EKSISTENSI
HUKUM ISLAM
DALAM SISTEM POLITIK HUKUM DI
INDONESIA
Palu Dan Buku |
Syariat adalah kalam nafsi azali yang hanya Allah swt.
sendiri yang tahu maksud dan tujuannya. Kalam
lafzi itu diturunkan dalam bentuk al-Quran. Dengan demikian, yang membuat
syariat adalah Allah swt. selama melaksanakan tugas kerasulannya, Rasulullah
saw. Selalu berpedoman pada wahyu ilahi. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah
saw. Adalah murni syariat sebagaimana dimaksudkan oleh Allah swt. maka sumber
pokok syariat adalah al-Quran dan Sunnah Nabi. Tanpa mengetahui sumber pokok
ini, mustahil kita mengetahui syariat. [1]
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak
orang Islam datang dan bermukim di nusantara ini. Menurut pendapat yang
disimpulkan oleh seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di
Medan tahun 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah
atau pada abad ke-7/ke-8 Masehi. Pendapat lain mengatakan Islam masuk ke nusantara
ini pada abad ke-13 Masehi.[2] Sejak saat itu Islam mulai dikembangkan
dan diterapkan diseluruh wilayah Indonesia.
Sejak masuknya Islam di Indonesia maka berbagai masalah mengenai hukum
Islam mulai dikenal luas dan diberlakukan di Indonesia, misalnya masalah
perkawinan dan kewarisan. Mengenai masalah hukum kewarisan dan perkawinan di Indonesia tentu hal ini tidak pernah luput
dari sejarah dan kebiasaan yang telah terbangun dimasing-masing daerah di
Indonesia. Setiap daerah, wilayah, dan suku kampung sudah pasti telah memiliki
atau menjalankan suatu kebiasaan dalam hal warisan. Ditambah lagi dengan
keanekaragaman suku bangsa di Indonesia ini, apabila dicari dan diteliti tentu
akan didapatkan berbagai metode ataupun cara dari tiap-tiap daerah yang berbeda-beda
dalam hal pembagian waris dan proses
perkawaninan yang terjadi, hal ini dipengaruhi oleh sistem hukum adat
masing-masing daerah berbeda-beda karena keragaman budaya yang ada sekarang.
Istilah hukum Islam
merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-Islamy
atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al-Islamy. Istilah ini
dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law. Dalam al-Qur’an
maupun sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai. Yang digunakan
adalah kata syari’ah yang dalam penjabarannya kemudian lahirlah istilah fiqh. [3] Makna hukum Islam di
Indonesia dapat diambil dari beberapa istilah yang dikenal dalam perkembangan
hukum Islam, seperti attasyri’, al-fiqh, dan al-qanun.
Pada hirarki pertama, pengertian kita tentang norma atau kaidah hukum Islam itu
bersifat konkret dan kontan yang terkait dengan proses turunnya wahyu dari
Allah swt. melalui Rasulullah saw. yang langsung menjadi jawaban atas
pertanyaan yang timbul atau langsung menjadi solusi terhadap aneka persoalan
yang terjadi di masa kerasulan Nabi Muhammad saw. [4]
Sistem hukum di Indonesia
pada dasarnya menyerap tiga sistem hukum di Indonesia yaitu; hukum adat, hukum
Islam, dan hukum barat (kontinental), dimana ketiga unsur ini dalam
sistem hukum di Indonesia saling mempengaruhi satu sama lain terutama dalam
proses penyusunan, menetapkan/mencabut dan merubah sistem hukum yang berlaku di
Indonesia. Dalam prosesnya hukum Islam mampu memberikan kontribusi yang sangat
besar dalam pembentukan sistem hukum di Indonesia, dalam menentukan tujuan
dan kebijakan dasar dalam meletakkan konsep dasar politik hukum nasional dalam rangka pembentukan sistem hukum
Indonesia khususnya hukum perdata tertentu yang berlaku bagi ummat Islam
seperti perkara-perkara, Perkawinan, Kewarisan, Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan Islam,
Wakaf dan Sedekah.
Kontribusi hukum Islam
dalam proses politik hukum di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya aturan
perundang-undangan yang berlaku, yang didalamnya banyak menyerap hukum Islam.
Hal inilah yang membuat hukum Islam di Indonesia masih tetap menunjukkan
eksistensinya dalam pembentukan hukum di Indonesia sampai dengan saat ini. Sayangnya,
meskipun eksistensi hukum Islam di Indonesia masih tetap terjaga keberadaannya,
namun dalam penerapannya hukum Islam tidak terlalu nampak di dalam masyarakat.
Aturan-aturan tentang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah
sangatlah jarang diketahui oleh masyarakat luas, aturan-aturannya baru akan
diketahui oleh masyarakat pada saat ada permasalahan yang dihadapi tentang
masalah tersebut. Artinya bahwa hukum Islam yang berlaku di Indonesia ini tidak
didukung oleh penerapannya di dalam masyarakat.
B. Proses Pemberlakuan Hukum
Islam Di Indonesia
Pengakuan hukum Islam
sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku di Indonesia, sampai saat ini
memang tidak lepas dari sejarah dan proses pemberlakuan hukum Islam di
Indonesia. Pada masa pra penjajahan belanda sekitar abad ke-7 dan ke-8 yang
juga sebagai masa awal masuknya Islam di Indonesia hukum Islam mulai dikenal
dan diberlakukan di beberapa daerah yang menjadi pusat kerajaan Islam yang
terbentuk pada saat itu, seperti di kerajaan Samudera Pasai yang dikenal
sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia, yang kemudian diikuti oleh
beberapa daerah lainnya setelah Islam semakin menyebar ke berbagai penjuru
tanah air, seperti berdirinya Kesultanan Malaka, Kerajaan Demak, Mataram,
Cirebon, Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate dan Tidore. Pada masa ini dikenal
dengan pemberlakuan teori receptie in complexu yaitu pemberlakuan
hukum Islam secara penuh. [5]
Pada masa penjajahan
Belanda keberadaan hukum Islam menjadi lemah dan semakin melemah sampai dengan
masa berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, karena Belanda menginginkan hukum
Belanda yang harus diterapkan, meskipun sempat dibebaskan dapat menggunakan
hukum Islam namun nyatanya hukum Islam tidak mampu menunjukkan eksistensinya
pada masa ini. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama pada masa
penjajahan, walaupun sejarah mencatatkan bahwa kekejaman penjajahan Belanda di
Indonesia cukup di rasakan rakyat terutama oleh kalangan umat Islam yang tidak
diberikan ruang gerak yang cukup namun ada salah satu yang berhasil didirikan
oleh pemerintahan Belanda untuk melindungi hak-hak masyarakat Muslim yaitu pendirian
Peradilan Agama. Pada Tahun 1882, melalui Staatsblad No. 152 Tahun 1882,
tentang pendirian Radd Agama (yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama) untuk
Jawa dan Madura. Dalam Staatsblad tahun 1882 No. 152 ini ditetapkan bahwa yang
menjadi kewenangan absolutya adalah: [6]
1.
Perkara-perkara
yang berhubungan dengan pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah dan
perwalian.
2.
Warisan.
3.
Wakaf.
Kemudian dengan adanya Staatsblad tahun 1937 No.
116, yang mulai berlaku tanggal 1 April 1937, kekuasaan Pengadilan Agama
dibatasi. Sejak saat itulah kekuasaan Pengadilan Agama hanya sebatas pada:
1. Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
2. Perkara-perkara tentang; nikah, talak, rujuk, dan
perceraian antara orang-orang beragama Islam yang memerlukan hakim Agama Islam.
3. Memberi keputusan perceraian.
4. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya ta’likut
thalak sudah ada.
5. Perkara mahar.
6. Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib
diadakan oleh suami.
Dengan
demikian perkara-perkara seperti; Perselisihan soal warisan, Pembagian harta
warisan, wakaf, dan hadhanah (pemeliharaan anak) dan lain sebagainya yang
sebelum tanggal 1 April 1937 dapat diurus dan diputus oleh Pengadilan Agama
menjadi kompeten Pengadilan Negeri. Dalam prakteknya Hakim Pengadilan Negeri
meminta fatwa kepada Hakim Pengadilan Agama Islam hal-hal menyangkut dengan
cara-cara membagi harta warisan dan lain-lain yang erat hubungannya, bagi umat
Islam, dan kemudian hakim Pengadilan Negeri-lah yang mengeluarkan keputusannya.
Masa penjajahan Belanda
berakhir pada tahun 1942 dan dilanjutkan oleh masa penjajahan Jepang, namun
pada masa Jepang berkuasa tidak ada perubahan yang begitu berarti dari masa
Belanda untuk kedudukan hukum Islam, Namun jika dibandingkan dengan masa
Belanda berkuasa banyak yang menganggap bahwa masa Jepang masih lebih baik. Pada
masa ini yang berlaku adalah teori receptie dimana hukum Islam
tidak secara otomatis berlaku bagi orang Islam, hukum
Islam akan berlaku bagi orang
Islam jika sudah diterima atau diresepsi (diterima) oleh hukum adat.
Setelah Indonesia merdeka
pada tahun 1945 atau pada era demokrasi parlementer (1945-1959) kedudukan hukum
Islam dalam sistem politik hukum nasional mulai ditata ke arah yang lebih baik,
diantaranya dengan lahirnya rumusan piagam Jakarta yang didalamnya menjelaskan
tentang masalah kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya,
sebenarnya hal ini menjadi satu-satunya harapan dari pada masyarakat muslim
yang ada di Indonesia, namun pada akhirnya rumusan piagam Jakarta gagal
ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Selain itu juga pada masa ini Pemerintah Indonesia sempat mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Mahkamah Syariah
(Peradilan Agama) dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk seluruh Indonesia, diluar
Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan-Timur. Dalam Peraturan Pemerintah itu
ditetapkan salah satu wewenang peradilan agama adalah Kewarisan. [7] Meskipun masalah kewarisan sudah menjadi
salah satu wewenang dari peradilan agama yang ada pada saat itu, namun di
pengadilan-pengadilan agama yang ada diluar Jawa dan Madura yang telah jelas
berwenang menyelesaikan perkara waris, tidak banyak mengajukan perkara waris di
Pengadilan Agama, karena urusannya lebih banyak diselesaikan di luar
pengadilan.
Sehingga pada masa ini
hukum Islam dapat dinilai masih samar-samar, meskipun telah ditetapkan sebagai
salah satu sumber hukum nasinal dalam sistem hukum di Indonesia. Namun
setidaknya pada masa ini telah menghapus teori receptie yang dianggap
bertentangan dengan syariat Islam dan menyatakan bahwa teori receptie
harus exit (keluar) yang dikenal dengan teori receptie exit. Menurut
teori receptie exit, pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan
pada hukum adat. [8] Kemudian ditegaskan lagi
dengan teori receptie a contrario, yang secara harfiah berarti
lawan dari teori receptie yang menyatakan bahwa hukum adat
berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama
Islam dan hukum Islam. [9]
Meskipun teori receptie
tidak berlaku lagi atau telah exit, namun kedudukan hukum Islam pada
masa orde lama masih belum menunjukkan eksistensinya, hal ini dipengaruhi oleh
dibubarkannya 2 partai Islam yang ada saat itu yaitu Masyumi dan PSI. Pada masa
ini pula dikenal dengan eranya para kaum nasionalis dan komunis, sehingga
harapan dari pada masyarakat muslim saat itu yang mengingnkan hukum Islam dapat
didudukkan pada tempat yang semestinya justru tidak sesuai dengan harapan.
Era orde baru merupakan
masa dimana hukum Islam mulai mendapatkan kedudukan yang jelas dalam sistem
politik hukum nasional di Indonesia, dimana mulai ada aturan perundang-undangan
yang lahir dan mulai diberlakukan yang didalamnya sangat berkaitan dengan hukum
Islam bahkan menyerap aturan hukum Islam secara penuh, diantaranya lahirnya UU
No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang semua aturan didalamnya menyerap hukum
Islam secara penuh, kemudian lahirnya UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yang menjadi harapan para pencari keadilan khusus bagi umat Islam dalam
menyelesaikan sengketa perdatanya. Kemudian juga lahirnya Instruksi Presiden No
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Ketiga aturan yang lahir di masa
orde baru ini, sebagian besar aturannya menyerap hukum Islam secara penuh. Dengan
demikian masa orde baru merupakan masa yang perkembangan hukum Islam semakin
baik.
Pada era reformasi hingga
saat ini hukum Islam semakin berkembang dan perlahan mulai menempati posisinya
terutama dalam wujud nyata upaya merealisasikan hukum Islam dalam wujud aturan
perundang-undangan, pada masa ini lebih banyak lagi aturan yang secara khusus
menganut hukum Islam didalamnya. Namun, meskipun banyak aturan-aturan yang
telah menyerap hukum Islam yang lahir sejak masa orde reformasi sampai dengan
saat ini, tetapi tidak dibarengi dengan keberadaannya di tengah masyarakat.
C.
Eksistensi
Hukum Islam Dalam Politik Hukum di Indonesia
Eksistensi hukum Islam dalam sistem politik hukum nasional Indonesia,
semakin menunjukkan eksistensinya sejak teori eksistensi di perkenalkan. Teori Existensi ini sebenarnya mempertegas teori reception
a contrario dalam hubunganya dengan hukum nasional. Menurut teori existensi ini hukum Islam mempunyai
spesifikasi:
1. Telah ada dalam arti telah menjadi bagian yang integral dari hukum
nasional.
2. Telah ada dalam arti kemandirian dengan kekuatan kewibawaannya, ia diakui
oleh hukum nasional serta diberi status oleh hukum nasional.
3. Telah ada dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring
bahan-bahan hukum nasional, dan
4. Telah ada dalam arti sebagai bahan utama dan sumber utama hukum nasional.[10] Berdasarkan teori ini maka keberadaan hukum Islam dalam tata hukum
Indonesia merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi
keberadaannya. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam merupakan bahan utama atau
unsur utama hukum nasional.
Islam
tidak dijadikan sebagai agama negara sebagaimana masa kesultanan dan kerajaan
Islam, sehingga sistem hukum Islam bukan satu-satunya pembentuk hukum nasional.
Sistem hukum Islam dipandang sebagai salah satu pembentuk hukum nasional
bersama dengan sistem hukum adat dan sistem hukum Barat, khususnya sistem hukum
Eropa Kontinental warisan pemerintah Kolonial Belanda. [11]
Teori
eksistensi ini dapat dikatakan merupakan puncak dari revolusi teori
pemberlakuan hukum Islam di Indonesia yang secara tegas menyatakan bahwa hukum
Islam memang nyata keberadaannya sebagai bahan pembentuk hukum nasional. Sekali
pun NKRI bukanlah negara Islam dan tidak menjadikan Islam sebagai agama negara,
namun keberadaan hukum Islam benar-benar eksis dan dijalankan oleh bangsa
Indonesia dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Hukum Islam tidak hanya menjadi hukum yang hidup (ius
non scriptum) atau hukum yang hidup di masyarakat (living law),
tetapi eksis sebagai hukum formal yang terlegislasi (ius
scriptum) dalam peraturan perundang-undangan.
Secara politik Indonesia memberi peluang
yang besar terhadap hukum Islam dalam mengembangkan aspirasi politik Islam
termasuk upaya legislasi hukum Islam saat ini. Peluang partai-partai Islam
semakin terbuka dalam melegislasi hukum Islam ke dalam hukum nasional.
Keberadaan politik menunjukkan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan
mayoritas di Indonesia namun dengan memperhatikan konfigurasi politik yang ada
cukup memberi peluang bagi lahirnya produk-produk hukum nasional yang bernuansa
Islam
Eksistensi hukum Islam
sampai dengan saat ini ditunjukkan dengan banyaknya aturan perundang-undangan
atau peraturan lainnya yang telah dihasilkan secara Nasional dan menyerap
aturan hukum Islam, baik hanya sebagai dasar atau bagian dari aturan
perundang-undangan maupun menyerapnya secara keseluruhan dalam satu aturan yang
utuh, sehingga
menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari hukum nasional yang dapat
dibagi menjadi dua klasifikasi, antara lain adalah:
1. Undang-undang yang langsung mengintegrasikan hukum Islam sebagai hukum
nasional, yaitu:
a.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk untuk daerah Jawa dan Madura. Dalam
pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4
tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi
tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1946 diantaranya
juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum
cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, selama masa
iddah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.
Kemudian pada tahun 1954 melalui undang-undang No.32 tahun 1954, UU No. 22
tahun 1946 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, jo Undang-Undang No. 50 Tahun 2009.
d. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011.
e. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
f. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggoroe Aceh Darussalam. Undang-undang
ini memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi Provinsi Nanggoroe Aceh
Darussalam untuk memberlakukan hukum Islam.
g. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
h. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
i. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
j. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.
2. Undang-undang menjadikan hukum Islam norma dan pertimbangan utama dalam
menjalankan hukum nasional, yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Dalam pasal 5
undang-undang ini tergambar secara jelas bahwa hukum Islam merupakan sumber
hukum nasional pertahanan dan bahan pertimbangan utama untuk menerima
kaidah-kaidah hukum adat menjadi hukum nasional karena ditegaskan bahwa hukum
agraria nasional Indonesia adalah hukum adat selama tidak bertentangan dengan
hukum agama, kesusilaan dan lain-lain.
b.
Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan.
Undang-undang ini
mengakui eksistensi lembaga perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah
yang menjalankan ekonomi di bidang perbankan dan keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum ekonomi Islam (fiqh al-mu•āmalah)
c.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang ini
mewajibkan adanya keterangan tentang Label Halal untuk memberikan perlindungan
terhadap konsumen yang beragama Islam, sehingga hukum Islam tentang makanan
(fiqh al-ath•imah) menjadi sumber hukum pangan nasional dalam mengawasi
peredaran pangan, baik dalam proses produksi, promosi, distribusi dan konsumsi
pangan.
d.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang
ini, diatur tentang hak pengasuhan anak serta adopsi anak yang harus
memperhatikan agama anak. Dengan kata lain, jika adopsi anak dilakukan oleh
lembaga adopsi Islam maka adopsi tersebut harus berlandaskan hukum Islam.
Negara juga diwajibkan oleh undang-undang ini melakukan perlindungan anak,
termasuk dalam hal agama anak meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan
agamanya, sehingga hukum Islam menjadi norma utama dalam pengasuhan anak-anak
yang beragama Islam.
e.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
Undang-undang ini
mewajibkan penyiaran nasional dan lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia harus
menjaga dan meningkatkan moralitas serta nilai-nilai penghayatan agama, tentu
termasuk agama Islam dan hukum-hukum Islam bagi umat Islam. Isi siaran juga
dilarang mempertentangkan agama atau memperolok, merendahkan atau melecehkan
agama dan pengamalan agama, tentu termasuk agama Islam dan hukum-hukum Islam.
Bahkan panduan penyiaran harus disusun dengan mempertimbangkan nilai-nilai
agama dan rasa hormat terhadap pandangan keagamaan.
f.
Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang ini
memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk menjalankan ibadahnya, sehingga
seorang pengusaha tidak boleh mempekerjakan seorang tenaga kerja dalam hal
pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran dan hukum agama tenaga kerja
tersebut, bahkan seorang pengusaha dilarang tidak membayarkan upah atau
melakukan PHK karena seorang tenaga kerja meninggalkan pekerjaannya untuk
menjalankan ibadahnya.
g.
Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU. No. 4 Tahun
2004) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya
disebut UU. No. 5 Tahun 2004).
Kedua undang-undang ini
mengakui Peradilan Agama, baik Pengadilan Agama pada tingkat pertama maupun
Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding.
h.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia.
Jaksa dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya menurut undang-undang ini harus memperhatikan
norma-norma keagamaan serta mencegah penodaaan dan penyalahgunaan agama.
i.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi.
Undang-undang ini
melarang segala bentuk tindakan pornografi yang tujuannya salah satunya demi melindungi,
melestarikan dan menjunjung tinggi ritual keagamaan.
Selain undang-undang,
masih banyak lagi produk hukum nasional lainnya di bawah undang-undang yang
melegislasi hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional, antara lain;
a. Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang ditetapkan berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
b. Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata
Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal yang mengatur tentang hukum formil
untuk memeriksa dan menetapkan suatu produk pangan dinyatakan kehalalannya.
Eksistensi
hukum Islam hingga kini masih terus eksis sebagai dasar pertimbangan dalam
penyusunan peraturan perundangan di Indonesia khusunya yang erat kaitannya
dengan masalah sosial dalam masyarakat dan keagamaan. Meskipun begitu harus
diakui bahwa walaupun hukum Islam telah terintegrasi dalam hukum Nasional,
namun dalam proses pelaksanaannya saat ini tidak sepenuhnya dijalankan dengan
baik dan benar sesuai dengan ketentuan aturan perundang-undangan, bahkan banyak
perda-perda bernuansa Islam yang sempat ditetapkan dan berlaku dibeberapa
daerah hingga kini hanya sebatas aturan yang dibuat namun pelaksanaannya tidak
ada. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan
sebelum maupun sesudah di tetapkan baik kepada masyarakat umum maupun kepada
penyelenggara Negara, sehingga menimbulkan kesalahpahaman antara masyarakat
dengan penyelenggara termasuk penegak hukum. Olehnya untuk membentuk budaya hukum
yang baik diperlukan adanya pemahaman dan kesadaran hukum disemua lapisan
masyarakat terhadap pentingnya hak dan kewajiban masing-masing individu.
D.
Kesimpulan
Eksistensi
hukum Islam dalam sistem politik hukum Indonesia sampai dengan
saat ini masih tetap eksis, diakui dan terintegrasi dengan sistem hukum
nasional atau sejajar dengan dua sumber hukum lainnya yaitu hukum adat dan
hukum barat. Setiap peraturan perundang-undangan atau peraturan lainnya yang
ditetapkan di Indonesia selalu mempertimbangkan 3 sumber hukum yang diakui di
Indonesia.
Meskipun hukum Islam saat
ini telah menjadi bagian hukum nasional, yang terpenting saat ini adalah proses
eksekusinya atau pemberlakuannya dalam masyarakat, sebab apa yang telah diatur
dalam sistem hukum yang ada di Indonesia tidak akan berarti apa-apa jika
pelaksanaannya tidak dijalankan secara maksimal, bahkan saat ini banyak aturan
hukum Islam yang hingga saat ini sudah layak untuk dilakukan proses penyesuain
dengan perkembangan zaman yang ada namun belum ada gerakan sama sekali dari
pemerintah untuk melakukan perbaikan itu. Misalnya dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, salah satunya dalam pasal 7 tentang batasan umur perkawinan
yang saat ini semakin banyak dilanggar dalam masyarakat, batasan umur yang
telah diatur justru semakin memperbanyak praktik perkawinan anak yang ada di
Indonesia. Untuk itu dalam proses integrasi hukum Islam dalam sistem politik
hukum Indonesia tetap memperhatikan kondisi dalam masyarakat dan perkembangan
zaman yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum
Nasional di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010).
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan
Sistem Hukum (Cet. I,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam, (Cet. I, Jakarta: Rajawali
Pers, 2013).
Amir
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. I;
(Jakarta: Kencana, 2004).
Amir
Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Cet. 3, Jakarta: Prenada Media Grup,
2008).
Bustanul
Arifin, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani,
2006).
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Cet. II, Bandung: Putaka
Setia, 2010).
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Cet.
2, Bandung:
PT Al Ma’arif, 1981).
Hazairin, Tujuh
Serangkai tentang Hukum, (Cet.
I, Jakarta, Tintamas, 1974).
Hazairin, Tinjauan
Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Cet. I, Jakarta:
Tintamas, 1975).
Ichtijanto, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
[1] Bustanul
Arifin, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), h. 27.
[2] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2004), h. 2.
[7] Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 3; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), h. 325-326.
[9] Hazairin, Tinjauan
Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Cet. I, Jakarta:
Tintamas, 1975), h. 8.
[10] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum
Nasional di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 83-84.
[11] Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan
Sistem Hukum (Cet. I,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 57-77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar