Selasa, 22 Januari 2019

EKSISTENSI HUKUM ISLAM


EKSISTENSI HUKUM ISLAM
DALAM SISTEM POLITIK HUKUM DI INDONESIA
   
Palu Dan Buku
A. Pendahuluan
Syariat adalah kalam nafsi azali yang hanya Allah swt. sendiri yang tahu maksud dan tujuannya. Kalam lafzi itu diturunkan dalam bentuk al-Quran. Dengan demikian, yang membuat syariat adalah Allah swt. selama melaksanakan tugas kerasulannya, Rasulullah saw. Selalu berpedoman pada wahyu ilahi. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Adalah murni syariat sebagaimana dimaksudkan oleh Allah swt. maka sumber pokok syariat adalah al-Quran dan Sunnah Nabi. Tanpa mengetahui sumber pokok ini, mustahil kita mengetahui syariat. [1]
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan tahun 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau pada abad ke-7/ke-8 Masehi. Pendapat lain mengatakan Islam masuk ke nusantara ini pada abad ke-13 Masehi.[2] Sejak saat itu Islam mulai dikembangkan dan diterapkan diseluruh wilayah Indonesia.
Sejak masuknya Islam di Indonesia maka berbagai masalah mengenai hukum Islam mulai dikenal luas dan diberlakukan di Indonesia, misalnya masalah perkawinan dan kewarisan. Mengenai masalah hukum kewarisan dan perkawinan di Indonesia tentu hal ini tidak pernah luput dari sejarah dan kebiasaan yang telah terbangun dimasing-masing daerah di Indonesia. Setiap daerah, wilayah, dan suku kampung sudah pasti telah memiliki atau menjalankan suatu kebiasaan dalam hal warisan. Ditambah lagi dengan keanekaragaman suku bangsa di Indonesia ini, apabila dicari dan diteliti tentu akan didapatkan berbagai metode ataupun cara dari tiap-tiap daerah yang berbeda-beda dalam hal pembagian waris dan proses perkawaninan yang terjadi, hal ini dipengaruhi oleh sistem hukum adat masing-masing daerah berbeda-beda karena keragaman budaya yang ada sekarang.
Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law. Dalam al-Qur’an maupun sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah kata syari’ah yang dalam penjabarannya kemudian lahirlah istilah fiqh. [3] Makna hukum Islam di Indonesia dapat diambil dari beberapa istilah yang dikenal dalam perkembangan hukum Islam, seperti attasyri’, al-fiqh, dan al-qanun. Pada hirarki pertama, pengertian kita tentang norma atau kaidah hukum Islam itu bersifat konkret dan kontan yang terkait dengan proses turunnya wahyu dari Allah swt. melalui Rasulullah saw. yang langsung menjadi jawaban atas pertanyaan yang timbul atau langsung menjadi solusi terhadap aneka persoalan yang terjadi di masa kerasulan Nabi Muhammad saw. [4]
Sistem hukum di Indonesia pada dasarnya menyerap tiga sistem hukum di Indonesia yaitu; hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat (kontinental), dimana ketiga unsur ini dalam sistem hukum di Indonesia saling mempengaruhi satu sama lain terutama dalam proses penyusunan, menetapkan/mencabut dan merubah sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam prosesnya hukum Islam mampu memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan sistem hukum di Indonesia, dalam menentukan tujuan dan kebijakan dasar dalam meletakkan konsep dasar politik hukum  nasional dalam rangka pembentukan sistem hukum Indonesia khususnya hukum perdata tertentu yang berlaku bagi ummat Islam seperti perkara-perkara, Perkawinan, Kewarisan, Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan Islam, Wakaf dan Sedekah.
Kontribusi hukum Islam dalam proses politik hukum di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya aturan perundang-undangan yang berlaku, yang didalamnya banyak menyerap hukum Islam. Hal inilah yang membuat hukum Islam di Indonesia masih tetap menunjukkan eksistensinya dalam pembentukan hukum di Indonesia sampai dengan saat ini. Sayangnya, meskipun eksistensi hukum Islam di Indonesia masih tetap terjaga keberadaannya, namun dalam penerapannya hukum Islam tidak terlalu nampak di dalam masyarakat. Aturan-aturan tentang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah sangatlah jarang diketahui oleh masyarakat luas, aturan-aturannya baru akan diketahui oleh masyarakat pada saat ada permasalahan yang dihadapi tentang masalah tersebut. Artinya bahwa hukum Islam yang berlaku di Indonesia ini tidak didukung oleh penerapannya di dalam masyarakat.

B.       Proses Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia
Pengakuan hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku di Indonesia, sampai saat ini memang tidak lepas dari sejarah dan proses pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Pada masa pra penjajahan belanda sekitar abad ke-7 dan ke-8 yang juga sebagai masa awal masuknya Islam di Indonesia hukum Islam mulai dikenal dan diberlakukan di beberapa daerah yang menjadi pusat kerajaan Islam yang terbentuk pada saat itu, seperti di kerajaan Samudera Pasai yang dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia, yang kemudian diikuti oleh beberapa daerah lainnya setelah Islam semakin menyebar ke berbagai penjuru tanah air, seperti berdirinya Kesultanan Malaka, Kerajaan Demak, Mataram, Cirebon, Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate dan Tidore. Pada masa ini dikenal dengan pemberlakuan teori receptie in complexu yaitu pemberlakuan hukum Islam secara penuh. [5]
Pada masa penjajahan Belanda keberadaan hukum Islam menjadi lemah dan semakin melemah sampai dengan masa berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, karena Belanda menginginkan hukum Belanda yang harus diterapkan, meskipun sempat dibebaskan dapat menggunakan hukum Islam namun nyatanya hukum Islam tidak mampu menunjukkan eksistensinya pada masa ini. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama pada masa penjajahan, walaupun sejarah mencatatkan bahwa kekejaman penjajahan Belanda di Indonesia cukup di rasakan rakyat terutama oleh kalangan umat Islam yang tidak diberikan ruang gerak yang cukup namun ada salah satu yang berhasil didirikan oleh pemerintahan Belanda untuk melindungi hak-hak masyarakat Muslim yaitu pendirian Peradilan Agama. Pada Tahun 1882, melalui Staatsblad No. 152 Tahun 1882, tentang pendirian Radd Agama (yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama) untuk Jawa dan Madura. Dalam Staatsblad tahun 1882 No. 152 ini ditetapkan bahwa yang menjadi kewenangan absolutya adalah: [6]
1.    Perkara-perkara yang berhubungan dengan pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah dan perwalian.
2.    Warisan.
3.    Wakaf.
Kemudian dengan adanya Staatsblad tahun 1937 No. 116, yang mulai berlaku tanggal 1 April 1937, kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi. Sejak saat itulah kekuasaan Pengadilan Agama hanya sebatas pada:
1.    Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
2.    Perkara-perkara tentang; nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang beragama Islam yang memerlukan hakim Agama Islam.
3.    Memberi keputusan perceraian.
4.    Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya ta’likut thalak sudah ada.
5.    Perkara mahar.
6.    Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan oleh suami.
Dengan demikian perkara-perkara seperti; Perselisihan soal warisan, Pembagian harta warisan, wakaf, dan hadhanah (pemeliharaan anak) dan lain sebagainya yang sebelum tanggal 1 April 1937 dapat diurus dan diputus oleh Pengadilan Agama menjadi kompeten Pengadilan Negeri. Dalam prakteknya Hakim Pengadilan Negeri meminta fatwa kepada Hakim Pengadilan Agama Islam hal-hal menyangkut dengan cara-cara membagi harta warisan dan lain-lain yang erat hubungannya, bagi umat Islam, dan kemudian hakim Pengadilan Negeri-lah yang mengeluarkan keputusannya.
Masa penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942 dan dilanjutkan oleh masa penjajahan Jepang, namun pada masa Jepang berkuasa tidak ada perubahan yang begitu berarti dari masa Belanda untuk kedudukan hukum Islam, Namun jika dibandingkan dengan masa Belanda berkuasa banyak yang menganggap bahwa masa Jepang masih lebih baik. Pada masa ini yang berlaku adalah teori receptie dimana hukum Islam tidak secara otomatis berlaku bagi orang Islam, hukum Islam akan berlaku bagi orang Islam jika sudah diterima atau diresepsi (diterima) oleh hukum adat.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 atau pada era demokrasi parlementer (1945-1959) kedudukan hukum Islam dalam sistem politik hukum nasional mulai ditata ke arah yang lebih baik, diantaranya dengan lahirnya rumusan piagam Jakarta yang didalamnya menjelaskan tentang masalah kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya, sebenarnya hal ini menjadi satu-satunya harapan dari pada masyarakat muslim yang ada di Indonesia, namun pada akhirnya rumusan piagam Jakarta gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Selain itu juga pada masa ini Pemerintah Indonesia sempat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Mahkamah Syariah (Peradilan Agama) dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk seluruh Indonesia, diluar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan-Timur. Dalam Peraturan Pemerintah itu ditetapkan salah satu wewenang peradilan agama adalah Kewarisan. [7] Meskipun masalah kewarisan sudah menjadi salah satu wewenang dari peradilan agama yang ada pada saat itu, namun di pengadilan-pengadilan agama yang ada diluar Jawa dan Madura yang telah jelas berwenang menyelesaikan perkara waris, tidak banyak mengajukan perkara waris di Pengadilan Agama, karena urusannya lebih banyak diselesaikan di luar pengadilan.
Sehingga pada masa ini hukum Islam dapat dinilai masih samar-samar, meskipun telah ditetapkan sebagai salah satu sumber hukum nasinal dalam sistem hukum di Indonesia. Namun setidaknya pada masa ini telah menghapus teori receptie yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam dan menyatakan bahwa teori receptie harus exit (keluar) yang dikenal dengan teori receptie exit. Menurut teori receptie exit, pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan pada hukum adat. [8] Kemudian ditegaskan lagi dengan teori receptie a contrario, yang secara harfiah berarti lawan dari teori receptie yang menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. [9]
Meskipun teori receptie tidak berlaku lagi atau telah exit, namun kedudukan hukum Islam pada masa orde lama masih belum menunjukkan eksistensinya, hal ini dipengaruhi oleh dibubarkannya 2 partai Islam yang ada saat itu yaitu Masyumi dan PSI. Pada masa ini pula dikenal dengan eranya para kaum nasionalis dan komunis, sehingga harapan dari pada masyarakat muslim saat itu yang mengingnkan hukum Islam dapat didudukkan pada tempat yang semestinya justru tidak sesuai dengan harapan.
Era orde baru merupakan masa dimana hukum Islam mulai mendapatkan kedudukan yang jelas dalam sistem politik hukum nasional di Indonesia, dimana mulai ada aturan perundang-undangan yang lahir dan mulai diberlakukan yang didalamnya sangat berkaitan dengan hukum Islam bahkan menyerap aturan hukum Islam secara penuh, diantaranya lahirnya UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang semua aturan didalamnya menyerap hukum Islam secara penuh, kemudian lahirnya UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menjadi harapan para pencari keadilan khusus bagi umat Islam dalam menyelesaikan sengketa perdatanya. Kemudian juga lahirnya Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Ketiga aturan yang lahir di masa orde baru ini, sebagian besar aturannya menyerap hukum Islam secara penuh. Dengan demikian masa orde baru merupakan masa yang perkembangan hukum Islam semakin baik.
Pada era reformasi hingga saat ini hukum Islam semakin berkembang dan perlahan mulai menempati posisinya terutama dalam wujud nyata upaya merealisasikan hukum Islam dalam wujud aturan perundang-undangan, pada masa ini lebih banyak lagi aturan yang secara khusus menganut hukum Islam didalamnya. Namun, meskipun banyak aturan-aturan yang telah menyerap hukum Islam yang lahir sejak masa orde reformasi sampai dengan saat ini, tetapi tidak dibarengi dengan keberadaannya di tengah masyarakat.

C.    Eksistensi Hukum Islam Dalam Politik Hukum di Indonesia
Eksistensi hukum Islam dalam sistem politik hukum nasional Indonesia, semakin menunjukkan eksistensinya sejak teori eksistensi di perkenalkan. Teori Existensi ini sebenarnya mempertegas teori reception a contrario dalam hubunganya dengan hukum nasional. Menurut teori  existensi ini hukum Islam mempunyai spesifikasi:
1.    Telah ada dalam arti telah menjadi bagian yang integral dari hukum nasional.
2.    Telah ada dalam arti kemandirian dengan kekuatan kewibawaannya, ia diakui oleh hukum nasional serta diberi status oleh hukum nasional.
3.    Telah ada dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional, dan
4.    Telah ada dalam arti sebagai bahan utama dan sumber utama hukum nasional.[10] Berdasarkan teori ini maka keberadaan hukum Islam dalam tata hukum Indonesia merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi keberadaannya. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam merupakan bahan utama atau unsur utama hukum nasional.
Islam tidak dijadikan sebagai agama negara sebagaimana masa kesultanan dan kerajaan Islam, sehingga sistem hukum Islam bukan satu-satunya pembentuk hukum nasional. Sistem hukum Islam dipandang sebagai salah satu pembentuk hukum nasional bersama dengan sistem hukum adat dan sistem hukum Barat, khususnya sistem hukum Eropa Kontinental warisan pemerintah Kolonial Belanda. [11]
Teori eksistensi ini dapat dikatakan merupakan puncak dari revolusi teori pemberlakuan hukum Islam di Indonesia yang secara tegas menyatakan bahwa hukum Islam memang nyata keberadaannya sebagai bahan pembentuk hukum nasional. Sekali pun NKRI bukanlah negara Islam dan tidak menjadikan Islam sebagai agama negara, namun keberadaan hukum Islam benar-benar eksis dan dijalankan oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Hukum Islam tidak hanya menjadi hukum yang hidup (ius non scriptum) atau hukum yang hidup di masyarakat (living law), tetapi eksis sebagai hukum formal yang terlegislasi (ius scriptum) dalam peraturan perundang-undangan.
Secara politik Indonesia memberi peluang yang besar terhadap hukum Islam dalam mengembangkan aspirasi politik Islam termasuk upaya legislasi hukum Islam saat ini. Peluang partai-partai Islam semakin terbuka dalam melegislasi hukum Islam ke dalam hukum nasional. Keberadaan politik menunjukkan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan mayoritas di Indonesia namun dengan memperhatikan konfigurasi politik yang ada cukup memberi peluang bagi lahirnya produk-produk hukum nasional yang bernuansa Islam
Eksistensi hukum Islam sampai dengan saat ini ditunjukkan dengan banyaknya aturan perundang-undangan atau peraturan lainnya yang telah dihasilkan secara Nasional dan menyerap aturan hukum Islam, baik hanya sebagai dasar atau bagian dari aturan perundang-undangan maupun menyerapnya secara keseluruhan dalam satu aturan yang utuh, sehingga menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari hukum nasional yang dapat dibagi menjadi dua klasifikasi, antara lain adalah:
1.    Undang-undang yang langsung mengintegrasikan hukum Islam sebagai hukum nasional, yaitu:
a.    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk untuk daerah Jawa dan Madura. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1946 diantaranya juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, selama masa iddah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. Kemudian pada tahun 1954 melalui undang-undang No.32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
b.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
c.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, jo Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
d.   Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011.
e.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
f.     Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam untuk memberlakukan hukum Islam.
g.    Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
h.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
i.      Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
j.      Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.
2.    Undang-undang menjadikan hukum Islam norma dan pertimbangan utama dalam menjalankan hukum nasional, yaitu:
a.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Dalam pasal 5 undang-undang ini tergambar secara jelas bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum nasional pertahanan dan bahan pertimbangan utama untuk menerima kaidah-kaidah hukum adat menjadi hukum nasional karena ditegaskan bahwa hukum agraria nasional Indonesia adalah hukum adat selama tidak bertentangan dengan hukum agama, kesusilaan dan lain-lain.
b.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Undang-undang ini mengakui eksistensi lembaga perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah yang menjalankan ekonomi di bidang perbankan dan keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam (fiqh al-mu•āmalah)
c.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang ini mewajibkan adanya keterangan tentang Label Halal untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen yang beragama Islam, sehingga hukum Islam tentang makanan (fiqh al-ath•imah) menjadi sumber hukum pangan nasional dalam mengawasi peredaran pangan, baik dalam proses produksi, promosi, distribusi dan konsumsi pangan.
d.   Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang ini, diatur tentang hak pengasuhan anak serta adopsi anak yang harus memperhatikan agama anak. Dengan kata lain, jika adopsi anak dilakukan oleh lembaga adopsi Islam maka adopsi tersebut harus berlandaskan hukum Islam. Negara juga diwajibkan oleh undang-undang ini melakukan perlindungan anak, termasuk dalam hal agama anak meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan agamanya, sehingga hukum Islam menjadi norma utama dalam pengasuhan anak-anak yang beragama Islam.
e.    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Undang-undang ini mewajibkan penyiaran nasional dan lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia harus menjaga dan meningkatkan moralitas serta nilai-nilai penghayatan agama, tentu termasuk agama Islam dan hukum-hukum Islam bagi umat Islam. Isi siaran juga dilarang mempertentangkan agama atau memperolok, merendahkan atau melecehkan agama dan pengamalan agama, tentu termasuk agama Islam dan hukum-hukum Islam. Bahkan panduan penyiaran harus disusun dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama dan rasa hormat terhadap pandangan keagamaan.
f.     Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang ini memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk menjalankan ibadahnya, sehingga seorang pengusaha tidak boleh mempekerjakan seorang tenaga kerja dalam hal pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran dan hukum agama tenaga kerja tersebut, bahkan seorang pengusaha dilarang tidak membayarkan upah atau melakukan PHK karena seorang tenaga kerja meninggalkan pekerjaannya untuk menjalankan ibadahnya.
g.    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU. No. 4 Tahun 2004) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU. No. 5 Tahun 2004).
Kedua undang-undang ini mengakui Peradilan Agama, baik Pengadilan Agama pada tingkat pertama maupun Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding. 
h.    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Jaksa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menurut undang-undang ini harus memperhatikan norma-norma keagamaan serta mencegah penodaaan dan penyalahgunaan agama.
i.      Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Undang-undang ini melarang segala bentuk tindakan pornografi yang tujuannya salah satunya demi melindungi, melestarikan dan menjunjung tinggi ritual keagamaan.
Selain undang-undang, masih banyak lagi produk hukum nasional lainnya di bawah undang-undang yang melegislasi hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional, antara lain;
a.    Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
b.    Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal yang mengatur tentang hukum formil untuk memeriksa dan menetapkan suatu produk pangan dinyatakan kehalalannya.
Eksistensi hukum Islam hingga kini masih terus eksis sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan peraturan perundangan di Indonesia khusunya yang erat kaitannya dengan masalah sosial dalam masyarakat dan keagamaan. Meskipun begitu harus diakui bahwa walaupun hukum Islam telah terintegrasi dalam hukum Nasional, namun dalam proses pelaksanaannya saat ini tidak sepenuhnya dijalankan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan aturan perundang-undangan, bahkan banyak perda-perda bernuansa Islam yang sempat ditetapkan dan berlaku dibeberapa daerah hingga kini hanya sebatas aturan yang dibuat namun pelaksanaannya tidak ada. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan sebelum maupun sesudah di tetapkan baik kepada masyarakat umum maupun kepada penyelenggara Negara, sehingga menimbulkan kesalahpahaman antara masyarakat dengan penyelenggara termasuk penegak hukum. Olehnya untuk membentuk budaya hukum yang baik diperlukan adanya pemahaman dan kesadaran hukum disemua lapisan masyarakat terhadap pentingnya hak dan kewajiban masing-masing individu.
D.      Kesimpulan
Eksistensi hukum Islam dalam sistem politik hukum Indonesia sampai dengan saat ini masih tetap eksis, diakui dan terintegrasi dengan sistem hukum nasional atau sejajar dengan dua sumber hukum lainnya yaitu hukum adat dan hukum barat. Setiap peraturan perundang-undangan atau peraturan lainnya yang ditetapkan di Indonesia selalu mempertimbangkan 3 sumber hukum yang diakui di Indonesia.
Meskipun hukum Islam saat ini telah menjadi bagian hukum nasional, yang terpenting saat ini adalah proses eksekusinya atau pemberlakuannya dalam masyarakat, sebab apa yang telah diatur dalam sistem hukum yang ada di Indonesia tidak akan berarti apa-apa jika pelaksanaannya tidak dijalankan secara maksimal, bahkan saat ini banyak aturan hukum Islam yang hingga saat ini sudah layak untuk dilakukan proses penyesuain dengan perkembangan zaman yang ada namun belum ada gerakan sama sekali dari pemerintah untuk melakukan perbaikan itu. Misalnya dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, salah satunya dalam pasal 7 tentang batasan umur perkawinan yang saat ini semakin banyak dilanggar dalam masyarakat, batasan umur yang telah diatur justru semakin memperbanyak praktik perkawinan anak yang ada di Indonesia. Untuk itu dalam proses integrasi hukum Islam dalam sistem politik hukum Indonesia tetap memperhatikan kondisi dalam masyarakat dan perkembangan zaman yang ada.





DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010).

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Cet. I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam, (Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013).

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2004).

Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Cet. 3, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008).

Bustanul Arifin, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani, 2006). 

Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Cet. II, Bandung: Putaka Setia, 2010). 

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Cet. 2, Bandung: PT Al Ma’arif, 1981).

Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, (Cet. I, Jakarta, Tintamas, 1974).

Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Cet. I, Jakarta: Tintamas, 1975).

Ichtijanto, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


 




[1] Bustanul Arifin, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 27. 
[2] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2004), h. 2.
[3] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam, (Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 7. 
[4] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Cet. II, Bandung: Putaka Setia, 2010), h. 329-331. 
[5] Ichtijanto, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 117.
[6] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet. 2; (Bandung: PT Al Ma’arif, 1981), h. 28-29.
[7] Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 3; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), h. 325-326.
[8]  Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, (Cet. I, Jakarta, Tintamas, 1974), h. 101. 
[9] Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Cet. I, Jakarta: Tintamas, 1975), h. 8. 
[10] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 83-84.
[11] Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Cet. I, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 57-77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar