Minggu, 02 September 2018

Perkawinan Wanita Hamil

“PERKAWINAN WANITA HAMIL”
"Hamil Diluar Nikah"

Perkawinan sesungguhnya ditujukan untuk menghindarkan diri dari perbuatan perzinaan. Namun, banyak kasus yang terjadi perkawinan didahului oleh kondisi wanita keadaan hamil. Terdapat banyak pendapat baik yang membolehkan maupun yang mengharamkan. Pendapat yang mengharamkan terjadinya perkawinan dalam kondisi hamil merujuk pada firman Allah dalam Al-Qur’an Surat At-Talaq ayat 4 yang terjemahnya adalah “dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya”. Makna harfiah dari ayat ini adalah masa iddah bagi perempuan dalam kondisi hamil untuk menikah adalah sampai kelahiran anaknya. Oleh karena itu, perkawinan dalam kondisi hamil terlarang baik karena perzinaan, perceraian dalam kondisi hamil, maupun cerai mati dalam kondisi hamil. ulama sepakat bahwa iddah bagi perceraian dalam kondisi hamil maupun cerai mati dalam kondisi hamil wajib memenuhi masa iddah, jika tidak status perkawinannya fasakh (batal). [1]
Namun, ulama berbeda pendapat mengenai perkawinan yang terjadi didahului dengan perzinaan dan terjadi kehamilan. Mazhab Hambali berpendapat haramnya perkawinan dalam kondisi kehamilan, menunggu masa iddahnya sampai kelahiran. Hal ini ditujukan untuk memberikan pelajaran bagi pelaku perzinaan. Namun, Mazhab Syafi’i berbeda pendapat dengan menyatakan boleh perempuan dalam kondisi hamil dinikahi. Dasar hukum pembolehan ini adalah perkawinan dalam kondisi hamil ini tidak termasuk larangan kawin yang terdapat dalam al-Qur’an. Pengaturan surat At-Talaq ayat 4 tersebut merujuk pada kondisi perceraian baik cerai mati ataupun hidup dalam keadaan hamil. pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, mereka sepakat bahwa perempuan dalam kondisi hamil boleh menikah tanpa syarat iddah namun melekat syarat pertaubatan. Tidak ada kewajiban menikahkan perempuan tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya. Hal ini disepakati baik oleh Mazhab Hanafi dan Syafi’i, mereka juga sepakat untuk melarang persetubuhan sampai terjadinya kelahiran. [2]
Pendapat yang membolehkan perkawinan dengan kondisi kehamilan dirujuk oleh KHI. Namun, KHI mengatur bahwa perempuan yang hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan tersebut dapat dilakukan tanpa menunggu kelahiran anaknya dan tidak perlu diulang setelah kelahiran anaknya. Dengan kata lain, KHI tidak menganut pendapat pengharaman perkawinan dalam kondisi hamil. Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur soal kawin dengan perempuan hamil dalam Pasal 53: [3]
a.    Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b.    Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c.    Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Kebolehan kawin dengan perempuan hamil menurut ketentuan diatas terbatas bagi laki-laki yang menghamilinya. Ini sejalan dengan firman Allah, Q.S An-Nur ayat 3: [4]
الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرّمَ ذالِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Terjemahnya:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.
Ayat ini dapat dipahami bahwa kebolehan kawin dengan perempuan hamil bagi laki-laki yang mengahamilinya adalah merupakan pengecualian. Karena laki-laki yang menghamili itulah yang tepat menjadi jodoh mereka. Pengidentifikasian dengan laki-laki musyrik menunjukan keharaman wanita yang hamil tadi, adalah isyarat larangan bagi laki-laki yang baik-baik untuk mengawini mereka (Q.S Al-Baqarah ayat 221). Isyarat tersebut dikuatkan lagi dengan kalimat penutup ayat wa hurrima dzalika ‘ala al-mu’minin. Jadi bagi laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil tersebut, diharamkan untuk menikahinya. [5]
Hubungan seksual diluar nikah dinamakan dalam Islam sebagai perbuatan zina. Zina diharamkan, baik itu zina premarital , ekstra marital atau post marital. Begitu pula segala yang dapat membawa kepada zina harus dihindari. Mencegah perbuatan zina lebih baik dari pada memperbaiki akibat yang ditimpalkan karena perzinahan, seperti kawin muda, abortus, mengobati penyakit kelamin dan sebagainya. Allah SWT.. berfirman dalam Q.S. Al-Isra: 32: [6]
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Terjemahnya: 
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang seburuk-buruknya.
Pacaran dan pergaulan bebas yang dilarang dalam Islam adalah berduaan, berciuman, meraba-raba tubuh, sampai menjurus ke zina yaitu melakukan hubungan seksual sebelum atau di luar nikah dengan memakai alat kontrasepsi atau tanpa alat kontrasepsi. Dalam seksologi, sewaktu laki-laki dan perempuan berpacaran secara intim yang menyebabkan laki-laki ejakulasi (mengeluarkan sperma), walaupun tidak bersenggama, dapat menyebabkan perempuan hamil, karena sperma yang jatuh dan melekat pada paha atau perempuan dapat memanjat memasuki selaput dara dan terus menembus ke rahim. [7]
Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis atau janda, jejaka, beristri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata. Ada dua macam yang digunakan bagi zina, yaitu; 1) zina muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah, 2) zina ghairu muhson, adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka atau perawan. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson yang dilakukan oleh bujang atau perawan itu sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman. Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda bagi penzina muhson dirajam sampai mati sedangkan yang ghairu muhson dicambuk 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina ghairu muhson disebut anak diluar perkawinan. [8]
Kehamilan di luar nikah, terjadi karena pasangan kekasih sering memanfaatkan beberapa kesempatan dan erkembangan teknologi yang dapat membawa mereka kepada pergaulan yang tidak sesuai dengan aturan dan norma. Ketika kehamilan terjadi, bukan hanya pasangan kekasih yang merasa bingung dan malu, orang tua mereka pun akan merasakan hal yang sama dan bahkan lebih dari pasangan kekasih (anak mereka) itu sendiri.
Untuk menghilangkan dan menyelesaikan permasalahan kehamilan diluar  nikah akibat perzinaan, para orang tua biasanya menikahkan anak-anak mereka yang telah hamil tersebut baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun bukan dengan laki-laki yang menghamilinya. Setelah anak perempuan yang hamil tersebut melahirkan sering kali para orang tua menikahkan kembali anak-anak mereka, beranggapan bahwa perkawinan tersebut belum sah, karena mereka menikah dalam keadaan hamil. Praktik seperti ini dilatari oleh apa yang mereka pahami tentang ketentuan nikah hamil didalam fikih-fikih klasik. Berdasarkan pada praktik ini, para ulama Indonesia menyepakati untuk memperbaiki pemahaman dan sekaligus menetapkan aturan perkawinan wanita hamil didalam KHI, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.[9]
Masalah perkawinan dalam keadaan hamil ini, erat kaitannya dengan apa yang terjadi pada perkawinan dibawah umur. Sebab, perkawinan dibawah umur pada kenyataannya hampir rata-rata dilakukan karena masalah kehamilan atau telah melakukan perzinaan. Sehingga dibutuhkan kejelian dan ketelitian dalam masalah seperti ini, apakah laki-laki yang menghamili benar-benar yang sebenarnya atau hanya orang yang dipaksa untuk menikah dan mempertanggungjawabkan perbuatan orang lain. Sehingga, dengan ketelitian itu maka perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan tidak akan menimbulkan proslem setelah perkawinan berlangsung.


[1] Indah Purbasari, Hukum Islam Sebagai Hukum Positif Di Indonesia  “Suatu Kajian di Bidang Hukum Keluarga,(Malang: Setara Press, 2017), h. 110.    
[2] Chuzaimah T. Yango Dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 62.    
[3] Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.   
[4] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”, (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009).
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 135-136.    
[6] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemah “Mushaf Fatimah”.
[7] Tim Penyusun BKKBN, DEPAG, NU, MUI dan DMI, Membangun Keluarga Sehat Dan Sakinah, (Jakarta: BKKBN, 2008), h. 105-106.
[8] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Cet. IV, Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 82-83.
[9] Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Arifin, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, (Cet. I, Jakarta: Kencana, 2013), h. 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar