. Meskipun perceraian itu dibolehkan tetapi
menurut al-Quran suci dan hadis jelas sekali bahwa hak itu baru boleh dilakukan dalam
keadaan luar biasa, artinya bahwa tidak serta merta melepaskan ikatan
perkawinan tanpa alasan yang jelas, sebab pada dasarnya perkawinan merupakan
ikatan yang suci yang tidak mudah untuk melepaskannya begitu saja.
Mengapa Perceraian Dibolehkan....?
Perceraian dibolehkan hanya pada batasan-batasan tertentu
disaat tidak ada jalan keluar lagi untuk menyelesaikan persoalan rumah tangga
yang sudah sangat rumit. Perceraian dapat diakui dalam Islam sebagai jalan
keluar dari kemelut rumah tangga yang disebabkan oleh pertengkaran yang tidak
ada hentinya antara pasangan suami istri yang sah, atau salah satu pasangan
telah memilih orang lain untuk dijadikan pasangan barunya baik yang telah
melakukan perkawinan secara diam-diam ataupun baru akan melakukan perkawinan
sehingga mampu merusak keutuhan rumah tangga, atau suami yang tidak dapat melaksanakan
kewajibannya bahkan telah melanggar taklik
talak sedangkan dia adalah laki-laki yang mampu untuk menafkahi istri dan
anak-anaknya, atau sebab lain yang mengakibatkan hubungan suami istri yang
awalnya dipenuhi dengan kasih sayang namun akhirnya berubah menjadi kebencian
diantara mereka.
Perceraian juga hanya dapat dilakukan karena mengandung
unsur kemaslahatan, ketika setiap jalan perdamaian antara suami istri yang bertikai
tidak menemukan jalan perdamaian. Perceraian hendaklah menjadi alternatif terakhir
yang lebih mendidik kedua belah pihak. Hukum Islam memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan segala sesuatunya
dengan matang, dalam batas-batas yang dapat dipertanggung jawabkan. Disamping
banyaknya akibat buruk dari suatu perceraian menyangkut kedua belah pihak dan
anak-anak, dapat pula dibayangkan betapa tersiksanya seseorang yang mana
kedamaian rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan, sehingga dalam
kondisi seperti ini perceraian sebagai jalan untuk menyelesaikan permasalahan
ini.[2]
Lalu Siapa Yang Berhak Untuk Melakukan
Perceraian...?
Seorang suami mempunyai hak talak sedangkan istri tidak. Talak
adalah hak suami dalam hal ini jika suami yang bermohon ke Pengadilan Agama
untuk bercerai maka hal ini kemudian disebut dengan cerai talak. Suami memiliki
hak talak karena dialah yang berminat untuk melangsungkan perkawinan, dialah
yang berkewajiban memberi nafkah, dia pula yang wajib membayar mas kawin, mut’ah, serta nafkah lainnya yang jika
terjadi permohonan talak yang diajukan suami maka istri dapat menuntut segala
haknya khsusunya dalam persoalan nafkah, harta bersama dan juga hak asuh anak. Selain
itu pula laki-laki adalah orang yang lebih sabar terhadap sesuatu yang tidak
disenangi oleh perempuan. Laki-laki tidak akan segera menjatuhkan talak apabila
marah atau ada kesukaran yang menimpanya.
Kemudian untuk perempuan dibolehkan juga untuk bercerai
yang jika diajukan ke Pengadilan Agama disebut dengan cerai gugat, Sebaliknya
kaum perempuan itu lebih cepat marah, kurang tabah sehingga ia cepat-cepat
minta cerai hanya karena ada sebab yang sebenanrnya sepele atau tidak masuk
akal. Karena itulah wanita tidak diberi hak untuk menjatuhkan talak. Dan jika
perempuan yang melakukan gugatan perceraian maka untuk persoalan nafkah setelah
bercerai tidak ada hak baginya untuk menggugat karena dialah yang berkeinginan
untuk cerai, kecuali dalam persoalan harta bersama dan hak asuh anak seorang
istri yang bercerai masih dapat menggunakan haknya.
Sehingga kenyataan yang ada saat ini dapat kita
bandingkan perbedaan antara jumlah permohonan cerai talak (yang diajukan suami)
lebih sedikit dibandingkan dengan cerai gugat (yang diajukan istri) yang terdaftar
disemua Pengadilan Agama yang ada di Indonesia, hal ini membuktikan bahwa
perempuan lebih cepat untuk melepaskan ikatan
perkawinan dibandingkan dengan suami yang masih lebih banyak berfikir
panjang untuk melakukan perceraian.
Macam-Macam Talak Dapat Ditinjau Dari Berat
Ringannya Akibat Talak...?
Hukum Islam telah mengatur tentang talak dengan tujuan
untuk membedakan cara rujuk, hal ini dimaksudkan agar talak tidak menjadi hal
yang dipermainkan oleh para pasangan suami istri adapun macam-macam talak dapat
ditinjau dari berat ringannya akibat talak yaitu; [3]
1.
Talak raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang
telah dikumpuli, bukan talak karena tebusan, bukan pula talak ketiga kalinya,
sehingga suami dapat langsung kembali kepada istrinya yang dalam masa iddah
tanpa harus melakukan akad nikah yang baru.
2.
Talak ba’in adalah talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami,
kecuali dengan perkawinan yang baru walaupun dalam masa iddah, seperti talak
perempuan yang belum dicampuri (disetubuhi). Talak ba’in terbagi menjadi dua macam yaitu; 1) Talak ba’in sughra yaitu talak ini dapat
memutuskan ikatan perkawinan, artinya jika istri telah ditalak, istri dianggap
bebas menentukan pilihannya setelah habis masa iddahnya. Suami pertama dapat
rujuk dengan akad perkawinan yang baru.2) Talak
ba’in kubra adalah talak yang menyebabkan suami tidak dapat rujuk dengan
istrinya kecuali istrinya telah menikah dengan laki-laki yang lain dan telah
bercerai dengan suami kedua. Pernikahan kedua tidak boleh sekedar rekayasa
sebagaimana dalam nikah muhallil.
3.
Talak khulu’ dipersamakan dengan talak tebus (iwadh) yang artinya talak yang diucapkan suami dengan pembayaran
dari pihak istri kepada suami. Perceraian seperti ini diperbolehkan dalam hukum
Islam. Talak tebus boleh dilakukan sewaktu suci ataupun sewaktu haid, karena
talak tebus terjadi berdasarkan kehendak istri. Adanya kemauan ini menunjukkan
bahwa dia rela walaupun menyebabkan iddahnya menjadi panjang. Apalagi talak
tebus tidak terjadi selain karena perasaan perempuan yang tidak dapat
dipertahankannya lagi. Meskipun hukum khulu’
adalah boleh tetapi tetap sebagai perilaku yang dibenci (makruh) sama seperti
asal talak. Khulu’ diperbolehkan jika
ada sebab yang menuntut, seperti suami yang cacat fisik atau cacat sedikit
fisik suami yang menyebabkan suami tidak dapat menjalankan kewajibannya, atau
suami yang suka menyakiti fisik istri,
dengan beberapa alasan ini istri dapat mengajukan khulu’ untuk berpisah dengan suami, talak semacam ini biasa disebut
dengan gugat cerai atau perceraian atas inisiatif dari pihak istri.
Mengapa Suami Diberikan Hak Talak Sedangkan
Istri Tidak...?
Pada prinsipnya Islam memberikan hak talak kepada suami
karena suami lebih bersikeras untuk melanggengkan tali perkawinannya yang telah
dibinanya dengan hartanya, sehingga jika dia bercerai dan harus kawin lagi
tentunya dia harus mengeluarkan biaya lagi untuk pernikahan yang selanjutnya.
Dalam hal siapa yang berhak menjatuhkan talak, para ulama sepakat bahwa suami
yang berakal, baligh, dan merdeka yang boleh menjatuhkan talak, dan talaknya
dapat dinyatakan sah. [4]
Suatu ikatan perkawinan, apabila antara suami dan istri sudah tidak ada kecocokan lagi
untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia baik lahir maupun batin
dapat dijadikan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian ke
persidangan pengadilan. [5] Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon
agar pengadilan agama memutuskan perkawinan penggugat dengan tergugat. [6]
Upaya cerai gugat jika dihubungkan dengan tata tertib beracara yang diatur
dalam hukum acara cerai gugat benar-benar murni bersifat contentiosa.
Ada sengketa, yakni sengketa perkawinan yang menyangkut perkara perceraian. Ada
pihak yang sama-sama berdiri sebagai subjek perdata. Oleh karena gugatan
bersifat contentiosa, serta para pihak terdiri dari dua subjek yang
saling berhadapan dalam kedudukan hukum yang sama dan sederajat, proses
pemeriksaan cerai gugat benar-benar murni bersifat contradictoir. [7] Namun dalam cerai gugat yang bersifat khulu’,
penyelesaian hukumnya akan diakhiri dengan tata cara cerai talak. Prosesnya
mula-mula mengikuti tata cara cerai gugat, tapi penyelesaian perkaranya
diakhiri dengan tata cara cerai talak.[8]
Apa Saja Alasan-Alasan Permohonan Gugatan Cerai...?
Alasan-alasan yang dapat dipergunakan dalam pengajuan permohonan gugatan
perceraian seperti halnya yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Salah satu pihak
berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar
disembuhkan.
2.
Salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3.
Salah satu pihak
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
4.
Salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5.
Salah satu pihak
mendapat cacat badan dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami istri.
6.
Antara suami dan
istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7.
Suami Melanggar Taklik
Talak
8.
Salah satu
siantaranya telah murtad yang mengakibatkan terjadinya ketidak rukunan rumah
tangga.
Apabila salah satu dari syarat-syarat dan atau ketentuan-ketentuan tersebut
diatas telah terpenuhi, maka seorang suami atau istri dapat mengajukan
permohonan gugatan perceraian ke persidangan pengadilan yang disesuaikan dengan
domisili pihak yang digugat (tergugat/termohon). Pengadilan
hanya mengenal dua jenis perkara perceraian, yaitu perkara permohonan cerai
talak (suami) dan perkara cerai gugat (istri). Cerai talak diajukan oleh pihak
suami yang petitumnya memohon untuk di izinkan menjatuhkan talak terhadap
istrinya. Sedangkan cerai gugat diajukan oleh istri yang petiumnya memohon agar
Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan tergugat.
Dengan demikian perceraian hanya boleh
dilakukan oleh suami atau istri disaat tidak ada lagi jalan keluar lain yang
dapat ditempuh untuk menyelesaiakan masalah yang dihadapi pasangan suami istri
dan benar-benar telah difikirkan secara matang untuk melakukannya, sebab akibat
hukum dari adanya perceraian bisa jadi lebih berat dari apa yang dialami selama
dalam proses perkawinan. Selain itu perceraian juga boleh dilakukan selama
alasannya jelas dan memenuhi syarat untuk melakukan permohonan atau gugatan
cerai di pengadilan.
[1] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Talak Ensiklopedi Islam, (Cet. 3, Jilid 5,
Jakarta: PT Ichtiar Baru An Hoeve, 1994), h. 53.
[2]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 105.
[3]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga” , h. 106-107.
[4]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 107-108.
[5] Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek,
(Jakarta: Sinar Grafika 2012), h. 94.
[6]Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan
Teknis Peradilan Agama, (Jakarta: Buku
2, 2007), h. 152.
[7] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara
Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 234.
[8] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara
Peradilan Agama, h. 240.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar