"IJTIHAD UMAR BIN KHATTAB DALAM SOSIOLOGI HUKUM ISLAM"
Gambar: Pemandangan Alam |
Kehidupan masyarakat senantiasa mengalami suatu
perubahan
seperti apa yang disebutkan dalam istilah sosiologi. Perubahan-perubahan pada kehidupan masyarakat
tersebut merupakan fenomena sosial yang wajar, oleh karena setiap manusia mempunyai
kepentingan yang tidak terbatas. Perubahan-perubahan akan nampak setelah tatanan
sosial dan kehidupan masyarakat yang lama dibandingkan dengan tatanan dan kehidupan
masyarakat yang baru.[1]
Oleh karena itu, apa yang disebut dengan perubahan social (social change) dalam
istilah sosiologi, kapan dan dimanapun akan selalu terjadi di setiap lingkungan
umat manusia. Setiap perubahan sosial, cepat atau lambat, selalu menuntut perubahan
dan pembaharuan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya bidang fikih (hukum
dan perundang-undangan) yang merupakan salah satu institusi penting bagi kehidupan
umat manusia.
Al-Quran sebagai kitab suci bagi umat
Islam, pada mulanya juga diwahyukan sebagai respon situasi masyarakat tertentu.
Sebagai prinsip dasar, al-Quran hanya memuat sebagian kecil hukum–hukum secara
terinci. Sedangkan Sunnah terbatas pada kasus–kasus yang terjadi di masa
Rasulullah saw. Karena itu, untuk memecahkan persoalan–persoalan baru, terutama
yang berhubungan dengan persoalan kemasyarakatan (muamalah), diperlukan
adanya ijtihàd dengan memanfaatkan secara optimal anugerah Allah swt.
yang paling berharga, yaitu akal pikiran.
Di masa lalu, banyak penguasa, ilmuan, dan
tokoh Islam yang telah mengupas kebenaran ajaran agama Islam dengan
mempergunakan akal atau pikiran sesuai yang dianjurkan oleh al–Quran. Kesempatan
bagi mereka dibuka selebar–lebarnya selama mereka memiliki kemampuan dan
wewenang untuk melakukannya. Salah seorang dari mereka adalah Amìr
al–Mukminìn, Umar ibn al–Khattàb, ra. Khalifah ke 2 pada generasi al-Qurankhulafà’
al-ràsyidûn. Ia adalah seorang mujtahid besar yang memanfaatkan akal
pikirannya dengan berani dan jujur, demi mempertahankan relevansi ajaran Islam
dengan dunia di mana ia hidup dan memerintah. Ia berijtihad tidak hanya kalau
tidak ada petunjuk al-Quran dan Sunnah, tetapi berani ber–ijtihad meskipun
ada petunjuk wahyu dan hadis. Ia berani menempuh kebijakan yang tidak lagi
sesuai dengan pengertian harfiyah dari ayat al-Quran atau tradisi yang
dulu dilakukan oleh Rasulullah saw. Alasannya adalah karena situasi sosial dan
keadaan telah berubah.
Keistimewaan ijtihad dari Khalifah Umar Bin Khattab, dimana ia adalah seorang yang sangat berani dalam mengambil langkah dan tindakan dalam menentukan sebuah permasalahan yang terjadi, tanpa mengenal perbedaan suku, agama, dan ras, jika ada sesuatu hal yang salah maka akan dikatakan salah dan jika itu benar maka ia akan katakan kebenarannya. Hal inilah yang membedakan hasil ijtihadnya dengan yang yang lain, hasil ijtihad Khalifah Umar memberikan khazanah pengetahuan yang luas dalam agama Islam yang belum diperoleh pada masa-masa sebelum Khalifah Umar, hal ini menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran dan hukum-hukum baru dari hasil penetapan hukum yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
1. Riwayat Singkat Umar Bin Khattab
Umar bin Khattab lahir
di kota Mekah pada tahun 513 M. Ia berasal dari bani Adi, salah satu bagian
suku Quraisy. Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca
dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal
karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah. Sebelum
memeluk Islam, sebagaimana tradisi kaum jahiliyah mekkah saat itu, Umar
mengubur putrinya hidup-hidup. Kemudian
menurut beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka
mabuk-mabukan dengan cara meminum anggur. Namun, setelah menjadi muslim, ia
tidak menyentuh alkohol sedikit pun, meskipun belum diturunkan larangan meminum
khamar (yang memabukkan) secara tegas. Selain itu, ia juga terbiasa membuat
patung-patung berhala. Yang kadang-kadang ia buat dari gandum dan manisan.
Sehingga, ketika ia lapar, maka ia memakan bagian-bagian dari patung berhala
yang ia buat sendiri.
Umar
masuk Islam ketika berusia dua puluh tujuh tahun. Adapun penyebab ia masuk
Islam adalah akibat dari lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an yang dibacakan oleh
adiknya bernama Fatimah yang menyebabkan hatinya luluh dan ingin segera menemui
Rasulullah untuk menyatakan keIslamannya. Pada saat menjadi khalifah, ia
mendapat gelar amirul mukminin dan al-faruq yang artinya pembeda. Ia adalah
khalifah yang sangat sederhana. Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar
Bin Khattab wafat, Beliau ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh oleh
seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah, budak milik al-Mughirah bin Syu’bah
diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Nabi saw dan
Abu Bakar as Siddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.
2.
Hasil Ijtihad Umar Ibn Al–Khattàb Dalam Realitas Sosial
Umar Ibn al-Khattàb dikenal sebagai
sosok tokoh pemikir yang cerdas, keras, dan pemberani dalam sejarah
penyebarluasan Islam pada masa itu. Ketika menjabat sebagai khalifah ke 2 pada
masa al-khulafà’ al-Ràsyidûn, ia telah banyak mengeluarkan pemikiran
yang kreatif. Tidak jarang dari pemikiran-pemikirannya tersebut secara tekstual
berbeda, bahkan berseberangan dengan ketentuan normatif yang telah mapan dan
diterima secara baik di tengah–tengah masyarakat. Oleh karena itu, pemikiran
yang kontroversial ini sering menimbulkan pro dan kontra di kalangan para
sahabat dan cendekiawan muslim saat itu. Sebagian di antara mereka ada yang
dapat memahami dan menerima pemikiran inovatif Umar, tetapi sebagian yang lain
sulit menerima dan menolak keras pemikirannya. Dari sebagian mereka yang menolaknya, menganggap Umar keluar
dari tuntunan hidup beragama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
Selama masa pemerintahan Umar
bin Khattab sebagai khalifah, kata-kata musytarak, makna lugas dan
kiasan, adanya pertentangan nash juga makna tekstual dan kontekstual sudah
mulai ditemukan di dalam Al-Quran. Selain faktor-faktor tersebut, masih ada
lagi beberapa faktor yang menyebabkan Umar bin Khattab melakukan ijtihad
mengenai hukum-hukum islam, diantaranya adalah faktor militer, yakni dengan
meluasnya wilayah kekuasaan Islam, faktor sosial yang semakin heterogennya
rakyat negara Islam, dan faktor ekonomi.
Dalam melakukan ijtihadnya Umar bin Khattab
menggunakan metode bi ra’yi. Ar ra’yu secara bahasa adalah pendapat atau
pertimbangan. Sedangkan Ar ra’yu secara istilah, penulis menggunakan pendapat
Abdul Wahab Khalaf, yaitu (Pengarahan) akal dan pemikiran dengan satu atau
beberapa media yang syariat mengantarkannya pada petunjuk (Allah) dalam
menggali hukum (istinbath) terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuannya di
dalam nash.
Dengan cara dan metode
ijtihadnya yang berbeda ini, maka tidak heran jika perubahan-perubahan penafsiran
yang dilakukan Umar akan berakibat pula pada perubahan hukum dan fatwa dari
yang telah berjalan sejak masa Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Tidak
hanya itu perubahan penafsiran secara kontekstual pada masanya kerap terjadi
seakan telah keluar dari teks asalnya. Di
antara beberapa perubahan-perubahan
dari hasil ijtihadnya tersebut adalah menyangkut persoalan-persoalan sebagai berikut:
a. Masalah Ghanìmah (Harta
Rampasan Perang)
Masalah ghanìmah (harta rampasan perang) telah diatur
dengan jelas dalam Q.S.
Al-Anfal ayat 41. Secara teks dalam ayat ini disebutkan bahwa pembagian harta
rampasan perang itu dibagi berdasarkan ketentuan yang menurut al-Quran dengan
menggunakan istilah khumusahu yang berarti seperlima. Seperlima tersebut
sesuai dengan makna secara teksnya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan
ibadah dan amal sosial.[2] Sementara seluruh sisanya diperuntukkan bagi pasukan
perang yang berhasil memperolah harta rampasan yang pernah dilakukan oleh nabi,
termasuk pula cara ini juga diikuti hingga pada masa Abu Bakar al–Shiddiq ra.[3]
Ketika
khalifah berganti kepada Umar, penafsiran ayat di atas mengalami perubahan yang
sangat drastis, apalagi setelah terjadinya penaklukan kota Iraq. Pandangan Umar
tentang harta rampasan perang ini dilandasi oleh paradigma pemikiran, bahwa
kemaslahatan umat harus lebih diutamakan dibanding dengan kemaslahatan
individu.[4] Pandangan ini, dianggap kuat oleh Umar
untuk dijadikan hujjah dalam mereformulasi praktik pembagian harta
rampasan sebagaimana yang dipelopori oleh Nabi dan Abu Bakar. Sehingga langkah
penyelesaian selanjutnya, oleh Umar harta rampasan tersebut dikembalikan kepada masyarakat yang memilikinya, dari sana kemudian
diambil pajak tertentu yang disebut dengan istilah kharaj dan dimasukkan
ke dalam kas negara demi kepentingan masyarakat umum.
Proses
terjadinya perubahan penafsiran teks tersebut yang dilakukan oleh Umar pada
prinsipnya bila ditelusuri lebih dalam banyak di latar belakangi oleh situasi
dan kondisi perang pada saat itu, baik berupa materi maupun non-materi. Secara
materi, Islam pada saat itu telah mengalami kejayaan dan kemenangan, sehingga
secara psikis Umar ingin menunjukkan bahwa Islam adalah sebagai agama yang kaya
moral dan sosial. Sementara praktik harta rampasan yang terjadi pada masa
Rasulullah dan Abu Bakar tidaklah demikian, hal ini karena banyak didasarkan
pada pertimbangan kondisi Islam saat itu, yaitu situasi yang masih lemah
ditambah lagi dengan jumlah pasukannya yang masih sedikit/minim.
Perubahan
yang dilakukan oleh Umar terhadap kasus pembagian ghanìmah ini adalah sebagai
wujud respon terhadap perkembangan masyarakat saat itu khususnya dalam
menyelesaikan masalah sosial dalam masyarakat. Inilah yang dikatakan sebagai
teori ”strukturisasi”, dimana Umar sebagai aktor bertindak untuk menetapkan
suatu hukum berdasarkan kepentingan masyarakat (struktur), demi kemaslahatan
umat. Maka hubungan saling mempengaruhi dalam konteks ini sangat terlihat, ekspansi
masyarakat Islam yang dilakukan oleh Umar menuntut perlunya kebijakan yang
dapat memihak pada komunitas yang baru, sehingga kekuatan Islam akan tetap
terjaga di kalangan mereka, terlebih Umar terlihat menunjukkan nilai kepekaan
sosial yang dibangun oleh Islam, yang sekaligus sebagai nilai moral dalam
Islam.
b. Masalah Talak
Dalam al-Qur`an dijelaskan bahwa
talak itu adalah dua kali yang boleh dirujuk kembali.[5] Setelah itu, apabila jatuh
talak ketiga, maka suami tidak boleh rujuk kembali kepada isterinya kecuali
dengan akad nikah baru dan itupun sang isteri harus telah menikah dengan orang
lain dan telah ditalak pula oleh suaminya yang kedua. Adapun cara menjatuhkan
talak itu ada bebeerapa kemungkinan, yaitu: 1). Dengan cara menjatuhkannya satu
demi satu. Maksudnya suami mentalak isterinya dengan talak satu, kemudian ia
rujuk, kemudian talak talak lagi, kemudian rujuk lagi. 2). Dengan cara
menjatuhkannya dua sekaligus pada kali pertama, kemudian rujuk kemudian talak.
3). Dengan cara menjatuhkannya tiga sekaligus, misalnya perkataan suami kepada
isterinya, "saya talak engkau dengan talak tiga".[6] Terkait dengan hal ini,
pada masa Umar, muncul gejala di masyarakat dimana banyak sekali orang
menjatuhkan dan mempermainkan talak tiga.
Dalam keadan
sosial masyarakat yang demikian, Umar kemudian berijtihad dan menetapkan bahwa
talak tiga sekaligus itu jatuh tiga pula. Kebiasaan buruk masyarakat tersebut
menurut Umar haruslah dicegah dengan menetapkan talak tiga sekaligus maka jatuh
pula talak tiga. Poin penting dari ijtihad Umar
tersebut adalah bagaimana dia mampu menjiwai aspek esensial hukum dan tidak
terjebak dalam formalitas teks. Dalam hal ini, aspek sosial dan realitas yang
ada menjadi pondasi Umar untuk mempertimbangkan ketetapan hukum yang ia
rumuskan. Walaupun secara tekstual nampak berseberangan, namun secara esensial,
ketetapan hukum Umar berpijak pada kemaslahatan teks. Dengan demikian, dalam
bahasa kontemporer, Umar nampak mempertimbangkan sosiologi hukum ketika dia
memutuskan sebuah perkara.
c. Masalah Hukum Potong Tangan
Pidana atau hukuman yang
diancamkan terhadap pencurian menurut hukum Islam adalah hukuman hàd (potong
tangan). Pandangan seperti ini didasarkan pada dalil al-Quran surat al-Maidah:
38, yaitu, “Pencuri laki–laki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong
tangan mereka”.[7]
Disamping al-Quran, juga
didasarkan pada dalil Sunnah qauli (ucapan), maupun fi’li (praktik) yang pernah
dilakukan oleh nabi. Akan tetapi, Umar Ibn Khattàb pernah membatalkan hukuman
tersebut pada suatu tahun terjadinya era kelaparan.[8] Argumentasi lain mengatakan
bahwa hukuman tersebut dibatalkan karena pencurian dilakukan oleh orang yang
terdesak mencari makan.[9] Ini artinya dalam menentukan sanksi hukum, Umar
selalu melihat pada persoalan yang melatarbelakanginya. Hal demikian berarti
didasarkan atas alasan darurat, alasan kepentingan dan alasan menghidupi jiwa
orang. Dasar pemikiran ini diikuti oleh ijma’nya para ulama fikih.[10]
d. Masalah Hukuman Pezina bagi Seorang
Gadis
Terkait
dengan sanksi bagi pezina yang masih gadis atau belum terikat dengan tali
perkawinan yang sah, oleh Nabi yang kemudian disepakati oleh jumhur ulama’
adalah hukumannnya didera seratus kali dan dibuang ke luar negeri.[11] Pembuangan
ke luar negeri ini menurut beberapa pandangan adalah tambahan dari Nabi yang
disesuaikan dengan hukum Tuhan pada surat An–Nûr (24) ayat 2.[12] Ketentuan
hukuman menjadi ketetapan berdasarkan sunnah masyhur.[13]
Umar
berpendapat bahwa pada masanya dia pernah mengasingkan Ruba’iah binti Umayyah
bin Khallaf yang kemudian pergi ke Romawi, namun belajar dari pengalaman ini,
menurutnya tidak ada kemaslahatan mengenai alasan pembuangan ke luar negeri
tersebut. Bahkan sangat dikhawatirkan jika orang yang dibuang tersebut akan
bergabung menjadi musuh Islam. Maka dia berkata: ”Saya tidak
akan mengasingkan lagi seseorang setelah dia”.[14] Dari ungkapan terakhir ini, hampir bisa disimpulkan bahwa
berubahnya penafsiran hukum Islam di atas, disebabkan oleh kekhawatirannya pada
posisi negara pada saat itu. Dengan kata lain situasi politik dan kemanan
masyarakat ikut mempengaruhi pada tampilnya penggalian hukum Islam.
e. Masalah Mu’allaf
Kaitannnya dengan masalah mu’allaf ini, al-Quran juga telah menjelaskannya.[15] Istilah mu’allaf dikaitkan dengan ketentuan sedekah.
Maksud dari istilah al-mu’allafatu qulubuhum adalah orang yang oleh Nabi diberi bagian
sedekah dengan maksud untuk menarik dan menjinakkan hatinya pada Islam.[16] Selain juga karena imannya yang
masih lemah atau untuk tujuan menghilangkan niat jahat mereka yang masih ada.
Meskipun keterangan al-Quran demikian jelas menyangkut persoalan mu’allaf ini,
namun Umar ketika menjabat sebagai khalifah berupaya menangkap pesan teks yang
berbeda dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah. Pandangan
Umar mengenai mua’allaf ini adalah mereka yang derajatnya ditinggikan dan
dimenangkan oleh Allah karena keislamannya. Dalam waktu yang bersamaan
menurutnya mereka tidak perlu berhadapan dengan pedang Umar ibn Khattàb. Dalam
logika Umar, siapapun yang hendak masuk Islam, maka berimanlah dan siapa yang
mau kufur, maka kufurlah.
Logika Umar
di atas nampaknya cukup bisa diterima oleh nalar, sebab ketentuan teks dalam
ayat di atas memang didasarkan pada keadaan darurat, dalam rangka dakwah Islamiyah dan berusaha untuk
kemenangan Islam, namun ketika keadaan Islam menjadi kuat, maka alasan di atas
menjadi kurang relevan lagi. Dengan demikian Umar Ibn Khattàb telah menasakh
nàsh tersebut, karena atas dasar alasan realitas dan kondisi umat yang sudah
kuat pada saat itu.
Beberapa
contoh kasus akan perubahan hukum Islam yang dilakukan oleh Umar di atas, tidak
satu pun dari perubahan tersebut yang tidak punya alasan sikon yang kuat.
Keberanian Umar untuk melakukan perubahan–perubahan hukum selalu berkompromi
dengan situasi dan kondisi, atau dalam bahasa Bernstein adalah terjadi
”hubungan dialektika” dengan
tetap berpijak pada kemaslahatan. Masa Umar Bin Khattab pula dapat kita lihat
sebagai awal mulainya proses penafsiran yang sedikit berbeda dengan apa yang
terjadi dengan apa yang ada pada masa Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar Siddiq.
Di masa ini penafsiran disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat yang ada
saat itu, namun tetap dengan memperhatikan makna tekstual yang dikandungnya.
3. 3. Struktur Sosial Hukum Islam Pada Masa Pembentukan (Masa
Khalifah Umar Bin Khattab)
Perubahan sosial pada dasarnya
adalah perubahan-perubahan mendasar dalam pola budaya, struktur, dan prilaku
sosial sepanjang tahun.[17] Dengan kata lain, perubahan
sosial adalah proses yang dilalui oleh masyarakat sehingga menjadi berbeda
dengan sebelumnya.
La Belle mengatakan
bahwa struktur dan prilaku sosial selalu dibentuk oleh tiga komponen budaya
yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Tiga komponen tersebut
adalah ideologi, teknologi, dan organisasi sosial. Ideologi adalah sebagai
pijakan dalam menentukan segala tindakan sosial, teknologi merupakan perangkat
yang dijadikan sebagai alat untuk pengembangan tindakan, sementara organisasi
sosial adalah sebagai kelompok yang memainkan peran kunci dalam menghubungkan
antara aktor dengan masyarakat yang lebih luas. [18] Dalam teori sosial, menghubungkan antara
aktor dan struktur/masyarakat disebut oleh Giddens[19] sebagai
teori ”Strukturisasi”. Menurur Giddens, ”Setiap riset dalam ilmu sosial atau
sejarah selalu menyangkut penghubungan tindakan (sering kali disinonimkan dengan
agen) dengan stuktur. Namun, dalam hal ini tak berarti
bahwa struktur ’menentukan’ tindakan atau sebaliknya”. Teori ini menurut
Bernstein, tujuan fundamentalnya adalah menjelaskan hubungan dialektika dan
saling pengaruh mempengaruhi antara agen(tindakan) dan masyarakat (struktur).[20]
Mengingat kebutuhan
masyarakat yang selalu menuntut adanya perubahan-perubahan, dalam arti tuntutan
serta kepentingannya yang baru, (karena perubahan waktu dan kondisi) di samping
tuntutan untuk memperoleh jawaban hukum yang lebih sesuai dan lebih mendekati
antara teori-teori hukum dan kenyataan riil (praktis), maka kondisi sepertinya
telah mendorong eksistensi hukum mengalami perkembangan dan perubahan senada
dengan perkembangan tuntutan kemasyarakatan.
Kenyataan
inilah yang pada akhirnya muncul berbagai pandangan pakar hukum Islam, Ahmad
Minhaji menyatakan bahwa mayoritas umat Islam, selalu dihadapkan pada tarik-menarik
antara dua kutub ekstrem, yaitu berupa wahyu yang tidak mengalami perubahan dan
realitas sosial yang cenderung berubah. Terkesan sekali adanya batas yang sangat kuat di antara
keduanya. Padahal dua kubu ini bila ditilik dari kacamata sejarah tidak akan
berjalan sendiri-sendiri.[22] Umat Islam akan selalu
berusaha untuk memahami inti pesan wahyu Allah dalam rangka untuk merespon
persoalan umat yang cenderung berubah. Hanya saja pemahaman tersebut telah
melahirkan sejumlah tawaran konsep sekaligus aplikasinya yang tidak selalu
sejalan. Tidak terkecuali dalam lapangan hukum Islam, baik pada tataran metodologis (ushûl al-fiqh)
maupun aplikasinya (al-fiqh).[23]
Melihat kondisi
hukum Islam pada masa khulafà’ al-Ràsyidûn, suatu masa yang memiliki
rentan waktu yang cukup pendek dengan kehidupan Rasulullah, sudah terjadi
pemikiran para sahabat nabi yang cukup progresif. Hal demikian disebabkan
karena perubahan situasi dan kondisi masyarakat yang sangat cepat. Termasuk
perkembangan kekuasaan Islam secara drastis, telah menuntut penyesuaian tingkah
laku manusia dengan kehendak Tuhan. Selain itu, proses perubahan penafsiran
yang terjadi mada masa setelah Rasulullah wafat itu, sebenarnya bukanlah
keinginan dari para khalifah semata yang ada pada saat itu namun tuntutan
masalah perubahan sosial masyarakatlah yang banyak mempengaruhi proses
penafsiran yang ada.
4.4.
Pemikiran Umar bin Khathab Dalam Kajian Sosial
Hukum Islam
Secara historis, Islam tidaklah
lahir dalam ruang kosong. Faktor sosial budaya memberi pengaruh yang begitu
besar dalam konstruksi hukum yang ditetapkan. Dalam hal inilah nampak bagaimana
ijtihad Umar merupakan satu gagasan awal yang mempunyai pijakan yang kuat. Bila
dilihat dari sisi originalitas, pertimbangan sosiologi hukum yang digunakan
oleh Umar merupakan sesuatu yang pertama. Hal ini bila berdasar bahwa sosiologi
hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analisis dan empiris
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial
lainnya. Dengan demikian, sosiologi hukum berupaya mengkaji sejauh mana hukum
itu mempengaruhi tingkah laku sosial dan pengaruh tingkah laku sosial terhadap
pembentukan hukum. Umar mempertimbangkan tingkah laku sosial sebagai dasar
dalam memutuskan hukuman. Bagaimanapun, keberanian Umar untuk mencoba keluar
dari teks merupakan keberanian yang begitu hebat pada masanya. Hal ini terkait
dengan realitas hukum pada masa itu yang masih begitu kuatnya nuansa
tekstualitas. Hal ini cukup beralasan karena jarak antara kekuasaan Umar dengan
Nabi tidaklah terlalu panjang. Dengan demikian, putusan ataupun perintah nabi
masih merupakan pijakan yang diaplikasikan secara apa adanya oleh umat Islam.
Pentingnya sosiologi hukum model Umar nampaknya telah member angin segar bagi para mujtahid dalam beristinbat. Dampak dari hal ini dapat dilacak dari munculnya mujtahid-mujtahid yang mencoba keluar dari teks dan mempertimbangkan aspek realitas sosial sebagai variabel penting. As-Syafi'i misalnya dengan munculnya apa yang disebut dengan qaul qadim dan qaul jadid dalam spektrum penikirannya. Qaul qadim dan qaul jaded membuktikan fleksibilitas fiqh dan adanya ruang gerak dinamis bagi perkembangan, perubahan dan sangat mempertimbangkan realitas ruang, waktu dan masyarakat. Pentingnya sosiologi dalam ijtihad hukum juga dapat dilihat dari konsep para mujtahid kontemporer. Sosok Umar dalam masa kontemporer menjadi sosok idola bagi para pemikir liberal dan progresif. Di sisi yang lain, pola ijtihad Umar juga banyak disitir oleh para pemikir Indonesia yang berpikiran "modern". Munawir Syazali, Nurcholish Madjid dan Atho' Mudzhar merupakan pemikir yang seringkali mengungkapkan gagasan-gagasan ijtihad Umar.
Berdasarkan penjelasan hasil ijtihad Umar Bin Khattab yang berkaitan dengan masalah sosial hukum Islam, maka dapat dilihat bahwa banyak hal yang berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah dan Masa Abubakar Siddiq sebagai Khalifah, dimana keduanya masih mempertahankan apa yang tersirat dalam teks ayat al-Quran, sementara penjelasannya masih sebatas apa yang terjadi pada saat itu tanpa merubah sedikit pun apa yang telah disebutkan dalam teks al-Quran. Namun, perubahan itu mulai terjadi di zaman kekhalifaan Umar Bin Khattab, hal ini dapat dipahami sebab tingkat kompleskitas dan keberagaman masyarakat pada masa Rasulullah berbeda dengan apa yang ada pada zaman Umar. Ketika Umar diangkat menjadi khalifah wilayah Islam sudah berkembang dan bertambah luas sampai ke Mesir sehingga masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Islam pada saat itu lebih beragam dan terkadang belum terjadi pada masa Rasulullah. Selain itu, dalam memutuskan masalah hokum Islam, Umar bin Khattab mengedepankan kemaslahatan ummat dan pertimbangan-pertimbangan yang didasari berdasarkan kemanusiaan. Maka tidak heran, jika Umar dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan ilmu fiqh/hukum Islam berbeda dengan apa yang terjadi pada zaman Rasulullah. Meskipun ada perbedaan dalam proses ijtihadnya, namun dapat disadari bahwa keputusannya tersebut tidak melenceng dari ajaran-ajaran Islam, melainkan lebih mengedepankan pada tingkat kebutuhan sosial kemasyarakatan yang ada pada saat itu.
[1] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori, Dan
Terapan, (Jakarta, PT. Bumi
Aksara, 2007),
h. 162.
[2] Roibin, Sosiologi Hukum Islam “Tela’ah Sosio Historis Pemikiran Imam Syafi’i”, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 38.
[3] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum
Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1993), h. 97.
[4] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum
Islam, h. 97.
[5] Lihat, Qs. al-Baqarah [2]: 229-230.
[6] M. Atho' Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara
Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 1998), h. 57.
[7] Qs. al-Maidah [5]: 38.
[8] Subhi Mahmashani, “Falsafat al–Tasyrì’ fì al–Islàm”,
terj. Adri Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung:
al–Ma’àrif, 1981), h. 69.
[9]Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,
h. 98.
[10]Subhi Mahmashani, “Falsafat al–Tasyrì’ fì al–Islàm”,
terj. Adri Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum dalam Islam, h. 43.
[11]Abdur Rahman al–Jaziri, Fiqh ’ala Mazahib al–Arba’ah, (Beirut:
Dar al–Ilmiah, 2003).
[12]”Perempuan yang berzina dan laki–laki yang berzina, maka deralah
tiap–tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah. Jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang–orang yang beriman.”
[13]Muhammad bin Ali al–Syaukani, Nail al–Authar Syarah Muntaqal
Akbar, Juz 7, (Mesir: al–Hulabi, 1347), h. 73.
[14] Subhi Mahmashani, “Falsafat al–Tasyrì’ fì al–Islàm”,
terj. Adri Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum dalam Islam.
[15] Lihat Qs. Yunus: 60.
[16] Ibn Qutaibah, al–Ma’àrif, (Mesir: Dar al–Ma’arif
al–Islamiyah, 1934), h. 149.
[17] Mudjia Raharjo, ”Perubahan Sosial di Mintakat Panglaju
Bandung Malang” (Jurnal STAIN Malang, Edisi No. 5, 1998), h. 75.
[18] Roibin, Sosiologi Hukum Islam
(Tela’ah Sosio Historis Pemikiran Imam Syafi’i), (Malang: UIN Malang Press,
2008), h. 18.
[19] Adalah seorang sosiolog Amerika,
nama lengkapnya adalah Anthony Giddens. Salah satu teori paling terkenal yang
diusungnya adalah mengintegrasikan agen–struktur yang dikenal dengan teori
”Strukturasi”.
[20] Geoge Ritzer–Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi
Modern, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 507–508
[21]Subhi Mahmashani, “Falsafat al-Tasyrì’ fì al-Islàm”,
terj. Adri Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung: al-Ma’àrif,
1981), h. 160.
[22] Ahmad Minhaji, Masa Depan dan Problem Metodologi Studi
Islam (Ulul Albab, Vol. III, No. 1, 2001), h. 28
[23]Zafar Ishaq Anshari, “The Contribution of The and The Prophet to
The Development of Islamic Fiqh” ( Journal of Islamic Studies 3, 1992), h. 41-71.