Politik Hukum
Islam Dalam Undang-Undang Kewarisan Dan Undang-Undang Perwakafan
Hukum Islam telah ada di
kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di nusantara ini.
Menurut pendapat yang disimpulkan oleh seminar masuknya Islam ke Indonesia yang
diselenggarakan di Medan tahun 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad
pertama hijriyah atau pada abad ke-7/ke-8 Masehi. Pendapat lain mengatakan
Islam masuk ke nusantara ini pada abad ke-13 Masehi.[1] Sejak saat itu Islam mulai dikembangkan dan diterapkan
diseluruh wilayah Indonesia.
Berbagai masalah mengenai hukum Islam mulai dikenal dan
diberlakukan sejak masuknya Islam di Indonesia, misalnya masalah perkawinan dan
kewarisan. Mengenai masalah hukum kewarisan di Indonesia tentu hal ini tidak pernah
luput dari sejarah dan kebiasaan yang telah terbangun dimasing-masing daerah di
Indonesia. Setiap daerah, wilayah, dan suku kampung sudah pasti telah memiliki
atau menjalankan suatu kebiasaan dalam hal warisan. Ditambah lagi dengan
keanekaragaman suku bangsa di Indonesia ini, apabila dicari dan diteliti tentu
akan didapatkan berbagai metode ataupun cara dari tiap-tiap daerah yang
berbeda-beda dalam hal pembagian waris. Ini bisa didapatkan dari ciri-ciri
tentang suku budaya di indonesia ini yang beragam.
Dari berbagai keanekaragaman tersebut maka
hiduplah sistem hukum kewarisan adat. Hal ini dilatarbelakangi oleh lingkungan
hukum adat seperti matrinial[2] di
Minangkabau, patrinial[3] di
Batak, Bilateral[4] di Jawa dan masih ada
kebisaaan hukum adat lainnya tentang waris[5].
Ketika memasuki zaman penjajahan belanda, istilah waris mulai digambarkan dan
diatur di Indonesia. Hal ini sesuai dengan yang tercantum pada Burgelijk
Wetboek (BW) tentang penundukan diri terhadap hukum eropa. Maka BW itu hanya
berlaku bagi beberapa ketentuan:[6]
1.
Orang-orang eropa
dan mereka dipersamakan dengan orang eropa;
2.
Orang timur asing
Tionghoa;
3.
Orang Timur Asing
lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada hukum eropa.
Tidak hanya itu saja, di Indonesia yang sebagian besar penduduknya
bergama Islam juga mengenal
tentang sistem hukum kewarisan Iislam.
Sistem kewarisan ini diambil dari berbagai mazhab yang berkembang dalam
Islam. Dari ajaran mazhab
Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Ajaran Syiah, dan Ajaran Hazairin. Perumusan hukum
waris dewasa ini dimasukan dalam lingkup hukum keluarga[7],
karena didalam hukum keluarga selain perkawinan, masalah waris ini merupakan
bagian yang tidak bisa lepas dari masalah yang timbul pada keluarga. Maka bisa
dikatakan yang mencerminkan sistem kekeluargaan didalam masyarakat itu tidak
hanya hukum yang mengatur tentang perkawinan, tetapi hukum waris termasuk
didalamnya[8].
Karena didalam waris membutuhkan bukti seseorang itu keturunan yang sah atas orang
lain[9].
Adapun hukum ini hanya diperuntukan bagi orang-orang indonesia yang beragama
islam[10].
Adapaun hukum waris yang berlaku di Indonesia sekarang ini telah
diperuntukan sesuai dengan kebutuhan dari warga bangsa Indonesia yang terbagi
menjadi :
1.
Hukum Waris Islam Khusus untuk orang Islam;
2.
Hukum Waris Adat untuk orang Non-Islam;
3.
Hukum Waris Barat untuk orang Barat dan Timur
Asing.
Apabila timbul persengketaan ataupun perselisihan dalam menentukan
pengadilan didalam pembagian waris, maka ada dua Pengadilan :
2.
Pengadilan Negeri bagi warga negara RI mereka yang non Muslim.
Hukum kewarisan Islam pada
dasarnya memang telah jelas aturannya dalam al-Quran, namun masih belum
maksimal pelaksanaannya saat Islam masuk di daratan Indonesia, hal ini
dipengaruhi oleh kekuatan hukum adat yang masih sangat diyakini kebenarannya di
Indonesia. Sistem pembagian warisan ataupun proses penyelesaian sengketa
warisan mulai mendapatkan kedudukannya dalam hukum Positif di Indonesia sejak
berlakunya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yang telah menjadi dasar pelaksanaan permasalahan warisan di Peradilan
Agama selain Al-Quran dan Sunnah.
Selain masalah warisan salah
satu masalah yang telah mendapatkan kedudukan dalam hukum positif di Indonesia
juga adalah masalah perwakafan. Dimana masalah wakaf menjadi salah satu hal
yang penting demi perbaikan kepentingan masyarakat umum, khususnya dalam hal
pemisahan harta benda miliknya dengan melembagakan bagian lainnya yang dapat
dimanfaatkan demi kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya untuk
selamanya.
Wakaf sebagai perbuatan hukum
sudah lama melembaga dan dipraktikkan di Indonesia. Diperkirakan lembaga wakaf
ini sudah ada sejak Islam masuk ke nusantara ini, kemudian berkembang seiring
dan sejalan dengan perkembangan agama Islam di Indonesia. Perkembangan wakaf
dari masa ke masa ini tidak didukung oleh peraturan formal yang mengaturnya,
praktik perwakafan selama itu hanya berpedoman kepada kitab-kitab fikih
tradisional yang disusun beberapa abad yang lalu, banyak hal sudah tidak
memadai lagi. Pengaturan tentang sumber hukum, tata cara, prosedur, dan praktik
perwakafan dalam bentuk peraturan masih relatif baru, yakni sejak lahirnya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria. [12]
Lahirnya Undang-Undang Agraria
sebenarnya sudah memberikan wadah yang memadai untuk pengaturan masalah wakaf
di Indonesia, namun pada saat itu dirasa masih belum cukup. Dalam rentan waktu
yang cukup lama sejak tahun 1960, barulah pada tahun 1991 lahirlah Kompilasi
Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 yang salah satu
didalamnya membahas tentang masalah perwakafan di Indonesia yaitu pada Buku
III. KHI kemudian dikuatkan lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf, hingga akhirnya wakaf mendapatkan dasar hukum yang kuat
terutama dalam memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Islam di Indonesia
yang bermasalah dengan perwakafan. Beberapa aturan inilah yang menjadi dasar
hukum pelaksanaan perwakafan di Indonesia.
Berdasarkan beberapa hal inilah
maka dalam makalah ini akan melihat bagaimana politik hukum Islam dalam
Undang-Undang kewarisan dan Undang-Undang perwakafan.
B. PEMBAHASAN
1.
Kedudukan Hukum Kewarisan Islam Dalam
Hukum Positif di Indonesia
Dalam
sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama pada masa penjajahan, walaupun
sejarah mencatatkan bahwa kekejaman penjajahan Belanda di Indonesia cukup di
rasakan rakyat terutama oleh kalangan umat Islam yang tidak diberikan ruang
gerak yang cukup namun ada salah satu yang berhasil didirikan oleh pemerintahan
Belanda untuk melindungi hak-hak masyarakat Muslim yaitu pendirian Peradilan
Agama. Pada Tahun 1882, melalui Staatsblad No. 152 Tahun 1882, tentang
pendirian Radd Agama (yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama) untuk Jawa dan
Madura. Dalam Staatsblad tahun 1882 No. 152 ini ditetapkan bahwa yang menjadi
kewenangan absolutya adalah: [13]
a.
Perkara-perkara yang berhubungan dengan pernikahan,
segala jenis perceraian, mahar, nafkah dan perwalian.
b.
Warisan.
c.
Wakaf.
Kemudian
dengan adanya Staatsblad tahun 1937 No. 116, yang mulai berlaku tanggal 1 April
1937, kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi. Sejak saat itulah kekuasaan
Pengadilan Agama hanya sebatas pada:
a.
Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
b.
Perkara-perkara tentang; nikah, talak, rujuk, dan
perceraian antara orang-orang beragama Islam yang memerlukan hakim Agama Islam.
c.
Memberi keputusan perceraian.
d.
Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya ta’likut
thalak sudah ada.
e.
Perkara mahar.
f.
Perkara tentang
keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan oleh suami.
Dengan
demikian perkara-perkara seperti; Perselisihan soal warisan, Pembagian harta
warisan, wakaf, dan hadhanah (pemeliharaan anak) dan lain sebagainya yang
sebelum tanggal 1 April 1937 dapat diurus dan diputus oleh Pengadilan Agama
menjadi kompeten Pengadilan Negeri. Dalam prakteknya Hakim Pengadilan Negeri
meminta fatwa kepada Hakim Pengadilan Agama Islam hal-hal menyangkut dengan cara-cara
membagi harta warisan dan lain-lain yang erat hubungannya, bagi umat Islam, dan
kemudian hakim Pengadilan Negeri-lah yang mengeluarkan keputusannya.
Setelah Indonesia merdeka
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957
tentang Pembentukan Mahkamah Syariah (Peradilan Agama) dan Mahkamah Syariah
Provinsi untuk seluruh Indonesia, diluar Jawa, Madura dan Kalimantan
Selatan-Timur. Dalam Peraturan Pemerintah itu ditetapkan salah satu wewenang
peradilan agama adalah Kewarisan. [14] Meskipun masalah kewarisan sudah menjadi
salah satu wewenang dari peradilan agama yang ada pada saat itu, namun di
pengadilan-pengadilan agama yang ada diluar Jawa dan Madura yang telah jelas
berwenang menyelesaikan perkara waris, tidak banyak mengajukan perkara waris di
Pengadilan Agama, karena urusannya lebih banyak diselesaikan di luar
pengadilan.
Lahirnya
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada prinsipnya telah
mengakhiri keragaman nama dan wewenang peradilan agama sebelum undang-undang
ini berlaku. Dalam UU ini ditegaskan wewenang peradilan agama pada pasal 49
yaitu; “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: [15]
a.
Perkawinan;
b.
Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam;
c.
Wakaf dan shadaqah.
Pasal
ini menegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam di seluruh Indonesia,
penyelesaiannya menjadi wewenang Peradilan Agama. Tentamg hukum dalam menyelesaikan
masalah kewarisan itu adalah hukum Islam tentang kewarisan atau yang disebut
dengan hukum kewarisan Islam atau faraid, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam menjadi hukum positif di Indonesia,
khususnya bagi umat Islam.
Hukum
kewarisan yang dinyatakan sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia pada
saat itu belum berbentuk perundang-undangan tetapi baru dalam bentuk kitab
fikih bab Faraid. Hal ini berarti
bahwa para hakim dalam memberikan pertimbangan waktu menetapkan keputusan dalam
peradilan, merujuk kepada kitab fikih faraid
tersebut. [16] Kitab fikih yang
dimaksud dalam masalah ini adalah kitab fikih yang bersumber dari al-Quran dan
Hadis. Dalam perkembangannya fikih di Indonesia pada umumnya adalah mengikuti
mazhab Imam Syafi’i, tanpa menutup adanya aliran fikih atau mazhab lain,
meskipun kecil.
Meskipun
kitab fikih khusunya tentang faraid
telah berkembang di Indonesia sebagai acuan ataupun dasar hukum dalam peradilan
agama, namun dirasa masih belum cukup jika belum ada aturan yang resmi dalam
negara yang mengatur tentang masalah warisan secara sah dan diakui di Indonesia
sebagai salah satu landasan hukum dalam peradilan Agama.
Hal
inilah yang mendorong lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, yang
menjadi salah satu sumber hukum kewarisan Islam dalam peradilan di Indonesia
selain al-Quran dan Hadis. Dalam perancangannya sebagai sebuah aturan yang
menjadi rujukan peradilan agama ini, setelah melalui proses yang cukup panjang
yang pembentukan dan penyusunannya telah dimulai tahun 1983 yakni setelah
penandatanganan SKB oleh ketua Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan
peradilan di Indonesia dan Menteri Agama RI, guna keseragaman dan rujukan
hakim-hakim pada pengadilan agama. Panitia bekerja selama kurang lebih lima
tahun dan pada tahun 1988 rumusan KHI siap untuk diajukan kepada pemerintah
dalam rangka proses menuju legalitas sebuah aturan hukum perundang-undangan.
Selama 3 tahun lebih dalam masa penantian menunggu tindak lanjut rancangan
aturan KHI tersebut, belum juga ada titik terangnya. [17] Dalam proses yang
begitu panjang ini antara Mahkamah Agung bersama dengan Menteri Agama RI proses
penyusun rancangannya juga melibatkan ulama, pakar fikih, ahli hukum dan pemuka
masyarakat lainnya berhasil mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi
Hukum Islam yang mengatur urusan perkawinan, kewarisan dan perwakafan ini
disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang dikeluarkan
pada tanggal 10 Juni 1991. Instruksi Presiden ini diiringi pula oleh Keputusan
Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 yang meminta untuk sedapat mungkin menerapkan
Kompilasi Hukum Islam di peradilan agama yang ada di seluruh wilayah Indonesia. [18]
Kompilasi
Hukum Islam meskipun telah berlaku sebagai rujukan dan pedoman di pengadilan
Agama dalam berperkara di pengadilan yang berkaitan dengan hukum Islam khusunya
masalah kewarisan Islam, namun oleh banyak pihak KHI tidak diakui sebagai hukum
perundang-undangan. Setidaknya dalam proses peradilan di Indonesia khusunya
tentang masalah kewarisan Islam yang belum memiliki dasar hukum berupa aturan
baku yang berlaku, telah mendudukan masalah kewarisan Islam menjadi bagian dari
hukum positif di Indonesia. Kalau dulu hukum kewarisan Islam masih ada dalam
kitab-kitab fikih yang tersusun dalam bentuk ajaran, maka saat ini kompilasi
tersebut telah tertuang dalam format perundang-undangan. Hal ini dlakukan untuk
mempermudah hakim di Pengadilan Agama dalam merujuknya. Dalam Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia khusus aturan yang mengatur tentang Kewarisan terdapat dalam
Buku II Hukum Kewarisan, terdiri dari 23 pasal, dari pasal 171 sampai dengan
pasal 193.
Hukum
Kewarisan dalam sistem politik hukum Islam di Indonesia telah diperjuangkan
untuk menjadi bagian yang terpenting dalam aturan perundang-undangan yang ada
di Indonesia, hingga menjadi bagian dari hukum positif, meskipun sebenarnya
telah jelas aturannya di al-Quran dan hadis, namun hal itu dirasa perlu untuk
membentuk suatu aturan sebagai penjabaran dari apa yang ada dalam al-Quran dan
hadis maupun yang ada dalam kitab-kitab fikih faraid. Banyak hal yang berbeda tentang masalah kewarisan yang ada
dalam kitab-kitab fikih dengan apa yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam, hal
inilah yang memposisikan bahwa KHI merupakan bentuk baru Hukum Kewarisan Islam,
namun ada poin-poin krusial yang masih merupakan bentuk yang utuh dan sama
dengan apa yang ada dalam aturan hukum Islam dalam kitab fikih.
Sesungguhnya di dalam KHI ini masih ada kekurangan yang harus disempurnakan
dalam eksistensinya sebagai hukum positif di Indonesia. Selain itu hal lain
yang perlu dikaji adalah mengenai produk hukum yang memayungi KHI itu sendiri.
Secara yuridis formal sebuah hukum tidak terlalu mengikat bila KHI itu hanya
dipayungi oleh Instruksi Presiden, oleh karena itu bila ingin menjadi hukum
positif kiranya KHI harus dijadikan yuridis formal undang-undangnya.
- Kedudukan Wakaf Dalam Hukum Positif di
Indonesia
Pengaturan
wakaf sebelum datangnya kaum penjajah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan
ajaran Islam yang bersumber dari kitab fikih bermazhab Syafi’i. Oleh sebab itu
masalah wakaf ini telah sangat erat kaitannya dengan masalah sosial dan adat di
Indonesia, maka pelaksanaan wakaf itu disesuaikan dengan hukum adat yang
berlaku di Indonesia, dengan tidak mengurangi nilai-nilai ajaran Islam yang
terdapat dalam wakaf itu sendiri. Pelaksanaan wakaf pada saat itu terfokus pada
hal-hal yang berhubungan dengan ibadah dan sangat sedikit yang berhubungan
dengan masalah sosial lainnya, belum dikelola dengan manajemen yang baik.
Pada
masa penjajahan belanda dan jepang masalah perwakafan meskipun belum secara
spseifik disebutkan dalam peraturan yang dikeluarkan saat itu namun setidaknya
masalah perwakafan di Indonesia tida dilarang untuk dilaksanakan demi
kepentingan ibadah khusus bagi yang beragama Islam. Salah satu aturan yang
lahir di masa penjajahan yang secara spesifik mengatur tentang masalah
perwakafan di Indonesia adalah Surat Edaran dari Sekretaris Governemen tanggal
4 Januari 1931 Nomor 1361/A yang dimuat dalam Bijblad 1931 Nomor 125/A tentang Toezich van Regeering op Muhammadaansche
Bedehuizen, Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat edaran ini dimuat yang
pada garis besarnya agar Bijblad tahun 1905 Nomor 6169 supaya diperhatikan
dengan baik dan dengan sungguh-sungguh. Supaya tertib dalam pelaksanaan wakaf,
maka izin dari Bupati tetap diperlukan dan Bupatilah yang menilai apakah wakaf
yang akan dilaksanakan itu sesuai dengan maksud dari pemberian wakaf dan
bermanfaat untuk umum. [19]
Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal
17 Agustus 1945, pengaturan wakaf sebagaimana yang pernah ada aturannya di masa
penjajahan masih tetap berlaku. Sejak terbentuknya Kementerian Agama pada
tanggal 3 Januari 1946, urusan tanah wakaf menjadi urusan Kementerian Agama
bagian D (Ibadah Sosial). Selanjutnmya Kementerian Agama pada tanggal 8 Oktober
1956 mengeluarkan surat edaran Nomor 5/D/1956 tentang Prosedur Perwakafan
Tanah. Peraturan ini pada dasarnya mempertegas aturan-aturan yang telah ada
pada masa kolonial belanda yang dirasakan masih belum memberikan kepastian
hukum tentang tanah-tanah wakaf di Indonesia. [20]
Lahirnya
Undang-Undang No, 5 Tahun 1960 tentang Agraria telah memperkokoh eksistensi
wakaf di Indonesia, misalnya dalam pasal 49 yang menjelaskan tentang pelaksanaan perwakafan tanah milik dilindungi
dan diatur dengan peraturan pemerintah. Sehingga dengan mewujudkan kepastian
hukum dari undang-undang ini maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dalam PP ini dikemukakan
bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat digunakan sebagai salah
satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang
beragama Islam. Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka semua
peraturan yang berhubungan dengan aturan
perwakafan yang pernah ada apabila bertentangan maka dianggap tidak berlaku
lagi. [21]
Eksistensi
perwakafan di Indonesia diperkuat lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang telah menegaskan salah satu wewenang peradilan
agama adalah tentang masalah perwakafan. Kemudian diperkuat lagi dengan
lahirnya Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 yang
disahkan pada Juni 1991, yang salah satu pokok pembahasan aturan didalamnya
adalah masalah perwakafan di Indonesia. Kemudian pada diperkuat lagi dengan
lahirnya undang-undang tentang wakaf yang secara khusus membahas tentang
masalah wakaf didalamnya, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, dalam undang-undang ini aturan tentang wakaf lebih terinci dalam
pembahasannya ada berbagai hal penting yang dibahas didalamnya yaitu tentang
pengembangan wakaf, terutama tentang masalah nadir, harta benda yang di
wakafkan (mauquf bih), peruntukan
harta wakaf (mauquf alaih), serta
perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia dan juga tentang wakaf tunai dan
produktif.
Praktik wakaf yang dilaksanakan di Indonesia pada dasarnya masih dilaksanakan secara konvensional yang memungkinkan rentan terhadap berbagai masalah dan tidak sedikit yang berakhir di pengadilan. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya penyimpangan terhadap benda-benda wakaf yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, dan juga sudah menjadi rahasia umum ada benda-benda wakaf yang diperjualbelikan. Keadaan ini tidak hanya berdampak buruk kepada perkembangan wakaf di Indonesia, tetapi merusak nilai-nilai luhur ajaran Islam yang semestinya harus dijaga kelestariannya sebab ia merupakan bagian dari ibadah kepada Allah swt. Menyadari tentang keadaan ini, para pihak yang berwenang dalam hal ini pemerintah telah memberlakukan beberapa peraturan tentang wakaf untuk dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Namun peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan itu dianggap masih belum memadai dalam menghadapi arus globalisasi saat ini, maka diperlukan peraturan baru tentang wakaf yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini. [22]
Berdasarkan
alasan perkembangan zaman dan perbedaan situasi dan kondisi inilah maka
lahirlah Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang diperuntukkan
untuk mengatur masalah perwakafan di Indonesia khusunya bagi yang beragama
Islam. Sehingga dengan adanya undang-undang ini kedudukan sistem perwakafan di
Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum
kepada wakif baik bagi kelompok perorangan, organisasi maupun badan hukum yang
mengelola benda-benda wakaf.
Pelaksanaan
wakaf di Indonesia jika dibandingkan dengan pelaksanaan di negara-negara Islam
masih jauh ketinggalan. Selama ini pelaksanaan wakaf di Indonesia
masih berorientasi pada sarana peribadatan seperti masjid, sekolah, kuburan dan
sarana keagamaan lainnya. Pengelolaan wakaf di beberapa negara Islam seperti
Mesir, Arab Saudi, Qatar, Turki sudah dilaksanakan dengan manajemen yang baik,
wakaf tidak lagi terfokus pada sarana peribadatan, tetapi ruang lingkupnya telah
diperluas yakni seluruh harta kekayaan baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, yang berwujud dan tidak
berwujud, juga sudah dikenal dengan wakaf uang, logam mulia, surat berharga,
kenderaan transportasi, hak kekayaan intelektual, hak sewa, hak pakai dan
sejenisnya. Negara-negara Islam telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk
melindungi dan memberi rasa aman kepada para pengelola wakaf dengan pengawasan
yang cukup ketat. [23]
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf di Indonesia ini pada
prinsipnya diharapkan kepada semua pihak dapat mengembangkan wakaf dalam
berbagai aspek, tidak hanya dalam aspek pemikiran, tetapi juga berusaha membuat
inovasi dan langkah terobosan dalam mengelola harta wakaf agar wakaf dapat
dirasakan manfaatnya secara luas bagi masyarakat. Lahirnya Undang-Undang ini
tidak lepas dari peranan dan keterlibatan pemerintah dalam hal ini Departemen
Agama RI, pemerintah telah memberikan legalitas terhadap sistem perwakafan di
Indonesia yang menjadi dasar rujukan dan landasan hukum dalam menyelesaikan
masalah wakaf di Indonesia.
Meskipun
perwakafan di Indonesia telah memiliki legalitas dalam aturan
perundang-undangan dan menjadi salah satu hukum positif di Indonesia, namun
dalam pelaksanaannya masih belum maksimal dalam menyelesaikan persoalan wakaf di Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari masih banyaknya harta benda yang telah diwakafkan oleh wakif seperti tanah
masjid, sekolah, panti asuhan dan pekuburan masal masih belum didaftarkan secara
sah sesuai dengan aturan perwakafan di
Indonesia. Hal ini dipengaruhi
oleh faktor pemahaman wakaf bangsa Indonesia Masyarakat muslim Indonesia
berwakaf dalam bentuk yang berbeda-beda dan dengan nama yang berbeda pula. Ada
yang berwakaf tanah, kebun, rumah, bangunan dan benda mati lainnya seperti
mushaf Al-Qur’an, sajadah, dan lain sebagainya. Motivasi mereka untuk berwakaf
pun ternyata berbeda-beda. Paling tidak, ada dua motivator masyarakat Indonesia
untuk berwakaf yaitu sebagai berikut:
a. Aspek ideologis
normative bahwa masyarakat muslim Indonesia memahami Wakaf adalah suatu ibadah
yang dianjurkan oleh agama dan merupakan perwujudan dari keimanan seseorang.
Untuk itu dalam ajaran Islam, harta merupakan asset yang diatur oleh agama
tergantung bagaimana mereka mampu mentasarufkan harta tersebut atau tidak.
b. Aspek
sosial-ekonomis wakaf itu digunakan dalam hal-hal yang bersifat darurat dan
kebutuhan yang sangat mendasar. Akan tetapi untuk pengembangan selanjutnya
dibutuhkan peran wakaf. Dimana Ia
menjadi modal untuk pengembangan dan mengatasi masalah sosial dan ekonomi
kemasyarakatan secara umum khususnya masyarakat Indonesia. Pemahaman mayoritas
mayarakat muslim Indonesia terhadap wakaf banyak dipengaruhi oleh mazhab
Syafiiyyah.
C. KESIMPULAN
Dari
uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kedudukan
Kewarisan Islam Dalam Hukum Positif di Indonesia pada prinsipnya telah ada
sejak zaman Islam masuk ke nusantara ini, namun belum ada aturan yang
mengaturnya secara jelas dan tegas, sehingga dengan lahirnya Undang-Undang No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ini
menunjukan adanya suatu kepastian hukum bagi masyarakat Islam terutama dalam
hal penyelesaian masalah kewarisan Islam, yang sebelumnya masih menggunakan
kitab-kitab fikih yang berlandaskan al-Quran dan hadis.
2. Kedudukan Wakaf dalam Hukum positif di
Indonesia, memang telah diatur sejak masa penjajahan belanda di Indonesia,
namun memang diakui masih belum memberikan kepastian hukum secara jelas
terhadap sistem perwakafan di Indonesia, barulah sejak adanya Undang-Undang No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, KHI dan Undang-Undang No 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, kedudukan wakaf di Indonesia menjadi sangat kuat dalam sistem
hukum di Indonesia. Meskipun saat ini dapat diakui memang aturannya tidak
berjalan secara maksimal dalam masyarakat, sebab masih banyak benda-benda yang
telah diwakafkan namun masih belum tercatat secara jelas dan sah sesuai dengan
aturan yang berlaku, bahkan banyak benda-benda wakaf yang pada akhirnya menjadi
sengketa para ahli waris yang ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghafur Ansari, Peradilan Agama Di
Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006, Cet. I; (Yogyakarta: UII Press, 2007).
Abdul Hali, Peradilan Agama
Dalam Politik Hukum Islam di Indonesia, Cet. 2; (Jakarta: Rajawali Press, 2002).
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. 4; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014).
Ali Afandi, Hukum Keluarga, Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), (Jakarta:
Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada).
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 3; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008).
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2004).
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet. 2; (Bandung: PT Al Ma’arif, 1981).
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum
Kewarisan Islam Di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2011).
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
Al-Quran dan Hadis, (Jakarta:
Tintamas, 1981).
Mardani, Hukum Kewarisan
Islam Di Indonesia, Cet. 1; (Jakarta: Rajawali Press, 2014).
Muchsin, Masa Depan Hukum
Islam Di Indonesia, Cet. I; (Jakarta: BP IBLAM, 2004).
M.Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam dengan kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW), (Jakarta:
Sinar Grafika, 2000).
M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan,
Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama.
Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut
Burgelijk Wetboek, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983).
[1] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2004), h. 2.
[2]
Matrinial disini adalah setiap orang selalu menghubungkan dirinya kepada ibunya
dan seterusnya keatas kepada ibunya ibu dan karenanyaa semua mereka menganggap
termasuk dari clan ibunya.
[3]
Pada prinsipnya dimana seseorang menghubungkan dirinya kepada ayah dan
seterusnya kepada ayahnya ayah sampai suatu titik nenek moyangnya yang
laki-laki.
[4]
Setiap orang merasa mempunyai hubungan baik melalui garis bapak maupun garis
ibu, disini tidak terbentuk clan ataupun suku.
[5]
M.Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan
kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar
Grafika, 2000), h. 1-2.
[6]
Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgelijk Wetboek, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 10.
[7]
M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 93.
[8]
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadis, Jakarta:
Tintamas, 1981, h.1
[9]
Ali Afandi, Hukum Keluarga, Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek), Jakarta: yayasan badan penerbit gadjah mada, h. 52
[10]
Hal ini berdasarkan pada pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian
dijelaskan dan dijabarkan pada Ketetapan MPRS nomor II/1961 Lampiran A Nomor 34
junto GBHN 1983.
[11]
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang mengatakan bahwa
tidak adanya lagi pilihan hukum bagi warga yang bersengketa itu beragama Islam
atau dengan bisa dikatakan penghapusan tentang pilihan hukum bagi pembagian
warisan seperti terdapat pada Undang-Undang No. 7 tahun 1989.
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam
Di Indonesia, Cet. 4; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 235-236.
[14] Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 3; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), h. 325-326.
[17] Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia,(Jakarta:
Kencana, 2011), h. 53.
[19] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam
Di Indonesia, Cet. 4; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 250.
[22] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam
Di Indonesia, Cet. 4; (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 235-236.