Sabtu, 29 Juni 2024

HAKIKAT PERKAWINAN ADAT GORONTALO

 

“HAKIKAT PERKAWINAN ADAT GORONTALO”

Perkawinan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status seseorang dalam masyarakat, selain itu perkawinan juga merupakan hal yang sakral, sebuah perkawinan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. Perkawinan juga memiliki fungsi sosial, seperti ketika mempersiapkan pelaksanaan prosesi pernikahan pasti membutuhkan bantuan orang lain sehingga dapat mempererat hubungan masyarakat melalui gotong-royong. Sebuah perkawinan juga dapat mempersatukan dua kebudayaan atau lebih, karena tidak ada larangan dalam pelaksanaan perkawinan beda suku, lain halnya dengan perkawinan beda agama yang dilarang oleh negara.

Oleh sebab itu perkawinan memiliki hakikat yang begitu sakral, hakikat perkawinan dalam adat Gorontalo dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu:[1]

1)  Keluarga

Perkawinan bukan semata-mata urusan pribadi atau dengan kata lain bukan saja urusan kedua calon mempelai, tetapi juga merupakan urusan keluarga, kerabat/handai tolan. Jika ada sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan selalu dimusyawarakan dengan keluarga. Karena dengan perkawinan maka anggota keluarga pun akan bertambah atau kekompakan keluarga dapat dipertahankan. Perkawinan akan berakibat kepada bertambah luasnya ikatan kekeluargaan, dari masing-masing kedua mempelai.

2)  Kedua Mempelai

Perkawinan adalah awal dari perjuangan untuk menempuh hidup berumah tangga sekaligus mengandung ujian, apakah perkawinan itu akan kokoh sepanjang hayat kedua mempelai, atau kandas diten ga samudera kehidupan. Perkawinan adalah merupakan titik kulminasi janji setia yang akan diikuti dengan rasa tanggung jawab, saling menghormati demi keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga harus dihadapi secara bersama-sama oleh kedua mempelai berdasarkan rasa tanggungjwab dan saling menghormati antar keduanya termasuk dalam melanjutkan keturunan dan pembentukan generasi baru.

3)  Turunan Yang Akan Diperoleh Dari Kedua Mempelai

Anak yang lahir dari perkawinan yang sah adalah anak yang sah, dan anak-anak tersebut akan bergembira bahwa mereka adalah hasil dari perkawinan yang sah (dila wala’o zina/bukan anak zina), yang akan menimbulkan kepercayaan diri pada anak itu sendiri. Pepatah orang Gorontalo: dungo langge dila modehu to tibawa lo batango oyile (daun pohon nangka tidak akan jatuh dibawah pohon mangga), atau wanu moolango ta’uliyo, moolango huliyaliyo (kalau jernih di hulu pasti akan jernih di hilir). Hakikat perkawinan yang dimaksudkan adalah mengupayakan keturunan yang suci, membentuk akhlak yang mulia terhadap anak yang dicontohkan oleh orang tuanya. Tanggung jawab mendidik anak adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, khususnya dalam pendidikan moral dan etika, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ajaran agama.

4)  Agama

Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban, serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Tercermin harapan bahwa turunan yang akan dihasilkan oleh pasangan suami istri tersebut tetap menjalankan syariat Islam serta mempertahankan agama Islam dalam perjalanan hidup mereka, hal ini sebagaimana tertuang dalam prinsip adat Gorontalo yang sangat populer dikalangan masyarakat Gorontalo, yang dijadikan dasar dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan khususnya dalam melaksanakan upacara tertentu termasuk upacara akad nikah. falsafah adat Gorontalo memiliki nilai yang luar biasa jika dimaknai dengan sesungguhnya oleh setiap kalangan masyarakat di Gorontalo, karena adat tersebut berlandaskan agama atau syariat Islam, sehingga sebagian besar masyarakat Gorontalo melaksanakan adat perkawinan senantiasa merujuk pada prosesi adat yang telah turun temurun dipegang teguh oleh masyarakat Gorontalo. Adat bersendikan syara’ dan kitabullah, tercermin dalam hakikat perkawinan di Gorontalo, yang memiliki landasan agama untuk menghalalkan pergaulan.

5)  Pandangan Masyarakat

Perkawinan adalah alat untuk menghindari timbulnya fitnah, sehingga pesta perkawinan merupakan maklumat atau pengumuman kepada semua orang, bahwa mereka sudah melangsungkan perkawinan. Tujuan perkawinan adalah ketenangan, maka dengan perkawinan yang telah dilaksanakan akan mengakibatkan kenyamanan bagi kedua mempelai dan masyarakat.

6)  Adat

Perkawinan bermakna memuliakan, menghormati kedua mempelai dan kedua keluarga mempelai. Perkawinan dianggap suci, agung dan karena itu harus dimuliakan dan dihormati. Untuk memuliakannya perlu dilaksnakan secara teratur menurut adatdan berdasarkan agama Islam. keagungan suatu masyarakat bisa dinilai dari hukum adat perkawinannya.

a.   Perubahan Sosial Pada Adat Perkawinan Di Gorontalo

Perubahan sosial dalam masyarakat Gorontalo terjadi karena pengaruh dari luar yang sangat kuat sehingga setiap masyarakat rela menerimanya dan pada dasarnya masyarakat Gorontalo mudah menyesuaikan diri dengan pengaruh yang datang dari luar jika bertentangan dengan agama. perubahan sosial terhadap adat perkawinan di Gorontalo dapat dilihat pada hal-hal berikut ini:[2]

1)  Status sosial

Dahulu yang mendapat pohutu di dalam acara adat perkawinan hanyalah terbatas pada putra-putri raja (olongiya) dan bangsawan (ta bangusa), sekarang pohutu sudah merakyat termasuk dalam hal nilai mahar (yang dibedakan antara bangsawan dan budak), tetapi sekarang semua dinilai dengan bentuk uang.

2)  Tujuan

Dahulu orang melakukan perkawinan karena memiliki tujuan-tujuan tertentu, seperti untuk memperbanyak keturunan dengan berpegang kepada prinsip makin banyak anak makin banyak rezeki. Sekarang orang melangsungkan perkawinan dengan didasari oleh motivasi kebahagian sehingga lebih suka berkeluarga kecil.

3)  Ekonomi

Dahulu biaya nikah dan mahar dihubungkan dengan benda-benda tetap seperti tanah, pohon kelapa, dan sawah, sekarang lebih banyak dihubungkan dengan uang.

4)  Adat

Dahulu adat dupito atau wo’opo (seorang nenek tidur bersama dengan pengantin baru pada malam pertama perkawinan), kini adat seprti itu telah hilang.

5)  Kesenian pengiring

Dahulu untuk meramaikan acara perkawinan diadakan hiburan atau kesenian berupa turunani dan buruda, kini orang lebih suka meramaikannya dengan iringan musik modern.

6)  Perlengkapan

Dahulu untuk mengantarkan mahar digunakan kola-kola yang diusung di pedati yang ditarik oleh manusia, tetapi sekarang sudah menggunakan kenderaan roda empat (truk/open cup). Demikian pula perlengkapan lain berupa huwali lo wada’a (kamar bersolek) atau huwali lo humbio (kamar tidur pengantin) yang diberi wangi-wangian tradisional seperti: langgio, bada’a, mato lo’u moonu, yilonta, dan totabu. Kini disedikan kamar yang sesuai dengan kehidupan modern.

Daerah Gorontalo yang merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia, memiliki norma pernikahan sendiri yang disebut “pohutu moponika”. Pohutu merupakan bagian dari adat Gorontalo secara keseluruhan, jelas memiliki berbagai aspek baik yang berhubungan dengan falsafah dasar pernikahan itu sendiri, urutan prosesinya, makna falsafah benda yang mengiringnya, busana para pelaksananya, dekorasi tempat pernikahan dan penggunaan bahasa dalam rangkaian proses pernikahan. Hal ini semua berhubungan dengan sistem norma yang masih tetap dipertahankan  meskipun telah terjadi penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan perkembangan pemikiran masyarakat Gorontalo.

Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari terdapat kenyataan tentang pelaksanaan pernikahan itu yakni pernikahan yang didasarkan pada “Syariat Islam secara penuh” dan prosesi pernikahan yang didasarkan pada “adat yang bersendikan agama Islam” inilah yang disebut “pohutu moponika” sehingga pohutu moponika akan dilaksanakan bagi pasangan pria dan wanita yang akan melangsungkan pernikahan yang tidak / belum melanggar hukum agama.[3]

Karena adat Gorontalo bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah, maka menurut agama, hukum nikah itu terdiri atas :

a)   Jais (diperbolehkan) ini asal hukumnya

b)  Sunnah, bagi orang yang berkehendak serta cukup belanjanya (nafkah dan lainnya)

c)   Wajib, atas orang cukup mempunyai belanja dan dia takut akan tergoda kepada kejahatan (zinah)

d)  Haram, kepada orang yang berniat akan menyakiti atas perempuan yang akan dikawininya.[4]

Yang berhak memperoleh pelaksanaan adat pernikahan dalam bentuk upacara kebesaran “pohutu” adalah :

a)   Olongia, kini dapat disejajarkan dengan jabatan gubernur, bupati dan walikota

b)  Huhuhu, kini dapat disejajarkan dengan wakil gubernur, wakil bupati/wakil walikota

c)   Wuleya lo lipu’camat’

d)  Mufti

e)   Kadli

f)   Apitalau

g)  Mbuu’i biluato[5]

            Untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan perubahan sosial, pohutu moponika dapat dilaksanakan untuk semua masyarakat, syaratnya yakni mampu dan berkeinginan melaksanakannya. Pohutu moponika tidak boleh dipaksakan dan bukan simbol kekuasaan dan keberadaan seseorang. Pohutu moponika diserahkan pada musyawarah keluarga yang mampu dan ingin melaksanakannya karena memahami betul makna, dan terutama manfaat pohutu moponika.


[1] Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Dan Praktek Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo , h. 84-86.

[2] Ajub Ishak, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Dan Praktek Perkawinan Dalam Bingkai Adat Gorontalo, (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2014). Cet. I, h. 86-87.

[3]Hasil Seminar Adat Gorontalo 2007, Pohutu Aadati Lo Hulondalo Tata Upacara Adat Gorontalo, (Tim Perumus Kerjasama Pemda Kabupaten Gorontalo, Forum Pengkajian Isam Al-Kautsar Gorontalo, Tokoh Adat U Duluwo Limo Lo Pohalaa Gorontalo dan Tim Akademisi Gorontalo 2008, h. 126

[4] Hasil Seminar Adat Gorontalo 2007, Pohutu Aadati Lo Hulondalo Tata Upacara Adat Gorontalo, h. 134.

[5] Hasil Seminar Adat Gorontalo 2007, Pohutu Aadati Lo Hulondalo Tata Upacara Adat Gorontalo,h. 135.

KONSEP TALAK DALAM ISLAM

 

“KONSEP TALAK DALAM ISLAM”

1.     Pandangan Umum Perceraian

Perceraian diakui dalam Islam sebagai jalan keluar dari kemelut rumah tangga yang disebabkan oleh pertengkaran yang tidak ada hentinya, atau salah satu pasangan telah memilih orang lain untuk dijadikan pasangan barunya, atau suami yang tidak melaksanakan kewajibannya sedangkan dia adalah laki-laki yang mampu untuk menafkahi istri dan anak-anaknya, atau sebab lain yang mengakibatkan hubungan suami istri yang awalnya dipenuhi dengan kasih sayang namun akhirnya berubah menjadi kebencian diantara mereka. [1]

Perceraian hanya boleh dilakukan karena mengandung unsur kemaslahatan, ketika setiap jalan perdamaian antara suami istri yang bertikai tidak menemukan jalan perdamaian. Perceraian hendaklah menjadi alternatif yang lebih mendidik kedua belah pihak. Hukum Islam memberikan kebebasan sepenuhnya kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang, dalam batas-batas yang dapat dipertanggung jawabkan. Disamping banyaknya akibat buruk dari suatu perceraian menyangkut kedua belah pihak dan anak-anak, dapat pula dibayangkan betapa tersiksanya seseorang yang mana kedamaian rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan, sehingga dalam kondisi seperti ini perceraian sebagai jalan untuk menyelesaikan permasalahan ini.[2]

Menurut hukum Islam, seorang suami mempunyai hak talak sedangkan istri tidak. Talak adalah hak suami, karena dialah yang berminat melangsungkan perkawinan, dialah yang berkewajiban memberi nafkah, dia pula yang wajib membayar mas kawin, mut’ah, serta nafkah. Disamping itu laki-laki adalah orang yang lebih sabar terhadap sesuatu yang tidak disenangi oleh perempuan. laki-laki tidak akan segera menjatuhkan talak apabila marah atau ada kesukaran yang menimpanya. Sebaliknya kaum wanita itu lebih cepat marah, kurang tabah sehingga ia cepat-cepat minta cerai hanya karena ada sebab yang sebenarnya sepele atau tidak masuk akal. Karena itulah wanita tidak diberi hak untuk menjatuhkan talak. [3]

2.     Macam-Macam Talak

        Hukum Islam telah mengatur tentang talak dengan tujuan untuk membedakan cara rujuk, hal ini dimaksudkan agar talak tidak menjadi hal yang dipermainkan oleh para pasangan suami istri adapun macam-macam talak dapat ditinjau dari berat ringannya akibat talak yaitu; [4]

a)   Talak raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang telah dikumpuli, bukan talak karena tebusan, bukan pula talak ketiga kalinya, sehingga suami dapat langsung kembali kepada istrinya yang dalam masa iddah tanpa harus melakukan akad nikah yang baru.

b)  Talak ba’in adalah talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami, kecuali dengan perkawinan yang baru walaupun dalam masa iddah, seperti talak perempuan yang belum dicampuri (disetubuhi). Talak ba’in terbagi menjadi dua macam yaitu; Pertama, talak ba’in sughra yaitu talak ini dapat memutuskan ikatan perkawinan, artinya jika istri telah ditalak, istri dianggap bebas menentukan pilihannya setelah habis masa iddahnya. Suami pertama dapat rujuk dengan akad perkawinan yang baru. Kedua, talak ba’in kubra adalah talak yang menyebabkan suami tidak dapat rujuk dengan istrinya kecuali istrinya telah menikah dengan laki-laki yang lain dan telah bercerai dengan suami kedua. Pernikahan kedua tidak boleh sekedar rekayasa sebagaimana dalam nikah muhallil.

c)   Talak khulu’ dipersamakan dengan talak tebus (iwadh) yang artinya talak yang diucapkan suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami. Perceraian seperti ini diperbolehkan dalam hukum Islam. Talak tebus boleh dilakukan sewaktu suci ataupun sewaktu haid, karena talak tebus terjadi berdasarkan kehendak istri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa dia rela walaupun menyebabkan iddahnya menjadi panjang. Apalagi talak tebus tidak terjadi selain karena perasaan perempuan yang tidak dapat dipertahankannya lagi. Meskipun hukum khulu’ adalah boleh tetapi tetap sebagai perilaku yang dibenci (makruh) sama seperti asal talak. Khulu’ diperbolehkan jika ada sebab yang menuntut, seperti suami yang cacat fisik atau cacat sedikit fisik suami yang menyebabkan suami tidak dapat menjalankan kewajibannya, atau suami yang suka  menyakiti fisik istri, dengan beberapa alasan ini istri dapat mengajukan khulu’ untuk berpisah dengan suami, talak semacam ini biasa disebut dengan gugat cerai atau perceraian atas inisiatif dari pihak istri.

        Islam memberikan hak talak kepada suami karena suami lebih bersikeras untuk melanggengkan tali perkawinannya yang telah dibinanya dengan hartanya, sehingga jika dia bercerai dan harus kawin lagi tentunya dia harus mengeluarkan biaya lagi untuk pernikahan yang selanjutnya. Dalam hal siapa yang berhak menjatuhkan talak, para ulama sepakat bahwa suami yang berakal, baligh, dan merdeka yang boleh menjatuhkan talak, dan talaknya dapat dinyatakan sah. [5]

        Suatu ikatan perkawinan, apabila antara suami dan istri sudah tidak ada kecocokan lagi untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia baik lahir maupun batin dapat dijadikan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian ke persidangan pengadilan. [6] Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar pengadilan agama memutuskan perkawinan penggugat dengan tergugat. [7]

        Upaya cerai gugat jika dihubungkan dengan tata tertib beracara yang diatur dalam hukum acara cerai gugat benar-benar murni bersifat contentiosa. Ada sengketa, yakni sengketa perkawinan yang menyangkut perkara perceraian. Ada pihak yang sama-sama berdiri sebagai subjek perdata. Oleh karena gugatan bersifat contentiosa, serta para pihak terdiri dari dua subjek yang saling berhadapan dalam kedudukan hukum yang sama dan sederajat, proses pemeriksaan cerai gugat benar-benar murni bersifat contradictoir. [8]

3.     Alasan Talak Suami

Berbagai macam alasan dilakukannya talak terhadap istri antara lain; laki-laki mentalak istrinya dalam keadaan terpaksa, mabuk, lalai atau dalam keadaan lupa dalam hal ini perbedaan pendapat ulama adanya yang menyatakan sah adapula yang menyatakan talaknya adalah sia-sia, sehingga dalam pengucapan talak diperlukan kesempurnaan kemampuan karena kekhawatiran kalimat talak ini hanya dipermainkan oleh laki-laki. [9]

1)  Talak Karena Adanya Paksaan

Paksaan berarti bukan dengan kehendak dan pilihannya. Kehendak dan pilihannya merupakan dasar taklif (pembebanan agama) dalam keadaan yang dipaksa maka dia tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. [10]

2)  Talak Karena Mabuk

          Para fuqaha berpendapat bahwa talak ketika mabuk hukumnya sah, karena mabuknya disebabkan oleh keinginannya. Bagi suami pemabuk, ketika mabuk mengucapkan talak kepada istri, talaknya jatuh seketika dan sah sebagai talak. Ulama lain berpendapat bahwa talaknya tidak sah karena orang yang mabuk kehilangan kesadaran yang kedudukannya tidak jauh berbeda dengan orang gila. Kedua orang ini sama-sama kehilangan akal, dan orang yang dipandang mukallaf harus orang yang berakal. Sebagaimana orang yang sedang mabuk lalu shalat, sehingga shalatnya tidak sah. [11]

3)  Talak Ketika Sedang Marah

Kemarahan yang menyebabkan tidak teraturnya ucapan dan tidak menyadari apa yang dikatakan, talaknya tidak sah, karena akal sehatnya hilang. Orang yang marah menurut Sayyid Sabiq sama dengan orang yang tertutup akalnya, sehingga tidak berbeda dengan orang gila. Akan tetapi kemarahan yang tidak sampai menutup akal dan hatinya seperti kemarahan yang terkendali karena Allah, talaknya sah. Adapun kriteria marah dan akibatnya pada talak adalah:[12]

a)  Yang menghilangkan akal, sehingga tidak sadar apa yang dikatakannya. Dalam keadaan begini tidak ada perbedaan pendapat tentang “tidak sahnya talak”.

b)  Yang pada dasarnya mengakibatkan orang kehilangan kesadaran atas apa yang dimaksud oleh ucapan-ucapannya. Dalam keadaan begini “talaknya sah”.

c) Marah sangat, tetapi tidak sama sekali menghilangkan kesadaran akalnya sehingga dia kemudian menyesal atas keterlanjurannya mengucapkan kata-kata ketika marah tadi. Dalam hal ini terdapat berbagai pendapat yang menyatakan talaknya tidak sah kuat argumennya.

4)  Talak Main-Main dan Keliru

Ulama fikih berpendapat, bahwa talak dengan main-main dipandang sah, sebagaimana dipandang sahnya nikah dengan main-main hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tarmizi yaitu “Tiga perkara kesungguhannya dipandang benar, dan main-mainnya dipandang benar pula yaitu; nikah, talak dan rujuk”. [13]

Menurut Sayyid Sabiq, hadis ini dalam sanadnya ada Abdullah Bin Habib seorang rawi yang diperselisihkan, tetapi kemudian dinilai kuat, karena dikuatkan dengan hadis-hadis lain.

5)  Talak Karena Tidak Sadarkan Diri

Orang yang tidak sadarkan diri adalah orang yang tidak tahu apa yang dikatakannya karena kejadian hebat telah menimpanya, sehingga hilang akalnya dan berubah pikirannya. Talak ini tidak sah, sebagaimana tidak sah talak orang gila, pikun, pingsan, dan orang yang rusak akalnya karena tua atau musibah yang tiba-tiba. [14]

Menurut UU No. 1 Tahun 1974, apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, bekas suami/istri dan harta bersama. Akibat hukum terhadap anak ialah, apabila terjadi perceraian, maka baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisiham mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan keputusannya. Akibat hukum terhadap harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat atau hukum yang lainnya (pasal 37), jika tidak ada kesepakatan Hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.

Pada umunya menurut hukum adat yang ideal, baik putus perkawinan karena kematian maupun karena perceraian, membawa akibat hukum terhadap kedudukan suami dan isteri, terhadap pemeliharaan, pendidikan dan kedudukan anak, terhadap keluarga dan kerabat dan terhadap harta bersama (harta pencarian), harta bawaan. Harta hadiah/pemberian, warisan dan atau harta peninggalan/pusaka. Segala sesuatunya berdasarkan hukum adat yang berlaku masing-masing, dan tidak ada kesamaan antara masyarakat adat yang satu dan yang lain. [15]

Apabila terjadi perceraian antara suami dan isteri menurut Hukum Islam maka akibat hukumnya yang jelas ialah dibebankannya kewajban suami terhadap isteri dan anak-anaknya, yaitu : 1) Memberi Mut’ah (suatu pemberian oleh suami kepada isteri yang dicerainya agar hati isteri dapat terhibur) berupa uang atau barang. 2) Memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama bekas isteri dalam masa idah. 3) Memberi nafkah untuk memelihara dan pendidikan anaknya sejak bayi sampai ia dewasa dan dapat mandiri. 4) Melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian lainnya.



[1]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, (Yogyakarta; Pustaka Baru, 2017), h. 104.

[2]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 105.

[3] Abdul Rahmad Budiono, Peradilan Agama Dan Hukum Islam Di Indonesia, (Malang: Bayu Media Publishing, 2003), h. 64.

[4]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga” , h. 106-107.

[5]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 107-108.

[6] Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika 2012), h. 94.

[7]Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, (Jakarta: Buku  2, 2007), h. 152.

[8] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 234.

[9]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 108.

[10]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 108.

[11]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 108.

[12]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 7,(Bandung: PT. Al-Ma’rif, 2000), h. 21.

[13]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 109.

[14]Aulia Muthiah, Hukum Islam “Dinamika Seputar Hukum Keluarga”, h. 110.

[15]Hilman Hadikusuma, h. 175.