Perkawinan
sesungguhnya ditujukan untuk menghindarkan diri dari perbuatan perzinaan.
Namun, banyak kasus yang terjadi perkawinan didahului oleh kondisi wanita
keadaan hamil. Terdapat banyak pendapat baik yang membolehkan maupun yang
mengharamkan. Pendapat yang mengharamkan terjadinya perkawinan dalam kondisi
hamil merujuk pada firman Allah dalam Al-Qur’an Surat At-Talaq ayat 4 yang
terjemahnya adalah “dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka
sampai mereka melahirkan kandungannya”. Makna harfiah dari ayat ini adalah masa
iddah bagi perempuan dalam kondisi hamil untuk menikah adalah sampai kelahiran
anaknya. Oleh karena itu, perkawinan dalam kondisi hamil terlarang baik karena
perzinaan, perceraian dalam kondisi hamil, maupun cerai mati dalam kondisi
hamil. ulama sepakat bahwa iddah bagi perceraian dalam kondisi hamil maupun
cerai mati dalam kondisi hamil wajib memenuhi masa iddah, jika tidak status
perkawinannya fasakh (batal). [1]
Namun,
ulama berbeda pendapat mengenai perkawinan yang terjadi didahului dengan
perzinaan dan terjadi kehamilan. Mazhab Hambali berpendapat haramnya perkawinan
dalam kondisi kehamilan, menunggu masa iddahnya sampai kelahiran. Hal ini
ditujukan untuk memberikan pelajaran bagi pelaku perzinaan. Namun, Mazhab
Syafi’i berbeda pendapat dengan menyatakan boleh perempuan dalam kondisi hamil
dinikahi. Dasar hukum pembolehan ini adalah perkawinan dalam kondisi hamil ini
tidak termasuk larangan kawin yang terdapat dalam al-Qur’an. Pengaturan surat
At-Talaq ayat 4 tersebut merujuk pada kondisi perceraian baik cerai mati
ataupun hidup dalam keadaan hamil. pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Imam
Malik dan Abu Hanifah, mereka sepakat bahwa perempuan dalam kondisi hamil boleh
menikah tanpa syarat iddah namun melekat syarat pertaubatan. Tidak ada
kewajiban menikahkan perempuan tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya.
Hal ini disepakati baik oleh Mazhab Hanafi dan Syafi’i, mereka juga sepakat
untuk melarang persetubuhan sampai terjadinya kelahiran. [2]
Pendapat
yang membolehkan perkawinan dengan kondisi kehamilan dirujuk oleh KHI. Namun,
KHI mengatur bahwa perempuan yang hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan
pria yang menghamilinya. Perkawinan tersebut dapat dilakukan tanpa menunggu
kelahiran anaknya dan tidak perlu diulang setelah kelahiran anaknya. Dengan
kata lain, KHI tidak menganut pendapat pengharaman perkawinan dalam kondisi
hamil. Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur soal kawin dengan perempuan hamil
dalam Pasal 53: [3]
a. Seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b. Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c. Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Kebolehan
kawin dengan perempuan hamil menurut ketentuan diatas terbatas bagi laki-laki
yang menghamilinya. Ini sejalan dengan firman Allah, Q.S An-Nur ayat 3: [4]
الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرّمَ ذالِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
Terjemahnya:
Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin.
Ayat ini dapat dipahami bahwa kebolehan kawin
dengan perempuan hamil bagi laki-laki yang mengahamilinya adalah merupakan pengecualian.
Karena laki-laki yang menghamili itulah yang tepat menjadi jodoh mereka.
Pengidentifikasian dengan laki-laki musyrik menunjukan keharaman wanita yang
hamil tadi, adalah isyarat larangan bagi laki-laki yang baik-baik untuk
mengawini mereka (Q.S Al-Baqarah ayat 221). Isyarat tersebut dikuatkan lagi
dengan kalimat penutup ayat wa hurrima dzalika ‘ala al-mu’minin. Jadi
bagi laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil tersebut, diharamkan untuk
menikahinya. [5]
Hubungan
seksual diluar nikah dinamakan dalam Islam sebagai perbuatan zina. Zina
diharamkan, baik itu zina premarital , ekstra marital atau post marital. Begitu
pula segala yang dapat membawa kepada zina harus dihindari. Mencegah perbuatan
zina lebih baik dari pada memperbaiki akibat yang ditimpalkan karena
perzinahan, seperti kawin muda, abortus, mengobati penyakit kelamin dan
sebagainya. Allah SWT.. berfirman dalam Q.S. Al-Isra: 32: [6]
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ
فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Terjemahnya:
Dan
janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji
dan jalan yang seburuk-buruknya.
Pacaran dan pergaulan bebas yang dilarang dalam
Islam adalah berduaan, berciuman, meraba-raba tubuh, sampai menjurus ke zina
yaitu melakukan hubungan seksual sebelum atau di luar nikah dengan memakai alat
kontrasepsi atau tanpa alat kontrasepsi. Dalam seksologi, sewaktu laki-laki dan
perempuan berpacaran secara intim yang menyebabkan laki-laki ejakulasi
(mengeluarkan sperma), walaupun tidak bersenggama, dapat menyebabkan perempuan
hamil, karena sperma yang jatuh dan melekat pada paha atau perempuan dapat
memanjat memasuki selaput dara dan terus menembus ke rahim. [7]
Dalam
hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan
perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan
apakah pelakunya gadis atau janda, jejaka, beristri atau duda sebagaimana yang
berlaku pada hukum perdata. Ada dua macam yang digunakan bagi zina, yaitu; 1) zina
muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah
menikah, 2) zina ghairu muhson, adalah zina yang dilakukan oleh orang
yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka atau perawan. Hukum Islam
tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson yang dilakukan oleh bujang
atau perawan itu sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai
perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman. Hanya saja hukuman itu
kuantitasnya berbeda bagi penzina muhson dirajam sampai mati sedangkan
yang ghairu muhson dicambuk 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai
akibat zina ghairu muhson disebut anak diluar perkawinan. [8]
Kehamilan
di luar nikah, terjadi karena pasangan kekasih sering memanfaatkan beberapa
kesempatan dan erkembangan teknologi yang dapat membawa mereka kepada pergaulan
yang tidak sesuai dengan aturan dan norma. Ketika kehamilan terjadi, bukan
hanya pasangan kekasih yang merasa bingung dan malu, orang tua mereka pun akan
merasakan hal yang sama dan bahkan lebih dari pasangan kekasih (anak mereka)
itu sendiri.
Untuk
menghilangkan dan menyelesaikan permasalahan kehamilan diluar nikah akibat perzinaan, para orang tua
biasanya menikahkan anak-anak mereka yang telah hamil tersebut baik dengan
laki-laki yang menghamilinya ataupun bukan dengan laki-laki yang menghamilinya.
Setelah anak perempuan yang hamil tersebut melahirkan sering kali para orang
tua menikahkan kembali anak-anak mereka, beranggapan bahwa perkawinan tersebut
belum sah, karena mereka menikah dalam keadaan hamil. Praktik seperti ini
dilatari oleh apa yang mereka pahami tentang ketentuan nikah hamil didalam
fikih-fikih klasik. Berdasarkan pada praktik ini, para ulama Indonesia
menyepakati untuk memperbaiki pemahaman dan sekaligus menetapkan aturan
perkawinan wanita hamil didalam KHI, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.[9]
Masalah
perkawinan dalam keadaan hamil ini, erat kaitannya dengan apa yang terjadi pada
perkawinan dibawah umur. Sebab, perkawinan dibawah umur pada kenyataannya
hampir rata-rata dilakukan karena masalah kehamilan atau telah melakukan
perzinaan. Sehingga dibutuhkan kejelian dan ketelitian dalam masalah seperti
ini, apakah laki-laki yang menghamili benar-benar yang sebenarnya atau hanya
orang yang dipaksa untuk menikah dan mempertanggungjawabkan perbuatan orang
lain. Sehingga, dengan ketelitian itu maka perkawinan dapat berlangsung dengan
baik dan tidak akan menimbulkan proslem setelah perkawinan berlangsung.
[1] Indah
Purbasari, Hukum Islam Sebagai Hukum Positif Di Indonesia “Suatu Kajian di Bidang Hukum Keluarga,(Malang:
Setara Press, 2017), h. 110.
[2]
Chuzaimah T. Yango Dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994), h. 62.
[3]
Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam Di Indonesia.
[5] Ahmad
Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), h. 135-136.
[7] Tim
Penyusun BKKBN, DEPAG, NU, MUI dan DMI, Membangun Keluarga Sehat Dan
Sakinah, (Jakarta: BKKBN, 2008), h. 105-106.
[8] Abdul
Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Cet. IV,
Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 82-83.
[9] Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dan
Jaenal Arifin, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, (Cet. I, Jakarta:
Kencana, 2013), h. 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar