CORAK KARYA TAFSIR DAN METODOLOGI PENAFSIRAN DI INDONESIA
( Tinjauan Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka )
A. LATAR BELAKANG
Dalam sejarahnya Al-qur’an
turun dalam bentuk yang utuh dan murni dengan menggunakan bahasa Arab dan
penjelasan yang masih bersifat umum. Sehingga ketika al-Qur’an ini menyebar
luas dan nabi Muhammad wafat maka para penafsir al-Qur’an pun bermunculan untuk
memberikan penjelasan secara ilmiah, logis dan runtut bersama sejarahnya, termasuk
penafsiran al-Qur’an di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam masa
penafsirannya sejak masuknya Islam hingga saat ini.
Metode yang digunakan dalam
penafsiran al-Qur’an di Indonesia ini secara umum sama dengan yang digunakan
oleh para mufassir lainnya yaitu: Metode
Ijmali ( Global ), Metode Tahlily ( Analisis ), Metode Muqarin ( Komparatif )
dan Metode Mawdhu’i ( Tematik ), namun dengan ciri khas dan corak yang berbeda-beda.
Banyak karya tafsir di Indonesia ini yang pernah di bukukan dan sudah dikenal
luas di masyarakat antara lain, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Tafsir Qur’an,
Tafsir Sinar, Tafsir Al-Bayan, Tafsir An-Nur, Tafsir Al-Azhar dan Al-Qur’an
Bacaan Mulia. [1]
Semua
karya tafsir yang pernah dihasilkan ini merupakan karya tafsir yang menjadi
bahan rujukan ummat Islam khusunya di Indonesia yang mampu memberikan titik
terang tentang isi kandungan al-Qur’an. Sehingga rasa ingin tahu masyarakat
tentang karya tafsir ini pun semakin berkembang sebagai upaya untuk menambah
keilmuan khususnya tentang al-Qur’an. Salah satu karya tafsir yang akan
dijelaskan dalam makalah ini adalah tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Karya
tafsir ini banyak dirujuk oleh para pengkaji al-Qur’an sebab karya tafsir ini
bahasanya mudah dipahami, menyejukkan, penjelasannya mendetail dan mengikuti
perkembangan zaman. Oleh karena Makalah
ini akan membahas bagaimana Metode dan corak karya tafsir yang digunakan
oleh Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar ?.
B.
PEMBAHASAN
1.
Biografi Singkat Buya Hamka
dan Tafsir Al-Azhar
Prof.
Dr. Buya Malik Haji Abdul Karim Bin Abdul Karim Amrullah atau yang lebih
dikenal dengan Buya Hamka lahir pada tanggal 16 Februari 1908 M bertepatan
dengan tanggal 13 Muharram 1326 H, di sebuah desa yang bernama Tanah Sirah,
dalam negeri Sungai Batang, terletak di tepi Sungai Maninjau. Sejak kecil
beliau senang menyingkat namanya dengan AMKA (Abdul Karim Malik Abdullah) dan
sejak tahun 1927 namanya disingkat menjadi Hamka dan nama inilah yang terkenal
sampai dengan saat ini. [2]
Dalam
perjalanan hidupnya Buya Hamka pernah dipenjarakan selama 2 tahun pada masa
pemerintahan Soekarno sebagai Presiden dalam tuduhan pembrontakan PRRI
(Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), semasa dipenjarakan Buya Hamka
orang yang tidak tinggal diam dalam berkarya. Salah satu karya tebesarnya yang
sampai dengan saat ini masih dikenal luas dalam masyarakat muslim adalah Tafsir
Al-Azhar dibuat dalam 30 Jilid masing-masing berisi 1 Juz, dan karya tafsir ini
merupakan hasil karyanya selama berada di dalam penjara. Setelah peralihan
pemerintahan dari orde lama ke orde baru, akhirnya beliau bisa bernafas lega
dengan dibebaskan dari dalam penjara. Setelah keluar dari penjara beliau
kembali menyempurnakan karya tafsir Al-Azhar yang dibuatnya selama dalam masa
tahanan. Dengan bebasnya beliau karya-karyanya semakin diterima dalam
masyarakat dan pemikirannya pun semakin berkembang dengan hasil karya yang
semakin gemilang.
Tafsir
Al-Azhar yang merupakan hasil karya terbesar Buya Hamka namanya diambil dari
salah satu Masjid Agung Kebayoran Baru yaitu ”Masjid Al-Azhar”. Beberapa hal
penting yang memotivasi Hamka dalam menulis Tafsir Al-Azhar adalah (1) Adanya
mufassir klasik yang sangat gigih atau ta’assub (fanatik), yang sering
memaksakan kehendaknya kedalam mazhab yang dianutnya, walaupun sebenarnya
penjelasan sebenarnya mengarah kepada mazhab lain; (2) Rasa ingin tahu umat
muslim saat itu sangat tinggi untuk belajar agama; (3) Ingin meninggalkan
sebuah pusaka berupa hasil karya pemikiran yang bermanfaat; (4) Membalas hutang
budi atas penghargaan yang telah diberikan kepadanya (Gelar Doktor Honoris
Causa).
Dalam
proses penerbitan karya tafsir Al-Azhar ini dilakukan dalam 3 tahapan
penerbitan pada masa pimpinan H. Mahmud sebagai penerbit pembimbing. Tahapan
pertama diterbitkan dari juz 1 sampai dengan juz 4, tahapan kedua dari juz 15
sampai dengan juz 30 dan tahapan ketiga dari juz 5 sampai dengan juz 14, dengan
penerbit yang berbeda-beda. [3]
2.
Corak Karya Tafsir Al-Azhar
Adapun
di Indonesia berdasarkan hasil pemetaan Islah Gusminan, bahwa corak atau nuansa
karya-karya tafsir yang ada di Indonesia dari periode ke periode ada lima
yaitu; Pertama, Corak Sastra Bahasa, Kedua, Corak Sosial
kemasyarakatan, Ketiga, Corak Teologis, Keempat, Corak Sufistik
dan Kelima, Corak Psikologis. [4] Kelima corak
inilah yang digunakan secara umum oleh para mufassir dalam menafsirkan
al-Qur’an di Indnesia, walaupun masing-masing mufassir memiliki ciri khas
tertentu dalam penafsirannya.
Buya Hamka yang merupakan salah satu mufassir
Indonesia yang sangat terkenal ini setelah diamati melalui penafsiran yang
dilakukannya terhadap tafsir Al-Azhar, ditinjau dari corak penafsirannya, lebih
banyak mengutamakan tentang kehidupan sosial masyarakat dan mengatasi masalah
yang timbul didalamnya. Sehingga sangat jelas terlihat bahwa beliau menggunakan
corak penafsiran adab ijtima’i (sosial kemasyarakatan) [5].
Salah
satu contoh penafsirannya yang berhubungan dengan masalah sosial kemasyarakatan
terdapat dalam Q.S Al-Baqarah [2]: 159 berikut ini:
ان الذ ين يكتمون ما انز لنا من البينت والهدى من بعد
مابينه للناس فى اكتب.الئك يلعنهم الله ويلعنهم اللعنون.
Terjemahannya:
Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan
petunjuk, setelah kami jelaskan kepada manusia dalam kitab, mereka itulah yang
dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat [6].
Penafsiran
yang dilakukan oleh Buya Hamka dalam ayat ini adalah sebagai berikut:
-
Yang dimaksud dengan keterangan-keterangan
dalam ayat ini adalah tentang sifat-sifat rasul akhir zaman yang akan diutus
yaitu nabi Muhammad s.a.w. yang begitu jelas sifat-sifatnya diterangkan,
sehingga mereka kenal sebagaimana anak mereka sendiri.
-
Dengan menyebut keterangan-keterangan
maka jelas terlihat bahwa penjelasan ini bukan dalam satu tempat saja dan bukan
satu kali saja, melainkan diberbagai kesempatan.
-
Dan yang dimaksud dengan
petunjuk atau hudan adalah intisari ajaran Nabi Musa a.s. yang
sama dengan intisari ajaran nabi Muhammad s.a.w. yaitu tidak mempersekutukan
Allah dengan yang lain dan tiada membuatnya patung dan berhala.
-
Setelah kami jelaskan
kepada manusia dalam kitab, maksudnya bahwa segala keterangan dan petunjuk
itu jelas tertulis dalam dikitab taurat itu sendiri, dan sudah disampaikan
kepada manusia, sehingga tidak dapat disembunyikan lagi.
-
Mereka itu akan dilaknat
Allah dan mereka pun akan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat, maksudnya
adalah orang yang menyembunyikan keterangan-keterangan itu, mereka yang tidak
jujur, orang-orang yang curang, yang telah melakukan korupsi atas
kebenaran, karena mempertahankan golongan sendiri. Orang yang semacam ini
pantas dilaknat Allah dan manusia. Kecurangan terhadap ayat suci dalam
kitab-kitab Tuhan , hanya semata-mata mempertahankan kedudukan, adalah satu
kejahatan yang patut dilaknat. [7]
Penafsiran
Buya Hamka dalam ayat ini menjelaskan tentang kondisi masyaraat yahudi yang
hidup di zaman nabi Musa a.s. yang telah sengaja menyembunyikan berita tentang
akan diutusnya nabi Muhammad sebagai nabi terakhir yang telah disebutkan dalam
kitab mereka di zaman itu. Hal ini terjadi akbibat dari ketidakpercayaan mereka
tentang berita ini. Sehingga sangat pantas bagi mereka untuk dalaknat oleh
Allah dan manusia. Ayat yang ditafsirkan ini merupakaan celaan keras atas
perbuatan curang terhadap sebuah kebenaran. Oleh sebab itu dalam menafsirkan
suatu ayat jangan hanya sekedar menjuruskan perhatian pada sebab turunnya ayat
saja.
Celaan
ini bukan hanya bertujuan pada perbuatan pendeta yahudi dan nasrani yang sengaja
menyembunyikan kebenaran, tetapi juga peringatan kepada kita semua umat Islam
terutama kepada orang yang orang-orang yang ahli dalam penafsiran, agar jangan
sekali-sekali menyembunyikan kebenaran tentang ayat Al-Qur’an dan Hadis, dalam
hal ini kebenaran tentang amar ma’ruf, nahi munkar, menganjurkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran yang merupakan kewajiban bagi setiap manusia.
Ayat
ini mengisyaratkan bahwa Tafsir Al-Azhar menggunakan corak Adabi
Ijtima’i. Sekalipun corak ini melakukan penafsiran mengenai aneka macam persoalan
yang berhubungan dengan kandungan ayat yang ditafsirkan seperti; filsafat,
teologi, hukum, tasawuf, dan sebagainya. Namun penafsirannya tidak keluar dari
coraknya yang berusaha untuk menagatasi problem yang ada dalam kehidupan
masyarakat dan memotifasinya untuk memperoleh kemajuan duniawi dan ukhrawi
menurut petunjuk al-Qu’an.
Berdasarkan
penafsiran diatas dapat dikemukakan bahwa sistematika penafsiran yang dilakukan
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar adalah sebagai berikut:
1.
Ayat
Dalam
menulis ayat dan terjemahannya, langkah pertama yang dilakukannya adalah
mencantumkan terlebih dahulu nama surat dan terjemahannya, urutan surat, jumlah
ayat dan terjemahannya.
2.
Terjemahan
Dalam
menjelaskan terjemahannya biasanya beliau mengelompokkan beberapa ayat dan
masing-masing terjemahannya, kemudian memberi pendahuluan yang isinya
menjelaskan tentang alasan penamaan surat, menyebutkan jumlah ayat, sedikit
menjelaskan sejarah yang mencakup tentang ayat tersebut dan penjelasan tentang
inti sarinya.
3.
Munasabah
Sebelum
menjelaskan tentang munasabah biasanya beliau memberi judul tentang pemabahasan
ayat yang akan ditafsirkan, namun ada juga yang tidak. Setelah itu ia
mengungkapkan munasabah [8] ayat.
4.
Tafsir Ayat/Kosa Kata
Dalam
sistematika yang keempat ini beliau mencantumkan ayat yang akan ditafsirkan
diikuti dengan penjelasan, yang kemudian menjelaskan kosa kata yang penting
dalam ayat tersebut, sebab terkadang kosa kata inilah yang banyak yang menjadi
multi tafsir sehingga hal ini menjadi bagian penting.
5.
Asbab Al Nuzul
Asbab
Al-Nuzul ini termasuk hal yang penting dalam penafsiran sebuah ayat walaupun
sebenarnya dalam model penafsiran yang dilakukan Buya Hamka hal itu tidak
terlalu berpengaruh, tetapi penting untuk dikemukakan sebagai bukti kuat dalam
penafsiran ayat. Asbab Al Nuzul akan dikemukakan dalam bagian penafsiran
ayat apabila ada Asbab Al Nuzul yang kemudian akan diperkuat lagi dengan
hadis bila ada.
6.
Kandungan
Ayat/Kesimpulan
Kandungan
ayat/kesimpulan ini merupakan bagian akhir dari sistematika penafsiran Buya
Hamka, dengan menjelaskan kandungan ayat atau kesimpulan ayat tersebut, jika
ayat tersebut masih membutuhkan penjelasan lagi dalam sebuah kesimpulan. Dalam
hal ini tidak selamanya beliau lakukan sebab tidak semua ayat yang beliau
tafsirkan mencantumkan sebuah kesimpulan akhir.
3.
Metodologi Penafsiran dalam Tafsir
Al-Azhar
Jika
diperhatikan penafsiran Buya Hamka dalam kitabnya Tafsir Al-Azhar, ditinjau
dari segi sumber atau bentuk/manhaj tafsir, maka ia merupakan perpaduan antara
tafsir bi al-Ma’tsur [9] dan bi
al-Ra’yi [10]. Hal ini
terlihat ketika beliau menafsirkan Q.S Al-Baqarah [2]:158:
ان الصفا و المروة من شعا ئر الله
Terjemahannya:
Sesungguhnya Safa dan Marwah itu
merupakan sebagian syiar (Agama) Allah. [11]
Menurut Syaikh
Muhammad Abduh ayat ini masih urutan dari masalah peralihan arah kiblat,
meskipun pada penafsiran lain seakan-akan telah terpisah. Menyebutkan dari hal
sa’i diantara safa dan marwah setelah memperingatkan menyuruh sabar dan shalat,
guna menerima segala penyempurnaan nikmat tuhan kelak, dan supaya tahan
menderita atas segala cobaan. Maka dengan ayat ini dibayangkan pengharapan,
bahwa akan dating masanya mereka akan berkeliling diantara bukit safa dan
marwah. Betapapun kesulitan yang dihadapi tetapi pengharapan itu harus selalu
dibayangkan.
Selanjutnya beliau
menjelaskan tentang syi’ar bentuk jamak dari sya’air, maka sya’airallah
artinya tanda-tanda peribadatan kepada Allah yang mencakup seluruh aspek
peribadatan misalnya ibadah haji yang banyak terdapat syiar didalamnya. Lebih
lanjut ia menjelaskan tentang syiar sa’i yang menurut hadis Bukhari dan
Muslim dari Ibn Abbas, bahwa sa’i merupakan kenangan terhadap Hajar istri nabi
Ibrahim yang ketika itu Ismail yang dikandungnya telah lahir, sementara ia
ditinggal seorang diri oleh Ibrahim yang sedang melanjutkan perjalanannya ke
syam, yang kemudian air persediaannya telah habis sehingga menyebabkan air
susunya nyaris kering sedang taka da sumur ditempat itu untuk mengambil air.
Anaknya Ismail pun menangis kehausan hingga hampir parau suaranya. Maka dengan
harapan yang cemas Hajar setengah berlari diantar dua bukit safa dan marwah
sebanyak 7 kali pergi dan balik dan tiba-tiba kedengaran olehnya suara
sementara burung beterbangan yang pada saat itu juga terdengar suara Ismail
yang menangis, setelah 7 kali itu diapun kembali ketempat Ismail. Maka
dilihatnya malaikat yang sedang menggali-gali tanah diujung kaki anaknya maka
keluarlah air dengan cemas dipelukah air dan dia berkata zam! zam! yang artinya
berkumpullah-berkumpullah. (Al-Bukhari, 1993, II: 206, Hadis ke 1643) [12]
Penafsiran Buya Hamka
diatas ini jelas mengindikasikan perpaduan antara tafsir bi al-ra’yi dan
bi al-ma’tsur, diaman ia menjelaskannya dengan munasabah ayat dengan
mengutip Muhammad Abduh. Kemudian menjelaskan kosa kata syi’ar secara
rasional, setelah itu menjelaskan dengan hadis nabi. Akan tetapi penafsirannya
lebih dominan dengan menggunakan tafsir bi al-ra’yi sehingga Tafsir
Al-Azhar Baidan mengkasifikasikannya sebagai tafsir yang menggunakan bentuk ra’yi
“pemikiran”. (Baidan, 2003:106)
Mencermati penafsiran
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, yang menjelaskan ayat al-Qur’an secara
analitis dengan mengikuti urutan ayat dalam al-Qur’an, sehingga dapat
disimpulkan bahwa metode yang ia gunakan dalam menafsirkan ayat adalah dengan
menggunakan metode Tahlili [13]. Hal ini nampak terlihat dalam salah satu
penafsirannya dalam Q.S Al-Thariq [86]:11 sebagai berikut:
والسماء ذاتالرجع
Terjemahannya:
Demi langit yang menurunkan hujan[14]
Dalam ayat ini Buya
Hamka menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan langit ini tentulah yang diatas
kita. Sedangkan yang didalam mulut bagian atas kita namai langit-langit dan
tabir sutera warna-warni yang dipasang diatas singgasana raja atau diatas
pelaminan dinamai langit-langit juga, sehingga yang dimaksud dengan langit
disini dipakai untuk yang diatas. Terkadang juga dilambangkan sebagai
ketinggian dan kemuliaan dan kemuliaan tuhan, lalu kita tadahkan tangan ke
langit ketika berdoa. Maka dari langit itulah turunnya hujan. Langitlah yang
menyimpan air, menyediakannya lalu menurunkannya menurut jangka waktu.
Sedangkan raj’i disini diartikan sebagai hujan oleh sebab hujan itu
memang air dari bumi juga [15].
Melihat penafsiran
ayat ini Baidan berkomentar bahwa Buya Hamka menggunakan metode analitis
sehingga peluang untuk memaparkan tafsir yang rinci dan memadai menjadi lebih
besar. Dengan demikian jelas bahwa Tafsir Al-Azhar yang merupakan hasil karya dari Buya Hamka menggunakan
metode Tahlili dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.
C.
KESIMPULAN
1.
Tafsir Al-Azhar merupakan karya
tafsir Indonesia, yang disusun oleh seorang yang bernama Prof. Dr. Buya Malik
Haji Abdul Karim Bin Abdul Karim Amrullah (Buya Hamka). Yang ditulis kurang
lebih 6 Tahun, 2 Tahun ditulisnya dalam penjara dan sisanya diselesaikan ketika
sudah bebas dari penjara, yang berjumlah 30 jilid masing-masing jilid 1 juz.
2.
Tafsir Al-Azhar karya Buya
Hamka merupakan karya tafsir yang memiliki corak Adab Al-Ijtima’i.
3.
Tafsir Al-Azhar ini selanjutnya
merupakan karya tafsir yang menggunakan metode tahlili dan munggunakan manhaj
al-ra’yi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Hafiz, Ulumul Qur’an Praktis. Idea Pustaka
Utama, Bogor, Cet.I, 2003
Az-zahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Maktabah
Wahbah, Jilid I, Cet. 7
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir. Pustaka
Progresif, Yogyakarta, Cet. 16. 1997
Baidan, Nasrudin. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, Cet. I. Solo,
P.T Tiga Serangkai. 2003
Hamka. Tafsir
Al-Azhar. Juz 2 dan Juz 30, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005
Howard M. Federspied, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud
Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan 1996
Jurnal Hunafa,Vol. 6, No.3, 2009
Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Mushaf Fatimah), Pustaka Al-Fatih, 2009
Muhammad Bin Mukram Bin Manzhur Al-Fariqy, Lisan Al-Arab, Dar Shadir,
Jilid V, 1412
Shihab, M.
Quraish.dkk. Sejarah Dan Ulumul Qur’an. Jakarta. Pustaka Firdaus, Cet. 4, 2008.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta,
Penerbit Djambatan, 1992
Howard M. Federspied, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud
Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan 1996
[1] Howard M. Federspied, Kajian
Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan,
1996
[2] Howard M. Federspied, Kajian
Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus Hingga M. Quraish Shihab, Bandung, Mizan,
1996
[5] Adab Ijtima’i adalah corak
tafsir yang menerangkan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur;an yang berhubungan
langsung dengan kehidupan masyarakat dan berupaya untuk menanggulangi
masalah-masalah mereka dengan petunjuk-petunjuknya.
[8] Secara terminologis Munasabah menurut Imam Zarkasyi memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan
akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum, dengan lafal-lafal khusus, atau hubungan
antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat, dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).
[9] Tafsir bi
al-Ma’tsur secara terminologi adalah tafsir yang berpegang pada riwayat yang
shahih, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan sunnah sebagai
penjelas terhadap kitabullah, atau dengan perkataan para sahabat karena
merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan tokoh-tokoh besar
tabi’iyn karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat. (Abdurrahman,
Hafidz. Ulumul Qur’an Praktis, Bogor, CV. Idea Pustaka
Utama, Cet. I. 2003)
[10] Tafsir bi al-Ra’yi menurut istilah
adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak.
Yang disebut juga dengan al-tafsir
bi al-ijtihadi, yaitu penafsiran
dengan menggunakan ijtihad karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil
pemikiran seorang mufassir. (Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Qur’an Praktis, Bogor,
CV. Idea Pustaka Utama, Cet. I. 2003)
[13] Tahlili berasal dari bahasa Arab hallala-yuhallilu-tahlil yang berarti
mengurai, menganalisis. Jadi Metode Tahlili adalah tafsir yang
menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang
terkandung didalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat didalam al-Qur’an
Mushaf Utsmani. (Shihab, M. Quraish.dkk. Sejarah
Dan Ulumul Qur’an. Jakarta. Pustaka Firdaus, Cet. 4, 2008)