Senin, 19 Agustus 2019

PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

“PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA”
"Ilustrasi Perceraian"
Apa Yang Dimaksud Dengan Perceraian....?
Definisi talak atau perceraian menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikan bahwa talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan  ikatan perkawinan di masa yang akan datang. Yang dimaksud secara langsung adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami. Sedangkan yang dimaksud di masa yang akan datang adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh sesuatu hal. [1]
Perceraian dalam istilah Arab adalah thalaq (melepas atau membuka simpul), thalaq disebut pula khulu’ (menanggalkan atau membuka sesuatu) sehingga dapat dimaknai bahwa perceraian adalah proses melepaskan ikatan perkawinan antara suami dan istri baik secara lahir maupun batin. Meskipun perceraian itu dibolehkan tetapi menurut al-Quran suci dan hadis jelas sekali bahwa hak itu baru boleh dilakukan dalam keadaan luar biasa, artinya bahwa tidak serta merta melepaskan ikatan perkawinan tanpa alasan yang jelas, sebab pada dasarnya perkawinan merupakan ikatan yang suci yang tidak mudah untuk melepaskannya begitu saja.

Mengapa Perceraian Dibolehkan....?
Perceraian dibolehkan hanya pada batasan-batasan tertentu disaat tidak ada jalan keluar lagi untuk menyelesaikan persoalan rumah tangga yang sudah sangat rumit. Perceraian dapat diakui dalam Islam sebagai jalan keluar dari kemelut rumah tangga yang disebabkan oleh pertengkaran yang tidak ada hentinya antara pasangan suami istri yang sah, atau salah satu pasangan telah memilih orang lain untuk dijadikan pasangan barunya baik yang telah melakukan perkawinan secara diam-diam ataupun baru akan melakukan perkawinan sehingga mampu merusak keutuhan rumah tangga, atau suami yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya bahkan telah melanggar taklik talak sedangkan dia adalah laki-laki yang mampu untuk menafkahi istri dan anak-anaknya, atau sebab lain yang mengakibatkan hubungan suami istri yang awalnya dipenuhi dengan kasih sayang namun akhirnya berubah menjadi kebencian diantara mereka.
Perceraian juga hanya dapat dilakukan karena mengandung unsur kemaslahatan, ketika setiap jalan perdamaian antara suami istri yang bertikai tidak menemukan jalan perdamaian. Perceraian hendaklah menjadi alternatif terakhir yang lebih mendidik kedua belah pihak. Hukum Islam memberikan kebebasan sepenuhnya kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang, dalam batas-batas yang dapat dipertanggung jawabkan. Disamping banyaknya akibat buruk dari suatu perceraian menyangkut kedua belah pihak dan anak-anak, dapat pula dibayangkan betapa tersiksanya seseorang yang mana kedamaian rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan, sehingga dalam kondisi seperti ini perceraian sebagai jalan untuk menyelesaikan permasalahan ini.[2]

Lalu Siapa Yang Berhak Untuk Melakukan Perceraian...?
Seorang suami mempunyai hak talak sedangkan istri tidak. Talak adalah hak suami dalam hal ini jika suami yang bermohon ke Pengadilan Agama untuk bercerai maka hal ini kemudian disebut dengan cerai talak. Suami memiliki hak talak karena dialah yang berminat untuk melangsungkan perkawinan, dialah yang berkewajiban memberi nafkah, dia pula yang wajib membayar mas kawin, mut’ah, serta nafkah lainnya yang jika terjadi permohonan talak yang diajukan suami maka istri dapat menuntut segala haknya khsusunya dalam persoalan nafkah, harta bersama dan juga hak asuh anak. Selain itu pula laki-laki adalah orang yang lebih sabar terhadap sesuatu yang tidak disenangi oleh perempuan. Laki-laki tidak akan segera menjatuhkan talak apabila marah atau ada kesukaran yang menimpanya.
Kemudian untuk perempuan dibolehkan juga untuk bercerai yang jika diajukan ke Pengadilan Agama disebut dengan cerai gugat, Sebaliknya kaum perempuan itu lebih cepat marah, kurang tabah sehingga ia cepat-cepat minta cerai hanya karena ada sebab yang sebenanrnya sepele atau tidak masuk akal. Karena itulah wanita tidak diberi hak untuk menjatuhkan talak. Dan jika perempuan yang melakukan gugatan perceraian maka untuk persoalan nafkah setelah bercerai tidak ada hak baginya untuk menggugat karena dialah yang berkeinginan untuk cerai, kecuali dalam persoalan harta bersama dan hak asuh anak seorang istri yang bercerai masih dapat menggunakan haknya.  
Sehingga kenyataan yang ada saat ini dapat kita bandingkan perbedaan antara jumlah permohonan cerai talak (yang diajukan suami) lebih sedikit dibandingkan dengan cerai gugat (yang diajukan istri) yang terdaftar disemua Pengadilan Agama yang ada di Indonesia, hal ini membuktikan bahwa perempuan lebih cepat untuk melepaskan ikatan  perkawinan dibandingkan dengan suami yang masih lebih banyak berfikir panjang untuk melakukan perceraian.  

Macam-Macam Talak Dapat Ditinjau Dari Berat Ringannya Akibat Talak...?
Hukum Islam telah mengatur tentang talak dengan tujuan untuk membedakan cara rujuk, hal ini dimaksudkan agar talak tidak menjadi hal yang dipermainkan oleh para pasangan suami istri adapun macam-macam talak dapat ditinjau dari berat ringannya akibat talak yaitu; [3]
1.    Talak raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang telah dikumpuli, bukan talak karena tebusan, bukan pula talak ketiga kalinya, sehingga suami dapat langsung kembali kepada istrinya yang dalam masa iddah tanpa harus melakukan akad nikah yang baru.
2.    Talak ba’in adalah talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami, kecuali dengan perkawinan yang baru walaupun dalam masa iddah, seperti talak perempuan yang belum dicampuri (disetubuhi). Talak ba’in terbagi menjadi dua macam yaitu; 1) Talak ba’in sughra yaitu talak ini dapat memutuskan ikatan perkawinan, artinya jika istri telah ditalak, istri dianggap bebas menentukan pilihannya setelah habis masa iddahnya. Suami pertama dapat rujuk dengan akad perkawinan yang baru.2) Talak ba’in kubra adalah talak yang menyebabkan suami tidak dapat rujuk dengan istrinya kecuali istrinya telah menikah dengan laki-laki yang lain dan telah bercerai dengan suami kedua. Pernikahan kedua tidak boleh sekedar rekayasa sebagaimana dalam nikah muhallil.
3.    Talak khulu’ dipersamakan dengan talak tebus (iwadh) yang artinya talak yang diucapkan suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami. Perceraian seperti ini diperbolehkan dalam hukum Islam. Talak tebus boleh dilakukan sewaktu suci ataupun sewaktu haid, karena talak tebus terjadi berdasarkan kehendak istri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa dia rela walaupun menyebabkan iddahnya menjadi panjang. Apalagi talak tebus tidak terjadi selain karena perasaan perempuan yang tidak dapat dipertahankannya lagi. Meskipun hukum khulu’ adalah boleh tetapi tetap sebagai perilaku yang dibenci (makruh) sama seperti asal talak. Khulu’ diperbolehkan jika ada sebab yang menuntut, seperti suami yang cacat fisik atau cacat sedikit fisik suami yang menyebabkan suami tidak dapat menjalankan kewajibannya, atau suami yang suka  menyakiti fisik istri, dengan beberapa alasan ini istri dapat mengajukan khulu’ untuk berpisah dengan suami, talak semacam ini biasa disebut dengan gugat cerai atau perceraian atas inisiatif dari pihak istri.

Mengapa Suami Diberikan Hak Talak Sedangkan Istri Tidak...?
Pada prinsipnya Islam memberikan hak talak kepada suami karena suami lebih bersikeras untuk melanggengkan tali perkawinannya yang telah dibinanya dengan hartanya, sehingga jika dia bercerai dan harus kawin lagi tentunya dia harus mengeluarkan biaya lagi untuk pernikahan yang selanjutnya. Dalam hal siapa yang berhak menjatuhkan talak, para ulama sepakat bahwa suami yang berakal, baligh, dan merdeka yang boleh menjatuhkan talak, dan talaknya dapat dinyatakan sah. [4]
Suatu ikatan perkawinan, apabila antara suami dan istri sudah tidak ada kecocokan lagi untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia baik lahir maupun batin dapat dijadikan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian ke persidangan pengadilan. [5] Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar pengadilan agama memutuskan perkawinan penggugat dengan tergugat. [6]
Upaya cerai gugat jika dihubungkan dengan tata tertib beracara yang diatur dalam hukum acara cerai gugat benar-benar murni bersifat contentiosa. Ada sengketa, yakni sengketa perkawinan yang menyangkut perkara perceraian. Ada pihak yang sama-sama berdiri sebagai subjek perdata. Oleh karena gugatan bersifat contentiosa, serta para pihak terdiri dari dua subjek yang saling berhadapan dalam kedudukan hukum yang sama dan sederajat, proses pemeriksaan cerai gugat benar-benar murni bersifat contradictoir. [7] Namun dalam cerai gugat yang bersifat khulu’, penyelesaian hukumnya akan diakhiri dengan tata cara cerai talak. Prosesnya mula-mula mengikuti tata cara cerai gugat, tapi penyelesaian perkaranya diakhiri dengan tata cara cerai talak.[8]

Apa Saja Alasan-Alasan Permohonan Gugatan Cerai...?
Alasan-alasan yang dapat dipergunakan dalam pengajuan permohonan gugatan perceraian seperti halnya yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
2.    Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3.    Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4.    Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5.    Salah satu pihak mendapat cacat badan dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
6.    Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7.    Suami Melanggar Taklik Talak
8.    Salah satu siantaranya telah murtad yang mengakibatkan terjadinya ketidak rukunan rumah tangga.
Apabila salah satu dari syarat-syarat dan atau ketentuan-ketentuan tersebut diatas telah terpenuhi, maka seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan gugatan perceraian ke persidangan pengadilan yang disesuaikan dengan domisili pihak yang digugat (tergugat/termohon). Pengadilan hanya mengenal dua jenis perkara perceraian, yaitu perkara permohonan cerai talak (suami) dan perkara cerai gugat (istri). Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk di izinkan menjatuhkan talak terhadap istrinya. Sedangkan cerai gugat diajukan oleh istri yang petiumnya memohon agar Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan tergugat.
Dengan demikian perceraian hanya boleh dilakukan oleh suami atau istri disaat tidak ada lagi jalan keluar lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaiakan masalah yang dihadapi pasangan suami istri dan benar-benar telah difikirkan secara matang untuk melakukannya, sebab akibat hukum dari adanya perceraian bisa jadi lebih berat dari apa yang dialami selama dalam proses perkawinan. Selain itu perceraian juga boleh dilakukan selama alasannya jelas dan memenuhi syarat untuk melakukan permohonan atau gugatan cerai di pengadilan.




[1]  Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Talak Ensiklopedi Islam, (Cet. 3, Jilid 5, Jakarta: PT Ichtiar Baru An Hoeve, 1994), h. 53.
[2]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 105.
[3]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga” , h. 106-107.
[4]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 107-108.
[5] Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika 2012), h. 94.
[6]Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, (Jakarta: Buku  2, 2007), h. 152.
[7] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 234.
[8] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 240.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar