Rabu, 14 Agustus 2019

Pentingnya Pencatatan Perkawinan

“PENCATATAN PERKAWINAN”

"Buku Nikah Sebagai Dokumen Resmi Pencatatan Peristiwa Nikah"
Mengapa Perkawinan Harus Tercatat...?
Pencatatan perkawinan pada prinsipnya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat khususnya yang ada di Indonesia. Meskipun dalam ajaran Islam tidak ada ketentuan secara khusus tentang pencatatan perkawinan tetapi demi untuk mewujudkan ketertiban perkawinan yang ada di Indonesia maka pemerintah telah mengaturnya dalam aturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang didalamnya memuat aturan pencatatan perkawinan. Salah satu hal yang sangat dipertimbangkan adanya pencatatan perkawinan adalah untuk melindungi harkat dan martabat, serta kesucian perkawinan, lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan berumah tangga.

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah atau buku Nikah yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila suatu saat nanti terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka salah satu diantaranya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, memiliki bukti otentik perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3 dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumahtangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan sebuah usaha yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Dengan maksud sewaktu-waktu dapat dipergunakan bila perlu dan dapat dipakai sebagai bukti otentik yang nilai kekuatan pembuktiannya sah dan mengikat selam tidak ada alat bukti lain yang mampu mengurangi nilai kekuatannya.

Apa Saja Tujuan Pencatatan Perkawinan...?
Didalam syari’at Islam baik dalam Al-Quran atau Al-Sunnah tidak mengatur secara kongkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan ayat muamalat (mudayanah) yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan perkembangan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan.

Ketentuan pencatatan perkawinan sebenarnya bukan masalah baru bagi penduduk. Di lingkungan masyarakat yang beragama Islam, sejak tahun 1946 telah berlaku UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk. Namun, ketentuan tersebut belum terlaksana secara efektif. Sedang bagi masyarakat pemeluk agama Kristen Protestan dan Katolik, sudah sejak lama mempunyai ordonansi yang mengatur pencatatan mereka.

Kemudian setelah lahirnya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan masalah pencatatan perkawinan lebih ditekankan sebagaimana dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 2 yang berbunyi; “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, Adapun pelanggaran ketentuan ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975. Meskipun kedua aturan ini menjadi dasar pencatatan perkawinan hingga kini, tetapi memang dalam prosesnya belum secara efektif dilakukan dengan baik pada instansi yang berwenang sehingga begitu banyak masyarakat yang setelah undang-undang perkawinan ini berlaku masih belum tercatat dalam perkawinannya, bahkan sampai dengan saat ini pun begitu banyak perkawinan yang dilakukan dengan tidak tercatat, bisa jadi hal ini akibat dari tidak adanya sanksi yang berat terhadap pasangan yang tidak mencatatkan perkawinannya secara resmi kepada pihak berwenang.

Masyarakat begitu banyak yang tidak perduli dengan adanya pencatatan perkawinan, padahal tujuan dari pencatatan perkawinan itu sangatlah bermanfaat untuk kepentingan institusi perkawinan. Adapun tujuan pencatat perkawinan adalah sebagai berikut:

1. Legalisasi Perkawinan
Pernikahan yang dilangsungkan dihadapan PPN adalah pernikahan yang sesuai dengan pasal 2 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sehingga sudah secara legal atau sah yang akan mendapatkan buku kutipan akta nikah dari KUA. Lain halnya dengan perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah (hilang atau memang pernikahannya tidak tercatat), maka dalam kaitannya dengan masalah perdata pernikahan semacam ini harus mendapat legalisasi atau pengakuan secara hukum dalam mendapatkan bukti otentik dari pernikahan yang telah dilangsungkan, yaitu dengan melakukan proses isbat nikah untuk mendapatkan legalisasi perkawinan yang telah dilakukan selama perkawinan itu sesuai dengan ketentuan rukun dan syarat perkawinan.

Masalah keperdataan sangat memerlukan adanya pembuktian secara yuridis yang tidak lain merupakan pembuktian historis. Dengan pembuktian ini mencoba menetapkan apa yang terjadi secara konkret.Hal ini diatur dalam pasal 1865 BW tentang pembuktian pada umumnya yang berbunyi; “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.[1]

2. Demi Ketertiban Perkawinan
Ketertiban perkawinan dalam masyarakat sangatlah diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang membutuhkan. Adanya pencatatan perkawinan inilah dapat membedakan perkawinan yang terjadi pada manusia dengan perkawinan yang terjadi pada selain manusia (binatang). Masalah tentang ketertiban perkawinan ini telah dijelaskan dan ditegaskan pula pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang pencatatan perkawinan, dalam pasal 5 ayat (1) yang berbunyi; “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat”.

3.  Menghindari Terjadinya Pemalsuan Identitas
Tujuan dari adanya pencatatan perkawinan juga untuk menghindari terjadinya pemalsuan atau penyimpangan hukum, sebab banyak juga akibat dari belum tertibnya pencatatan perkawinan pada beberapa tahun sebelumnya cukup banyak terjadi pemalsuan dokumen perkawinan antara lain dengan menyampaikan KTP yang masih berstatus belum menikah padahal telah menikah sebelumnya, selain itu ada juga yang berani memalsukan umur calon pengantin demi menghindari pelaksanaan dispensasi nikah yang akan memakan waktu yang panjang, begitu juga dengan pemalsuan agama calon pengantin yang bisa saja dipaluskan, bahkan baru-baru ini adapula yang justru memalsukan identitas jenis kelaminnya yang setelah terjadi perkawinan baru diketahui bahwa dirinya bukanlah perempuan, tetapi laki-laki. Hal-hal seperti inilah yang patut untuk dihindari dalam proses perkawinan sehingganya diberikan standar untuk melakukan pencatatan perkawinan untuk memastikan segala dokumen yang disampaikan adalah sah dan benar.

Apa Saja Manfaat Dari Adanya Pencatatan Perkawinan...?

Pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif perkawinan. Tetapi walaupun hanya sebagai suatu kewajiban administratif saja, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Manfaat dari pencatatan perkawinan ini adalah:

1.  Manfaat yang bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan ini dapat dihindari pelanggar terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat perkawinan. Atauc menghindari terjadinya pemalsuan (penyimpangan hukum), seperti identitas calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.
2.  Manfaat akta nikah yang bersifat refresif yaitu bagi suami istri yang karena sesuatu perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta nikah, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah (penetapan) kepada Pengadilan Agama, pencatatan inilah disebut sebagai tindakan refresif, yang dimaksudkan untuk membentuk masyarakat, agar didalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fiqh saja, tetapi aspek-aspek keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang.

Bagaimana Tekhnik dan Prosedur Pencatatan Perkawinan...?
Tehnik pelaksanaan pencatatan perkawinan, telah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 6 yang menyebutkan bahwa:

a. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pegawai pencatat nikah.
b. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.[2]

Secara rinci peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Bab II pasal 2 menjelaskan tentang:

a. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan, Nikah, Talak, dan Rujuk.
b. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-perundangan mengenai pencatatan perkawinan.
c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah sampai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini.[3]

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan:

a. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan yang akan dilangsungkan.
b. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
c. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah

Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undangNo. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan) adapun hal-hal yangdiberitahukan meliputi: Nama, Umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan,tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanyapernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu pasal 5 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undangNo. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan adanya pemberitahuanini, kemungkinan terjadinya pemalsuan atau penyimpangan identitas dapat dihindari.

Tindakan yang harus diambil oleh Pegawai Pencatat nikah setelah menerima pemberitauan, diatur dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai berikut:

a. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi danapakah tidak terdapat halangan perkawinan menuru Undang-undang.
b. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawaipencatat meliputi pula:
1) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai dalam haltidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan suratketerangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yangdiberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.
2) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempattinggal orang tua calon mempelai.
3) Izin tertulis atau izin Pengadilan sebagai dimaksud pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
4) Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 Undang-undang, dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri.
5) Dispensasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal  perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
7) Izin tertulis dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM atau PANGAB, apabila salah seorang anggota calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.
8) Surat kuasa otentik atau diawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat nikah, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain

Meskipun telah begitu jelas bagaimana tata cara atau proses pencatatan perkawinan dijelaskan dalam berbagai peraturan yang mengaturnya, namun masih saja masyarakat banyak yang tidak melakukan pencatatan perkawinan dengan berbagai macam alasan. Padahal mereka tidak memahami begitu pentingnya pencatatan perkawinan ini dilakukan demi untuk kepentingan rumah tangga. Biasanya masyarakat yang tidak melakukan pencatatan perkawinan baru akan sadar pada saat perkawinannya telah bermasalah barulah meminta perlindungan hukum.

Salah satu penyebabnya dimasyarakat terhadap banyaknya perkawinan yang tidak tercatat ini adalah tingkat kesadaran hukum masyarakat sebagai subyek hukum yang tidaklah sama, mungkin karena tidak tahu atau karena hal lain, sehingga ketentuan-ketentuan tersebut di atas belum dapat berjalan dengan baik dan maksimal. Padahal jika ada hal-hal yang krusial sebelum melakukan pencatatan perkawinan, peraturan perundang-undangan memberi alternatif atau kelonggaran kepada pihak-pihak karena suatu hal harus segera melangsungkan perkawinan, antara lain:

a. Dapat mengajukan izin tertulis atau izin pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai batasan umur perkawinan.
b. Melakukan permohonan wali adhol, jika dalam perkawinan yang akan dilangsungkan adanya wali yang tidak menyetujui perkawinan tersebut, yang mengakibatkan terhalangnya perkawinan untuk dilakukan.
c. Melakukan pengajuan izin poligami jika perkawinannya untuk yang kedua kali.
d. Mengajukan gugatan atau permohonan cerai pada Pengadilan Agama jika perkawinan sebelumnya tidak lagi dapat dipertahankan.

Beberapa hal inilah yang sering mengakibatkan terhalangnya proses pencatatan perkawinan yang akan dilakukan masyarakat sehingga menimbulkan adanya perkawinan yang tidak tercatat. Selain kendala di masyarakat ini adapula kendala dalam instansi terkait dalam hal ini pihak KUA dalam melakukan pencatatan perkawinan yang mengakibatkan tidak tercatatnya perkawinan, antara lain; akses informasi masyarakat kurang terhadap prosedur pencatatan perkawinan karena kurangnya sosialisasi dari pihak terkait, jauhnya jarak KUA dengan tempat tinggal masyarakat khususnya yang ada di desa-desa terpencil yang tidak memiliki akses menuju lokasi pencatatan perkawinan, peraturan instansi yang sering berubah-ubah sehingga menimbulkan kebingungan dalam masyarakat seperti aturan proses akad nikah yang terkadang ada ketegasan harus dilakukan di KUA namun kemudian berubah boleh dilakukan di rumah atau ditempat lainnya.

Kemudian adanya sanksi dari pihak terkait dalam hal ini KUA dan pemerintah desa yang memiliki kewenangan dalam melakukan pencatatan dan proses berlangsungnya perkawinan dengan memberikan sanksi berupa tidak menghadiri perkawinan yang dilakukan dengan tidak tercatat, dirasa justru tidak efektif untuk memberikan efek jera kepada masyarakat yang ada malah perkawinan tidak tercatat semakin dilakukan dengan terbuka dihadapan masyarakat banyak. Sebaiknya hal-hal seperti ini dapat dibendung dengan memberikan penjelasan kepada masyarakat secara luas tentang prosedur dan ketentuan yang berlaku.




[1]R. Subekti, R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Jakarta: Pradnya Paramita), h. 475.
[2]Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 109.
[3] Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, h. 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar