K.H ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR):
“PARADIGMA USHUL FIQH MULTIKULTURAL”
(Kajian Buku:
“Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur” karya Dr. Moh. Dahlan M.Ag,)
Gus Dur (Presiden RI Ke-4) |
A.
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia Islam saat ini semakin memberikan warna tersendiri
dalam setiap pemikiran para ulama, mufassir dan para pemikir muslim
kontemporer. Perbedaan pandangan dan paradigma dari berbagai kalangan pemuka
agama dan pemikir Islam sebenarnya akan memberikan nuansa berfikir yang
komprehensif bukan menjadi sebuah perbedaan yang berujung pada saling menghujat
dan menunjukkan siapa yang paling benar. Hal inilah yang seharusnya dibangun
oleh masyarakat Indonesia dalam memahami sebuah perbedaan, sebab tanpa
perbedaan, negara itu akan terfokus pada satu pemikiran dan ajaran yang sama
yang tidak akan berkembang sampai kapan pun.
Salah satu pemikir Islam yang sangat keras dalam mendukung sebuah
perbedaan adalah K.H Abrurrahman Wahid (Gus Dur), yang merupakan ulama besar
bertaraf internasional yang tidak hanya besar di kalangan masyarakat Indonesia
tetapi juga sangat di akui oleh dunia, beliau merupakan cucu dan anak dari
pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu PBNU yang berhasil
melanjutkan misi pembaruan Islam Nusantara di negeri ini yang juga pernah
menjabat sebagai ketua umum PBNU, selain itu beliau juga pernah menjabat
sebagai Presiden ke 4 RI Indonesia. Sejak kecil beliau memang besar dan tumbuh
ditengah keluarga muslim yang taat, sehingga dasar-dasar agama Islam sudah
tertanam sejak dini dalam dirinya, Sepeninggal ayahnya dia terus mengembangkan
keilmuannya dalam pemikiran Islam dan mengembangkan pesantren-pesantren
berbasis NU yang sudah di rintis oleh ayahnya dan keluarga besarnya, beliau tidak
hanya mengembangkan ilmunya didalam negeri, tetapi sampai keluar negeri anatara
lain di timur tengah dan eropa, hal inilah yang mampu mengantarkan dirinya
menjadi ulama besar.
Paradigma dan cara berfikirnya sangat dikenal pada masa kejayaannya dan
semasa dia masih hidup, namun sejak meninggal dunia perlahan mulai terlupakan
dan bahkan mulai hilang dibenak masyarakat. Buah pemikirannya saat ini banyak
termuat dalam berbagai buku, walaupun begitu hal ini tidak sampai ditelinga
masyarakat yang belum pernah mendengarnya atau membacanya, terutama kalangan
muda dan masyarakat awwam yang masih anak-anak bahkan yang belum hidup
dimasanya. Pemikirannya saat ini masih mampu didapatkan atau didengar hanya
dikalangan masyarakat NU yang mempelajari dan di ajarkan dipesantren-pesantren
yang berbasis NU.
Pemikirannya tentang wawasan keislaman terutama dalam hal ushul fiqh/Hukum
Islam memang banyak menuai kontroversi dan tak jarang disalah pahami, namun
sebenarnya kalau dikaji dan dipahami lebih dalam lagi makna yang terkandung
didalamnya itu sangatlah besar dan bermanfaat tidak hanya dikalangan warga NU
saja tapi seluruh masyarakat Indonesia. Kerangka berfikirnya yang komprehensif
dan kritis dalam memandang realitas agama, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan
dan kenegaraan tak lepas dari argumen-argumen dan kaidah ushul fiqh yang
normatif merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam ayat Al-Qur’an antara
lain:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ
دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Terjemahnya: Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang
yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Q.S
Al-Fushilat, 41: 33) [1]
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Terjemahnya: Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S.
Ali Imran, 3: 104). [2]
Dalam ayat ini K.H Abdurrahman Wahid
meramu antara teori istimbath hukum dengan kenyataan rill yang dihadapi umat
manusia. Misalnya dijelaskan bahwa dalam surat Al-Fushilat ayat 33 itu
menjelaskan bahwa amal saleh (amalan shalihan) hanya berada ditengah kaum
Muslimin, sedangkan surat Ali Imran ayat 104 tersebut terlihat amal
kebaikan (fi’lu al-khair)dapat diberikan kepada siapa saja termasuk orang non
muslim. [3] Sehingga dalam menuangkan isi dari
berbagai pemikiran tentang ushul fiqh K.H Abdurrahman Wahid maka diterbitkanlah
buku “Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur” karya Dr. Moh. Dahlan M.Ag,
untuk memberikan pemahaman dan informasi tentang paradigma berfikir Gus Dur
dalam ushul fiqh.
B.
PARADIGMA USHUL FIQH MULTIKULTURAL (KH.
Abdurrahman Wahid)
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang
sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang
mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi
realita itu.
Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang seseorang
terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir
(kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma
juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di
terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya,
dalam disiplin intelektual.
Sementara multikultural adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang
ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural)
yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya,
kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Jadi, paradigma ushul fiqh multikultural KH. Abdurrahman Wahid adalah
sekumpulan pemikiran yang berasal dari pola pikirnya sebagai titik tolak
pandangannya tentang ushul Fiqh dalam menjelaskan ragam kehidupan di dunia dan
kebudayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem,
budaya, kebiasaan dan politik yang mereka anut.
K.H Abdurrahman Wahid merupakan ulama
besar yang dengan gaya dan cara berfikir multikulturalnya ini telah banyak
memberikan pemikirannya untuk bangsa, dalam rangka menjaga kestabilan negara
dengan tujuan utamanya yaitu merangkul seluruh elemen masyarakat untuk ikut
terlibat dalam kemajuan bangsa tanpa perbedaan agama, suku, ras, antar golongan
dan melindungi kaum minoritas, sebab di Indonesia ini sejak tersebarnya Islam
berbagai macam spekulasi pemikiran Islam perlahan-lahan semakin berkembang
namun sifatnya fluktuatif, kadang stabil kadang tidak.
Banyak hal yang telah digagas oleh
K.H Abdurrahman Wahid untuk mencapai tujuannya itu antara lain: Pertama, Mencoba
untuk merubah pemikiran lama tentang fiqh yang bercorak budaya Arab yang sudah
pasti tidak sesuai dengan budaya kita di Indonesia, bahkan ia sempat
mewacanakan pribumisasi Islam, Maka dari itu perlu adanya pembaruan ajaran fiqh
untuk merubah norma-norma fiqh dengan mengakomodir pluralitas budaya bangsa
ini. Kedua, penyelesaian konflik keagamaan yang pernah terjadi di negara
ini, melalui kerja sama antar agama sebagai usaha untuk membangun keharmonisan
dan kebersamaan antarumat beragama. Ketiga, pentingnya paham pluralitas
dan kebebasan beragama. Keempat, menggagas penegakan hukum di negri ini dengan berlandaskan prinsip
kemanusiaan, menumpas segala bentuk ketidakadilan dan penindasan termasuk
hak-hak kaum minoritas. Kelima, pentingnya pembaruan hukum Islam dalam
rangka menjamin kehidupan umat manusia secara universal. Keenam,
menawarkan pengembangan pesantren dengan masa depan yang optimistik, ia
menempatkan pesantren bukan untuk kajian agama saja tetapi harus mampu
menyumbangkan suatu sistem nilai moral pada masyarakat.
Apa yang telah di sampaikan oleh K.H
Abdurrahman Wahid ini penting untuk kita melihat lebih dalam lagi bagaimana
paradigma yang dibangun oleh beliau dalam memberikan sumbangsi pemikirannya
terhadap dunia Islam serta bagaimana metode dan prinsip berfikirnya.
- Metode Ushul Fiqh
Multikultural K.H Abdurrahman Wahid
Metode ushul fiqh multikultural yang
dikembangkan oleh K.H Abdurrahman Wahid pada dasarnya tidak jauh beda dengan
apa yang telah disyariatkan dalam agama Islam, tetapi memang ia memiliki nuansa
tersendiri untuk meramunya menjadi sedikit berbeda dan bernuansa kebudayaan
Indonesia. Beberapa sumber ajaran Islam yang digunakan oleh Gus Dur dalam
mengembangkan metode ushul fiqh multikultural yang digagasnya yaitu;
- Syari’ah, ia mendefinisikan syari’ah sebagai
jalan hidup kaum muslimin berupa hukum dan aturan Islam yang mengatur
sendi-sendi kehidupannya, seperti aturan tentang sholat, puasa, dan lain
sebagainya. [4]
- Fiqih, ia menyatakan bahwa fiqih adalah
ketentuan hukum-hukum yang dihasilkan dari proses pemahaman fuqaha’ yang
mendalam terhadap ketentuan-ketentuan syari’ah/nas-nas hukum agama Islam. [5]
- Ushul Fiqih, ia memaknai ushul fiqih/Islamic
Legal Theory adalah ilmu yang membahas tentang teori-teori hukum
Islam. Adapun multikultural yang diberikan adalah karena ia selalu
melakukan upaya aktualisasi antara konsep-konsep hukum Islam yang sudah
dianggap baku dengan realitas faktual yang majemuk, sehingga ada dialektika
antara konsep dengan fakta. [6]
Gagasan pribumisasi Islam K.H
Abdurrahman Wahid menggagasnya dengan melakukan upaya pembaruan hukum
Agama/fiqih dengan memposisikan ajaran fiqih menjadi pendukung gerakan
pribumisasi (ajaran fiqih) Islam. Hal ini memiliki pesan yang mendalam, yakni
dengan upaya menerjemahkan hukum agama sesuai dengan adat istiadat dan
kemajemukan masyarakat Indonesia sekaligus menjauhkan dari model gerakan agama
Timur Tengah yang penuh konfrontasi dan konflik yang tiada hentinya. [7] Salah satu wujud nyata upaya
pribumisasi Islam dalam konteks kemajemukan hidup beragama yang digagas olehnya
adalah dengan menyatakan perbedaan keyakinan agama adalah sesuatu hal yang
wajar, tidak perlu dipertentangkan, yang perlu dibangun adalah kebersamaan/kerjasama
walaupun dengan bentuk yang berbeda.
Paradigma ijtihad yang dibangun oleh
K.H Abdurrahman Wahid tidaklah muda dilaluinya sebab kondisi masyarakat Islam
yang pada saat itu masih sangat meyakini bahwa masa sahabat dan tabiin
merupakan masa yang paling sempurna dan harus diwujudkan kembali. Padahal
secara teoritis-rasional hal ini tidak mungkin bisa diwujudkan kembali dalam
kurun waktu dan kondisi yang berbeda.[8] Apalagi kalau disesuaikan dengan
kondisi kebudayaan masyarakat Indonesia yang masih bersifat fluktuatif.
Sehingga hal ini menjadi sebuah permasalahan yang mendasar yang dihadapi oleh
K.H Abdurrahman Wahid dalam berijtihad.
Pada tataran metodologi ini K.H
Abdurrahman Wahid dalam beristinbath mendasarkan pemikirannya pada beberapa
paradigma sebagai berikut:
- Paradigma Ijma’
Multikultural
Paradigma Ijma’ Multikultural
yaitu, ijma’ yang melibatkan berbagai kalangan atau kelompok, misalnya ijma’
yang dirumuskan oleh suatu bangsa, Negara, organisasi keagamaan profesional,
seperti MUI, LBM NU, MTT Muhammadiyah, dsb. Ia menekankan dalam membangun
konsep ijma’ mampu memelihara hak dan kewajiban setiap Individu tanpa memandang
perbedaan agama, budaya dan etnisnya, semua memiliki hak yang sama den
melibatkan diri dalam mempengaruhi formulasi penetapan kebijakan hukum publik,
agar menghasilkan ketentuan yang memberikan kebebasan kepada umat manusia
seperti kebebasan mengutarakan pendapat yang dijamin UU, kebebasan
berorganisasi, kebebsan bepergian keluar negeri tanpa dikaitkan dengana masalah
politik, kritik keras terhadap pemerintah tanpa pencekalan dan orang yang tidak
melakukan tindakan kriminal tidak boleh dicekal, betapapun keras kritikannya
terhadap pemerintah. [9] Konsensus ijma’ tidak hanya
mengandalkan suara mayoritas sebagai tolok ukurnya tetapi juga memelihara dan
melindungi hak dan kebebasan serta menjamin kesejahteraan seluruh warganya
berdasarkan khazanah budaya setempat yang dianggar Baik. [10]
- Paradigma Qiyas
multikultural
Menurut KH Abdurrahman Wahid qiyas
adalah penyamaan suatu kasus hukum baru yang belum ada ketentuan hukumnya
kedalam ketentuan hukum nas hukum agama dengan adanya kesamaan illat hukum. [11]
Dalam prakteknya qiyas ini telah mampu menjawab perkembangan sistem
perekonomian yang begitu pesat yang tidak ada jawabannya dalam Al-Qur’an dan
hadis tetapi mampu diselesaikan dengan qiyas. Ini merupakan qiyas yang
inklusif, menerima adanya perbedaan pendapat diantara kalangan dalam suatu
kasus.
- Paradigma Istihsan
multikultural
Paradigma Istihsan
multikultural yaitu menggunakan hukum juz’iyah dari pada hukum kulliyah
jika ada tuntutan menghendaki diterapkannya hukum tersebut. Dalam pandangannya
KH Abdurrahman Wahid mengungkapkan bahwa kerja sama dalam hal maju bersama dan
memperbaiki nasib bersama demi mencapai kesejahteraan materi, buatnya tidak
masalah untuk bekerja sama antar umat muslim
dan non muslih. Walaupun pada dasarnya hal ini tidak dibenarkan dalam
al-Qur’an namun ia menafsirkannya bahwa yang tidak boleh itu dalam hal aqidah,
karna sama-sama pasti tidak bisa saling menerima, ini merupakan caranya dalam
menerapkan paradigma istihsan.
4. Paradigma Maslahah
Multikultural
Paradigma maslahah
multikultural yaitu kemanfaatan yang ditujukan untuk manusia agar dapat menjaga
keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Paradigma mashlah sebagai
sebagai metode ijtihad hukum mewujudkan lima jaminan dasar yang harus dipenuhi
seperti yang telah dijabarkan oleh KH Abdurrahman Wahid yaitu; keselamatan
fisik warga masyarakat, keselamatan keyakinan agama masing-masing, keselamatan
keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda pribadi, dan keselamatan
profesi.[12] Dalam konteks kemaslahatan ini KH Abdurrahman
Wahid mengulas pentingnya dialog antar umat beragama yang sebelumnya merupakan
hal yang tidak wajib namun demi membangun kerja sama dalam hal muamalah
maka hal ini penting untuk dilakukan.
Dalam pengakuan syara’ mashlahah
dibagi dalam tiga jenis yang kemudian diilustrasikan oleh KH Abdurrahman Wahid
sebagai berikut; mashlahah mu’tabarah, [13] yang
diilustrasikan bahwa Islam sebagai agama hukum tidak perlu dibela sebagaimana
halnya Allah. Sebab keduanya bisa membela dengan sendirinya, seperti yang dijelaskan
dalam surat Al-Maidah ayat 3. Dalam konteks mashlahah mursalah [14] diilustrasikan dalam proses
pencalonannya sebagai presiden. Sedangkan mashlahah mulghah [15] dikaitkannya dengan kerjasama dalam
bidang akidah antar muslim dan non muslim yang tidak ada aturannya dalam
Al-Qur’an. Dalam konteks cakupannya ada dua yaitu mashlahah ‘ammah [16] yang dijabarkan oleh KH Abdurrahman
Wahid dalam hal kesediannya menjadi calonan presiden, untuk menghindari
lahirnya banyak korban dan perang saudara. Dalam mashlahah khasash [17]dijabarkan dalam hal pencabutan TAP
MPRS no 25 tahun 1966 yang berguna bagi kemaslahatan golongan tertentu yaitu
PKI. [18] Dalam hal pembangunan sistem ekonomi
ia sangat memperhatikannya terutama dalam hal kemaslahatan rakyat kecil.
- Paradigma ‘Urf Multikultural
Paradigma ‘urf multikultural
yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam
menentukan suatu hukum. Dalam hal ini ‘urf dibagi dalam dua macam yaitu ‘urf
shahihah [19] dan ‘urf fasidah [20], namun yang dipandang oleh KH Abdurrahman
Wahid merupakan ‘urf yang harus dilestarikan adalah ‘urf shahihah,
hal ini penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan hukum Islam dan
proses peradilan, sehingga ‘urf dapat dikukuhkan menjadi hukum syara’.
Salah satu contoh yang dijabarkan olehnya adalah tentang pembagian harta
warisan sangat memungkinkan untuk mengikuti kebudayaan dan kearifan lokal suatu
daerah, walaupun ketentuannya dalam Al-Qur’an sudah diatur dua banding satu
antara laki-laki dan perempuan, namun hal ini bisa disesuaikan dengan kebiasaan
tergantung situasi dan kondisi yang memungkinkan.
- Paradigma Syadz Al-Dzara’ah
Multikultural,
Paradigma Syadz Al-Dzara’ah
Multikultural yaitu mempertimbang sesuatu yang menjadi perantara kearah
perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum. Dalam
konteks ini KH Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai tindakan preventif agar
tidak muncul tindakan kemafsadatan. [21] Ia mencontohkan dalam hal lahirnya
terorisme yang sangat dipengaruhi oleh pemahan agama/fiqih yang dangkal
sehingga kewajiban bagi kaum muslimin adalah untuk melakukan reinterpretasi. [22] Dalam konteks fath al-dzari’ah,
ia menyebutkan bahwa ekonomi negara akan tegak dan kokoh jika sistem ekonomi
dibangun berorientasi pada penguatan dan keberpihakan pada kepentingan Usaha
Kecil Menengah (UKM).
C. PRINSIP USHUL FIQH
MULTIKULTURAL (K.H Abdurrahman Wahid)
Dalam prakteknya ushul
fiqih multikultural yang digagas oleh KH Abdurrahman Wahid memiliki empat
prinsip yang diterapkan dalam proses istinbath hukum.
1. Prinsip Keadilan
Dalam prinsip keadilan
ini, ia mempertegas apa yang sudah di amanatkan lewat Al-Qur’an agar setiap
manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang diembannya, melindungi kaum lemah
dan kekurangan, memiliki kepekaan sosial dengan sesama warga masyarakat dan
jujur dalam bersikap. Hal yang sama juga dipertegas dalam pesan UUD Tahun 1945
yang menyebutkan bahwa tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
untuk mencapai keadilan dan kemakmuran.
2. Prinsip Kemanusiaan
Dalam prinsip ini ia
menjabarkan bahwa dalam hal mewujudkan dan mencapainya harus ditopang oleh
beberapa hal, yaitu kebebasan nurani, menjamin kebebasan manusia, keselamatan
akal dan jiwa manusia dan yang terakhir adalah memberdayakan manusia baik dalam
tataran intelektual maupun perilaku. Menurutnya pelembagaan lembaga pengawasan
yang kuat juga dapat mendukung terwujudnya pemeliharaan nilai-nilai manusia
terutama dalam hal penegakan hukun yang tidak hanya sekedar membentuk
pengadilan terbuka dan adil. Sehingga pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan yang
adil tidak hanya sekedar berbentuk formalitas, tetapi juga dengan adanya
pemeliharaan nilai-nilai substansial dari prosedur pelaksanaan pemeliharaan
nilai-nilai kemanusiaan.
3. Prinsip Negara Hukum
Dalam prinsip ini ia
menjabarkan bahwa dalam hal pembentukan negara hukum, maka negara harus
mendasarkan pada kesejahteraan dan kemaslahatan sosial dalam merumuskan suatu
hukum/konstitusi. Menurutnya prinsip ini bisa terwujud dengan adanya prinsip
supremasi hukum, prinsip persamaan didepan hukum dan prinsip independensi
peradilan yang ditegakkan.
4. Prinsip Universalitas
Dalam prinsip ini ia
menjabarkan bahwa dalam membuat aturan hukum atau undang-undang harus
memperhatikan dan disesuaikan dengan lima prinsip pokok hukum Islam (agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta) yang menjamin keselamatan manusia dan senafas
dengan nilai keadlian, kemanusiaan, keseimbangan, keserasian, keselarasan,
kesamaan di depan hukum dan ketertiban.
Dengan paradigma dan
keempat prinsip yang telah dijabarkan diatas ini KH Abdurrahman Wahid menggagas
ushul fiqih multikultural yang telah mampu membangun sistem hukum Islam yang
kontekstual dan melahirkan beragam macam rumusan konsep fiqih, yaitu fiqih
kenegaraan, fiqih kemanusiaan, fiqih kebudayaan, fiqih politik, fiqih ekonomi,
fiqih kebangsaan dan fiqih lintas mazhab. Yang didalamnya menerapkan
prinsip-prinsip ushul fiqih multikultural yang digagasnya, sehingga segala
bentuk aturan yang lahir dari negara ini mampu memberikan rasa aman dan nyaman
kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa memandang suku, agama dan ras.
Sehingga negara ini mampu hadir dengan konsep aturan main sendiri yang tidak
lagi ada pengaruh dengan negara lain, dengan tidak membuang konsep lama tetapi
bisa untuk menjadi pembanding aturan yang dibuat negara. Paradigma inilah yang
dibangun oleh KH Abdurrahman Wahid untuk mewujudkan tujuannya dalam hal
“pribumisasi fiqih” yang sholihun li kulli zaman wa al-makan.
C.
KESIMPULAN
1.
Ushul Fiqih Multikutural yang digagas oleh KH Abdurrahman Wahid dalam hal metodologi beristinbath
mendasarkan pemikirannya pada beberapa paradigma yaitu; Pertama, paradigma ijma’ multikultural,
yakni ijma’ yang dalam prosesnya melibatkan berbagai kalangan
atau kelompok. Kedua, paradigma Qiyas multikultural,
yaitu qiyas yang inklusif, menerima adanya perbedaan pendapat
di antara kalangan dalam suatu kasus hukum. Ketiga, paradigma istihsan multikultural,
yakni menggunakan hukum juz’iyah dari pada hukum kulliyah jika
ada tuntutan yang menghendaki diterapkannya hukum tersebut. Keempat, maslahah multikultural, yakni
kemanfaatan yang ditujukan untuk manusia agar dapat menjaga keselamatan agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima, paradigma urf mulitikultural,
yakni melibatkan dan melestarikan kearifan budaya/tradisi lokal dalam
menentukan suatu hukum. Keenam, syadz al-Dzara’ah multikultural, yaitu
mempertimbangkan sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang
diharamkan atau dihalalkan dalam menentukan suatu hukum.
2.
Dalam prakteknya, ushul fikih
multikultural yang digagas Gus Dus memiliki empat prinsip yang harus diterapkan
dalam proses istinbath hukum. Pertama, prinsip
keadilan. Menurutnya setiap manusia wajib untuk berlaku adil, memenuhi
janjinya, tugas dan amanat, melindungi kaum lemah dan kekurangan, memiliki
kepekaan sosial, dan bersikap jujur. Kedua, prinsip kemanusiaan.
Gus Dur menjelaskan bahwa Islam sangat melindungi dan menghargai
kemanusiaan. Ketiga, prinsip negara hukum. Menurut Gus Dur,
suatu Negara harus memiliki hukum/konstitusi yang didasarkan pada kesejahteraan
dan kemaslahatan sosial (Tasharrufu al-Imam ‘ala al-Ra’iyah manutun bi
al-Maslahah). Keempat, prinsip universalitas. Dalam hal
ini, Gus Dur berpendapat bahwa semua hukum atau undang-undang yang dibuat harus
sesuai dengan lima prinsip pokok hukum Islam (agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta ) yang menjamin keselamatan manusia dan senafas dengan nilai keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan, keserasian, keselarasan, kesamaan di depan hukum, dan
ketertiban.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Islam di Asia Tenggara, dalam Abu Zahra ed. Politik Demi Tuhan, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan:
Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan, eds Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad Suaedy,
Yogyakarta: The Wahid Institute, 2007.
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam
Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institut, 2006
Abu Zahra (ed.), Politik Demi
Tuhan:Nasionalisme Religius di Indonesia, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.
Abdurrahman Wahid,
“Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dan Budhy
Munawar-Rahman (ed.) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina.
Andree Feillard,
NU Vis-a-vis Negara: Pencarian
Isi, Bentuk dan Makna, terj.
Lesmana, Yogyakarta: LkiS, 1995.
Hasil Wawancara dengan KH Abdurrahman Wahid, dikutip dari Rifa’i, Gus Dur...,hlm. 90-91,
dikutip lagi dalam Buku Moh. Dahlan, Paradigma
Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih, 2009.
KH Abdurrahman Wahid,
Prisma Pemikiran Gus
Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000.
Moh. Dahlan, Paradigma
Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013.
www.pcnupati.or.id/2015/02/mengenal-ushul-fiqih-multikultural-gus.html
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi
tentang Pandangan Hidup Kiayi, Jakarta: LP3ES, 1982.
[3] Moh. Dahlan, “Kata
Pengantar” Paradigma Ushul Fiqh
Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013.
[4] Abdurrahman Wahid, Syari’atisasi dan Bank Syariah, dalam Abdurrahman
Wahid, Islamku,
Islam Anda, Islam Kita....,
hlm. 192.
[5] Abdurrahman Wahid, “Kaum Muslim dan Cita-cita”, dan Abdurrahman Wahid,
“Islam: Ideologis atau kultural?(01)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam
Kita...., hlm. 43
dan 71-73. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal..., hlm. 366.
[6] Abdurrahman Wahid, “Kaum Muslimin dan Cita-cita”, dalam Abdurrahman
Wahid, Islamku,
Islam Anda, Islam Kita....,
hlm. 71-73.
[7] Andree Feillard, NU
Vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, (Yogyakarta:LkiS, 1995), hlm. 272. Bandingkan dengan
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiayi, (Jakarta: LP3ES, 1982).
[8] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan, eds Agus Maftuh Abegebriel dan Ahmad
Suaedy, (Yogyakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 197.
[9] Hasil Wawancara
dengan KH Abdurrahman Wahid, dikutip
dari Rifa’i, Gus Dur...,hlm. 90-91, dikutip lagi dalam Buku Moh.
Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh
Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press, Bengkulu, Cet.I, 2013, hlm. 100.
[10] Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Bengkulu Press,
Bengkulu, Cet.I, 2013, hlm. 101.
[11] Abdurrahman Wahid, Tata Krama dan “Ummatan Wa Hidan” dalam Abdurrahman
Wahid, Islamku,
Islam Anda, Islam Kita...., hlm 235.
[12] Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban
Islam”, dan Budhy Munawar-Rahman (ed.) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta:Paramadina).
[13] Mashlahah Mu’tabarah adalah jenis mashlahah
yang yang keberadaanya diakui oleh syara’ atau terdapat dalam nas tanpa perlu adanya
ijtihad untuk menentukan ada tidaknya hukum tersebut.
[14] Mashlahah Mursalah adalah mashlahah yang keberadaanya tidak ditemukan dalam nash dan
mujtahid harus melakukan ijtihad untuk menentukan ada tidaknya mashlahah
dalam hal tersebut.
[15] Mashlahah Mulghah adalah jenis mashlahah yang keberadaanya tidak diakui oleh nash karena
dianggap bertentangan dengan ketentuan eksplisit nash.
[16] Mashlahah ‘Ammah adalah jenis mashlahah yang dibutuhkan untuk menjamin terpeliharanya
kepentingan kesejahteraan umum .
[17] Mashlahah Khasash adalah jenis mashlahah yang jangkauannya untuk perorangan atau kelompok tertentu.
[18] Abdurrahman Wahid, “Islam: Ideologi atukah kultural? (3)”, dalam
Abdurrahman Wahid, Islamku,
Islam Anda, Islam Kita....,hlm.51.
[19] ‘Urf Sahihah adalah segala bentuk kebiasaan yang
sudah dikenal dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.
[20] ‘Urf Fasidah adalah segala bentuk kebiasaan yang
sudah dikenal oleh masyarakat tetapi berlawanan dengan dalil-dalil syara’.
[21] Abdurrahman Wahid, “Terorisme Harus Dilawan” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam
Kita...., hlm.
292-293.
[22] Abdurrahman Wahid, “Bersumber Dari Pendangkalan” dalam Abdurrahman
Wahid, Islamku,
Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 302.