“HAKIKAT
PERKAWINAN ADAT GORONTALO”
Perkawinan
merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat
merubah status seseorang dalam masyarakat, selain itu perkawinan juga merupakan
hal yang sakral, sebuah perkawinan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan
wanita. Perkawinan juga memiliki fungsi sosial, seperti ketika mempersiapkan
pelaksanaan prosesi pernikahan pasti membutuhkan bantuan orang lain sehingga
dapat mempererat hubungan masyarakat melalui gotong-royong. Sebuah perkawinan
juga dapat mempersatukan dua kebudayaan atau lebih, karena tidak ada larangan
dalam pelaksanaan perkawinan beda suku, lain halnya dengan perkawinan beda
agama yang dilarang oleh negara.
Oleh
sebab itu perkawinan memiliki hakikat yang begitu sakral, hakikat perkawinan
dalam adat Gorontalo dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu:[1]
1) Keluarga
Perkawinan bukan semata-mata urusan
pribadi atau dengan kata lain bukan saja urusan kedua calon mempelai, tetapi
juga merupakan urusan keluarga, kerabat/handai tolan. Jika ada sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan selalu dimusyawarakan dengan keluarga. Karena
dengan perkawinan maka anggota keluarga pun akan bertambah atau kekompakan
keluarga dapat dipertahankan. Perkawinan akan berakibat kepada bertambah
luasnya ikatan kekeluargaan, dari masing-masing kedua mempelai.
2) Kedua Mempelai
Perkawinan adalah awal dari
perjuangan untuk menempuh hidup berumah tangga sekaligus mengandung ujian,
apakah perkawinan itu akan kokoh sepanjang hayat kedua mempelai, atau kandas
diten ga samudera kehidupan. Perkawinan adalah merupakan titik kulminasi janji
setia yang akan diikuti dengan rasa tanggung jawab, saling menghormati demi
keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Segala sesuatu yang terjadi dalam
kehidupan rumah tangga harus dihadapi secara bersama-sama oleh kedua mempelai
berdasarkan rasa tanggungjwab dan saling menghormati antar keduanya termasuk
dalam melanjutkan keturunan dan pembentukan generasi baru.
3) Turunan Yang Akan Diperoleh
Dari Kedua Mempelai
Anak yang lahir dari perkawinan
yang sah adalah anak yang sah, dan anak-anak tersebut akan bergembira bahwa
mereka adalah hasil dari perkawinan yang sah (dila wala’o zina/bukan
anak zina), yang akan menimbulkan kepercayaan diri pada anak itu sendiri.
Pepatah orang Gorontalo: dungo langge dila modehu to tibawa lo batango oyile
(daun pohon nangka tidak akan jatuh dibawah pohon mangga), atau wanu
moolango ta’uliyo, moolango huliyaliyo (kalau jernih di hulu pasti akan
jernih di hilir). Hakikat perkawinan yang dimaksudkan adalah mengupayakan
keturunan yang suci, membentuk akhlak yang mulia terhadap anak yang dicontohkan
oleh orang tuanya. Tanggung jawab mendidik anak adalah sepenuhnya menjadi
tanggung jawab kedua orang tuanya, khususnya dalam pendidikan moral dan etika,
sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ajaran agama.
4) Agama
Perkawinan
adalah akad yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban, serta
bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara
keduanya bukan muhrim. Tercermin harapan bahwa turunan yang akan dihasilkan
oleh pasangan suami istri tersebut tetap menjalankan syariat Islam serta
mempertahankan agama Islam dalam perjalanan hidup mereka, hal ini sebagaimana
tertuang dalam prinsip adat Gorontalo yang sangat populer dikalangan masyarakat
Gorontalo, yang dijadikan dasar dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan
khususnya dalam melaksanakan upacara tertentu termasuk upacara akad nikah.
falsafah adat Gorontalo memiliki nilai yang luar biasa jika dimaknai dengan
sesungguhnya oleh setiap kalangan masyarakat di Gorontalo, karena adat tersebut
berlandaskan agama atau syariat Islam, sehingga sebagian besar masyarakat
Gorontalo melaksanakan adat perkawinan senantiasa merujuk pada prosesi adat
yang telah turun temurun dipegang teguh oleh masyarakat Gorontalo. Adat
bersendikan syara’ dan kitabullah, tercermin dalam hakikat perkawinan di
Gorontalo, yang memiliki landasan agama untuk menghalalkan pergaulan.
5) Pandangan Masyarakat
Perkawinan
adalah alat untuk menghindari timbulnya fitnah, sehingga pesta perkawinan
merupakan maklumat atau pengumuman kepada semua orang, bahwa mereka sudah
melangsungkan perkawinan. Tujuan perkawinan adalah ketenangan, maka dengan
perkawinan yang telah dilaksanakan akan mengakibatkan kenyamanan bagi kedua
mempelai dan masyarakat.
6) Adat
Perkawinan
bermakna memuliakan, menghormati kedua mempelai dan kedua keluarga mempelai.
Perkawinan dianggap suci, agung dan karena itu harus dimuliakan dan dihormati.
Untuk memuliakannya perlu dilaksnakan secara teratur menurut adatdan
berdasarkan agama Islam. keagungan suatu masyarakat bisa dinilai dari hukum
adat perkawinannya.
a. Perubahan Sosial Pada Adat Perkawinan Di
Gorontalo
Perubahan
sosial dalam masyarakat Gorontalo terjadi karena pengaruh dari luar yang sangat
kuat sehingga setiap masyarakat rela menerimanya dan pada dasarnya masyarakat
Gorontalo mudah menyesuaikan diri dengan pengaruh yang datang dari luar jika
bertentangan dengan agama. perubahan sosial terhadap adat perkawinan di
Gorontalo dapat dilihat pada hal-hal berikut ini:[2]
1)
Status sosial
Dahulu
yang mendapat pohutu di dalam acara adat perkawinan hanyalah terbatas
pada putra-putri raja (olongiya) dan bangsawan (ta bangusa),
sekarang pohutu sudah merakyat termasuk dalam hal nilai mahar (yang
dibedakan antara bangsawan dan budak), tetapi sekarang semua dinilai dengan
bentuk uang.
2)
Tujuan
Dahulu
orang melakukan perkawinan karena memiliki tujuan-tujuan tertentu, seperti
untuk memperbanyak keturunan dengan berpegang kepada prinsip makin banyak anak
makin banyak rezeki. Sekarang orang melangsungkan perkawinan dengan didasari
oleh motivasi kebahagian sehingga lebih suka berkeluarga kecil.
3)
Ekonomi
Dahulu
biaya nikah dan mahar dihubungkan dengan benda-benda tetap seperti tanah, pohon
kelapa, dan sawah, sekarang lebih banyak dihubungkan dengan uang.
4)
Adat
Dahulu
adat dupito atau wo’opo (seorang nenek tidur bersama dengan
pengantin baru pada malam pertama perkawinan), kini adat seprti itu telah
hilang.
5)
Kesenian pengiring
Dahulu
untuk meramaikan acara perkawinan diadakan hiburan atau kesenian berupa turunani
dan buruda, kini orang lebih suka meramaikannya dengan iringan musik
modern.
6)
Perlengkapan
Dahulu
untuk mengantarkan mahar digunakan kola-kola yang diusung di pedati
yang ditarik oleh manusia, tetapi sekarang sudah menggunakan kenderaan roda
empat (truk/open cup). Demikian pula perlengkapan lain berupa huwali lo
wada’a (kamar bersolek) atau huwali lo humbio (kamar tidur
pengantin) yang diberi wangi-wangian tradisional seperti: langgio, bada’a,
mato lo’u moonu, yilonta, dan totabu. Kini disedikan kamar
yang sesuai dengan kehidupan modern.
Daerah
Gorontalo yang merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia,
memiliki norma pernikahan sendiri yang disebut “pohutu moponika”. Pohutu merupakan bagian dari adat Gorontalo
secara keseluruhan, jelas memiliki berbagai aspek baik yang berhubungan dengan
falsafah dasar pernikahan itu sendiri, urutan prosesinya, makna falsafah benda
yang mengiringnya, busana para pelaksananya, dekorasi tempat pernikahan dan
penggunaan bahasa dalam rangkaian proses pernikahan. Hal ini semua berhubungan
dengan sistem norma yang masih tetap dipertahankan meskipun telah terjadi
penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan perkembangan pemikiran masyarakat
Gorontalo.
Kenyataan
dalam kehidupan sehari-hari terdapat kenyataan tentang pelaksanaan pernikahan
itu yakni pernikahan yang didasarkan pada “Syariat Islam secara penuh” dan
prosesi pernikahan yang didasarkan pada “adat yang bersendikan agama Islam”
inilah yang disebut “pohutu moponika” sehingga
pohutu moponika akan dilaksanakan bagi pasangan pria dan wanita yang akan
melangsungkan pernikahan yang tidak / belum melanggar hukum agama.[3]
Karena
adat Gorontalo bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah, maka menurut
agama, hukum nikah itu terdiri atas :
a)
Jais (diperbolehkan) ini asal
hukumnya
b)
Sunnah, bagi orang yang berkehendak
serta cukup belanjanya (nafkah dan lainnya)
c)
Wajib, atas orang cukup mempunyai
belanja dan dia takut akan tergoda kepada kejahatan (zinah)
d) Haram,
kepada orang yang berniat akan menyakiti atas perempuan yang akan dikawininya.[4]
Yang
berhak memperoleh pelaksanaan adat pernikahan dalam bentuk upacara kebesaran “pohutu” adalah :
a)
Olongia,
kini
dapat disejajarkan dengan jabatan gubernur, bupati dan walikota
b)
Huhuhu,
kini
dapat disejajarkan dengan wakil gubernur, wakil bupati/wakil walikota
c)
Wuleya
lo lipu’camat’
d)
Mufti
e)
Kadli
f)
Apitalau
g) Mbuu’i biluato[5]
[1] Ajub Ishak, Hukum
Perdata Islam Di Indonesia Dan Praktek Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo
, h. 84-86.
[2] Ajub Ishak, Hukum
Perdata Islam Di Indonesia Dan Praktek Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo,
(Gorontalo: Sultan Amai Press, 2014). Cet. I, h. 86-87.
[3]Hasil
Seminar Adat Gorontalo 2007, Pohutu
Aadati Lo Hulondalo Tata Upacara Adat Gorontalo, (Tim Perumus Kerjasama
Pemda Kabupaten Gorontalo, Forum Pengkajian Isam Al-Kautsar Gorontalo, Tokoh
Adat U Duluwo Limo Lo Pohalaa Gorontalo dan Tim Akademisi Gorontalo 2008, h. 126
[4] Hasil
Seminar Adat Gorontalo 2007, Pohutu
Aadati Lo Hulondalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 134.
[5] Hasil
Seminar Adat Gorontalo 2007, Pohutu
Aadati Lo Hulondalo Tata Upacara Adat Gorontalo,h. 135.