1. Pengertian Keluarga
Menurut M.
Munandar Soelaeman dalam bukunya yang berjudul :”Ilmu Sosial Dasar Teori dan
Konsep Ilmu Sosial”, mengartikan : “Keluarga diartikan sebagai suatu kesatuan
social terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk social, yang ditandai
adanya kerja sama ekonomi”. Selanjutnya menurutnya lagi “fungsi keluarga
berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, menolong, melindungi atau
merawat orang-orangtua (jompo)”. [1]
Sementara
itu para ahli antropologi melihat: “Keluarga sebagai suatu kesatuan social
terkecil yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk social”. Ini didasarkan
atas kenyataan bahwa; Sebuah keluarga adalah suatu satuan kekerabatan yang juga
merupakan satuan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya kerjasama ekonomi,
dan mempunyai fungsi untuk berkembangbiak, mensosialisasikan atau mendidik anak
dan menolong serta melindungi yang lemah khususnya merawat orang-orangtua
mereka yang telah jompo. [2]
Dari dua
definisi diatas, terdapat persamaan yakni keluarga terdiri dari suatu kesatuan
terkecil dari manusia sebagai makhluk social dan bekerja sama di dalamnya,
mendidik anak-anaknya atau merawat orang-orangtuanya.
Selanjutnya
Wahyu mengatakan: “dalam bentuk yang paling dasar, sebuah keluarga terdiri atas
seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak mereka
yang biasanya tinggal dalam satu rumah yang sama”. [3] Keluarga adalah terdiri dari ayah, ibu, dan
anak-anak yang belum menikah. Selanjutnya menurut Arifin, keluarga adalah suatu
kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah,
perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama. [4]
Sakinah,
kata sakinah secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kedamaian. Sakinah
atau kedamaian itu didatangkan Allah kedalam hati para Nabi dan orang-orang
beriman agar tabah dan tidak gentar menghadapi rintangan apapun. Jadi
berdasarkan arti kata sakinah pada ayat-ayat al-Quran yang banyak disebutkan,
maka sakinah dalam keluarga dapat dipahami sebagai keadaan yang tetap tenang
meskipun menghadapi banyak rintangan dan ujian kehidupan. [5]
Beberapa
definisi di atas tampak bahwa keluarga sakinah adalah sebuah proses penciptaan atau pendirian sebuah
kelompok kecil atau rumah tangga dalam sebuah ikatan perkawinan yang tinggal
secara bersama dengan harapan mampu hidup bersama dalam kedamaian dan berani
menghadapi rintangan apapun yang terjadi dalam rumah tangga.
2. Fungsi keluarga
Secara
singkat fungsi keluarga menurut Prof. Wahyu ada 9 yaitu; Biologis, Sosialisasi
Anak, Afeksi, Edukatif, Religus, Protektif, Rekreatif, Ekonomis, dan Penentuan
Status. Selain itu Keluarga mempunyai empat fungsi, yaitu: [6]
a. Fungsi seksual yang membuat
terjadinya ikatan di antara anggota keluarga, antara laki-laki dan perempuan.
Kedua jenis kelamin ini secara alami berada pada posisi yang saling
membutuhkan.
b. Fungsi kooperatif untuk
menjamin kontinuitas sebuah keluarga.
c. Fungsi regeneratif dalam
menciptakan sebuah generasi penerus secara estafet.
d. Fungsi genetik untuk
melahirkan seorang anak dalam rangka menjaga keberlangsungan sebuah keturunan.
3. Istilah Keluarga Dalam
Al-Qur’an.
Dalam
Al-Qur’an istilah keluarga disebut dengan Ahlun, sebagaimana terdapat
dam surah At-Tahrim ayat 6 yang berbunyi: [7]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Terjemahnya:
Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Menjaga keluarga yang
dimaksud dalam butiran ayat di atas adalah dengan cara mendidik, mengajari,
memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah, serta
melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Selain itu keluarga dapat diartikan
dzawil qurba sebagaimana terdapat dalam surah Al-Isra ayat 26 yang berbunyi : [8]
وَآتِ
ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ
تَبْذِيرًا
Terjemahnya:
Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah
kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Islam
merupakan agama yang pertama kali memberikan perhatikan terhadap keluarga sebagai elemen social yang
pertama. Sementara orangtua memberikan pendidikan, pemeliharaan dan pengawasan
yang terus menerus kepada anak-anaknya,
yang akan mewarnai corak kepribadian sang anak.
Pendidikan
agama Islam merupakan pendidikan yang memberikan pengajaran, bimbingan terhadap
anak dalam ajaran agama Islam, sebagaimana yang dikemukakan; “Pendidikan agama
Islam adalah segala usaha yang berupa pengajaran, bimbingan dan asuhan terhadap
anak agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran agamanya, serta menjadikannya sebagai way of life (
jalan kehidupan) sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun social
masyarakat”.[9]
Menurut
pengertian lain, pendidikan agama Islam adalah usaha sadar generasi tua
mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi
muda agar kelak menjadi manusia musli yang bertaqwa kepada allah s.w.t, berbudi
pekerti luhur, dan berkepribadian utuh yang memahami, mengahayati dan
mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupannya.[10]
4. Fondasi Dan Bangunan Keluarga
Fondasi
ideal dan cita perkawinan dalam Islam sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. Ar-Rum
ayat 21. [11]
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ
لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُون
Terjemahnya:
Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Kandungan
ayat ini menggambarkan bahwa perkawinan dalam Islam idealnya melahirkan jalinan
ketenteraman (sakinah), rasa kasih dan sayang sebagai suatu ketenangan
yang dibutuhkan oleh masing-masing pasangan. Oleh karena itu perkawinan dalam
Islam diharapkan dapat terciptanya keluarga sakinah, mawaddah dan
rahmah (keluarga samara).
Pertama, terciptanya sakinah, yang berarti
ketenangan dan ketenteraman. Setiap pasangan suami istri yang menikah, tentu
sangat kebahagiaan hadir dalam kehidupan rumah tangga mereka, ada ketenangan,
ketenteraman, dan kenyamanan. Harapan ini dapat menjadikan rumah tangga sebagai
surga bagi para penghuninya, baik secara lahir maupun batin. Kebahagiaan dalam
kehidupan keluarga bukanlah sesuatu yang tidak mungkin diraih, sebab
kebahagiaan merupakan hasil usaha para anggota keluarga, terutama suami istri
dan para anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu, hanya dengan pasangan suami
istri dan seluruh anggota keluarga dapat meraih dan menikmati manisnya cinta
dan indahnya ketenteraman. [12]
Kata
sakinah itu sendiri berasal dari kata sakanah yang berarti diam atau
tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya pisau dinamai sikkin
karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak
bergerak yang sebelumnya ia merontak. Kata sakinah terdapat lebih 45 kali dalam
al-Quran dalam berbagai bentuk derivasinya. Beberapa turunan kata ini antara
lain seperti litaskunu, tuskanu, askantu, yuskinu
dan lainnya. Secara umum, kata ini bermakna tenang, tenteram, tidak bergerak,
diam, kedamaian, mereda, hening, dan tinggal. Dalam al-Quran kata ini
menandakan ketenangan dan kedamaian secara khusus, yaitu kedamaian dari Allah swt.,
yang ditanamkan dalam qalbu. [13]
Sakinah
dalam perkawinan adalah ketenangan yang kreatif dan aktif. Lebih menarik lagi,
jika memaknai sakinah ini berdasarkan surat Ar-Rum ayat 21 dan Al-A’rof ayat
189. Adapula ahli tafsir yang menafsirkan bahwa litaskunu ilaiha pada
ayat pertama dengan lita’nasu ilaiha agar kalian menjadi
jinak/ramah/senang. Secara implisit, dinyatakan pula bahwa tujuan diciptakannya
manusia dengan berpasang-pasangan adalah agar menjadi senang dan ramah. [14]
Agar
tercipta sakinah itu, keluarga sebaiknya menjadi tempat tinggal yang dapat
dijadikan tumpuan menjaga diri dan masyarakat, serta mengembangkannya untuk
menciptakan ketenteraman dan keselamatan. Karenanya, keluarga harus dijadikan
tempat tinggal yang penuh dengan kebahagiaan agar seluruh anggota keluarga
betah di rumah dan selalu merindui.
Sesuai dengan firman Alla swt., dalam surat an-Nahl ayat 80 artinya:
“Dan allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal”. [15]
Kedua, mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan
jiwa dari kehendak buruk. Ulama tafsir terkemuka indonesia, Quraisy Shihab
mengatakan: Mawaddah adalah cinta plus. Orang yang di dalam hatinya ada
mawaddah tidak akan memutuskan hubungan, seperti apa yang terjadi pada orang
yang bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan,
sehingga pintiu-pintunya pun tertutup untuk dimasuki keburukan. [16]
Jika
melihat surat Ar-Rum, ada mufassir yang berpendapat bahwa mawaddah
adalah jima’ (persetubuhan), sedangkan rahmah adalah anak. Menurut
Al-Mawardi terdapat 3 pengertian mawaddah, yaitu: 1) mawaddah
adalah mahabbah; 2) mawaddah adalah cinta besar (membara); 3)
sikap suami dan istri yang saling menyayangi. Sedangkan raghib al-Ishfani
mendefinisikan mawaddah dengan perasaan cintaakan sesuatu yang disertai
dengan perasaan ingin memiliki obyek yang dicintainya.
Ketiga, adanya rahmah. Quraish Shihab
mengatakan: “rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul didalam hati
akibat menyaksikan ketidakberdayaan. Rahmah menghasilkan kesabaran, murah
hati, tidak cemburu buta, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak menjadi
pemarah apalagi pendedam”. Kualitas mawaddah wa rahamah didalam rumah
tangga tersebut, apakah bahagia atau tidak. [17]
Oleh
karena itu, pasangan suami istri masing-masing harus berusaha sunguh-sungguh
untuk mendatangkan kebaikan bagi pasangannya, keluarganya serta mencegah segala
yang menganggunya, meskipun dilakukan dengan susah payah. Untuk memperoleh rahmah
itu, seseorang harus berusaha dengan keras. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S.
Al-Baqaraha ayat 218 yang terjemahnya adalah “sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.
Keluarga
dalam Islam juga memiliki prinsip etis dan kesetaraan. Prinsip tersebut dalam
keluarga sakinah terwujud dalam pengembangan nilai-nilai perlakuan baik
sebagai dasar kehidupan keluarga. Perlakuan baik ini mendapat pengakuan
al-Quran yang menegaskan nilai kebersamaan dan berorientasi pada upaya
menumbuhkan semangat kerja sama, menciptakan solidaritas, dan meningkatkan
saling pengertian. Prinsip ini juga terscermin dalam pola interaksi keluarga
sakinah yang dijalin oleh hak dan kewajiban yang disyaratkan Allah swt. pada
ayah, ibu, dan anak. kesadaran akan hak dan kewajiban antaranggota keluarga
merupakan pilar utama keluarga sakinah, sedang pengikatnya adalah rasa cinta (mawaddah)
dan kasih sayang (rahmah). [18]
Dalam pembentukan rumah tangga yang sakinah
(bahagia, sejahtera, damai dan kekal) perlu dipahami dan didasarkan pada dua
unsur pokok yaitu moril dan materil. [19]
Unsur moril menggambarkan sikap pergaulan
antara suami istri yang meliputi:
a.
Tahabub, yakni sikap
saling mencintai, saling mengasihi dan saling menghargai satu sama lain. Kalau
sikap ini ada dalam suatu kehidupan rumah tangga, maka segala beban yang harus
diemban ringan dirasakannya.
b.
Taawun, yakni sikap
saling tolong menolong, isi mengisi dan saling melengkapi. Tidak ada manusia
yang sempurna. Karena itu suami istri harus benar-benar menyadari hal ini serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
c.
Tasyawur, yakni
apabila suami istri akan berbuat sesuatu, mereka hendaknya saling terbuka dan
musyawarah dengan akal yang sehat untuk mencari mufakat dan bukan memaksakan
kehendak sendiri. Hasil kesepakatan itulah yang hendaknya dilaksanakan dengan
penuh tanggung jawab dan bertawakal kepada Alla. Jangan bertindak sendiri tanpa
sepengetahuan yang lain.
d.
Taaffi, yakni saling
memaafkan, dimana suami istri asalanya sama-sama orang lain yang berbeda
keinginan yang kadang kala satu sama lain sering bertentangan. Agar bahtera
rumah tangga berjalan dengan baik, maka suami istri hendaknya buka mencari dan
mengumpulkan perbedaan, akan tetapi memilih persamaan-persamaan. Karena itu,
antara suami dan istri harus terjalin sikap saling maaf-memaafkan.
Adapun unsur materil yang banyak
menggambarkan kebendaan yang dibutuhkan dalam hidup berumah tangga demi
terbinanya keluarga yang harmonis, kekal, bahagia dan sejahtera. Unsur materil
ini meliputi:
a.
Kecukupan pangan. Sebab cinta
tanpa beras akan menciptakan malam yang tidak berkesan dan pagi hari perut
keroncongan. Oleh sebab itu, sebelum menikah hendaklah sudah mempunyai lapangan
kerja yang dapat menghasilkan uang dan setelah menikah pun suami istri harus
bekerja keras.
b.
Kecukupan sandang. Manusia sebagai
hamba Allah dan sebagai makhluk sosial yang beradab memerlukan sandang sebagai
penutup aurat untuk beribadah kepada Allah SWT. Suami istri juga memerlukan
hidup yang layak dalam pergaulan masyarakat sesuai dengan tingkat sosialnya.
Hal ini juga menuntut suami istri untuk bekerja keras dan memohon pertolongan
kepada Allah SWT.
c.
Berkeluarga juga memerlukan papan
sebagai tempat tinggal dan tempat usaha mencari nafkah hidupnya. Jangan sampai
setelah menikah suami istri numpang terus menerus pada orang tua, sebab hal ini
akan menimbulkan berbagai masalah dalam kehisupan berumah tangga. Karena itu,
usaha dan kerja keraslah demi rumah tangga yang mandiri dan bebas dari campur
tangan pihak ketiga.
d.
Pendidikan. Dalam hidup berumah
tangga juga perlu tercipta suasana pendidikan Islam, baik itu diperoleh sebelum
menikah atau setelahnya. Pendidikan disini tidak berarti pendidikan formal
semata, akan tetapi lebih mengarah kepada pemahaman falsafah hidup berumah
tangga yang didasarkan kepada iman yang kokoh, ketakwaan serta akhlak yang
terpuji.
e.
Kesehatan. Dalam hidup berumah
tangga, kesehatan sangat penting sekali artinya. Bahkan tidak hanya dalam hidup
berumah tangga, tetapi bagi manusia seluruhnya, kesehatan sangat penting
adanya. Oleh sebab itu, suami istri harus memelihara jasmani dan rohani agar dapat
melaksanakan tugas masing-masing.
Hiburan. Agar suami istri dapat menjalankan
tugasnya masing-masing tidak diliputi oleh ketegangan, dan stres, maka
sekali-kali perlu menikmati hiburan segar yang sehat.
5. Ciri-ciri Keluarga Sakinah
Masyarakat
Indonesia mempunyai istilah yang beragam terkait dengan keluarga yang ideal.
Ada yang menggunakan istilah keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah (Keluarga
Samara), keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah dan berkah, keluarga maslahah,
keluarga sejahtera dan lain-lain. Semua konsep keluarga yang ideal dengan nama
yang berbeda ini sama-sama mensyaratkan terpenuhinya kebutuhan bathiniyah dan
lahiriyah dengan baik.
Adapun
ciri keluarga sakinah yang dimaksud mencakup hal-hal sebagai berikut: [20]
a. Berdiri diatas fondasi
keimanan yang kokoh,
b. Menunaikan misi ibadah dalam
kehidupan,
c. Mentaati ajaran agama,
d. Saling mencintai dan
menyayangi,
e. Saling menjaga dan menguatkan
dalam kebaikan,
f. Saling memberikan yang
terbaik untuk pasangan,
g. Musyawarah menyelesaikan
permasalahan,
h. Membagi peran secara
berkeadilan,
i. Kompak mendidik anak-anak,
j. Berkontribusi untuk kebaikan
masyarakat, bangsa dan negara.
6. Tujuan Terbentuknya Keluarga
Sakinah
Tujuan
terbentuknya sebuah keluarga adalah menciptakan keluarga yang sakinah
(tentram), mawaddah (cinta dan gairah) dan rahmah (kasih sayang).[21] Hal ini sebagaimana dalam surah Ar-Rum ayat 21
yang berbunyi: [22]
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Terjemahnya:
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Sementara menurut
undang-undang perkawinan Bab 1 pasal 1, menyatakan bahwa, “perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. [23]
Sementara itu menurut
Nadhirah Mudjab, yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Wahyu, menyatakan bahwa tujuan
terbentuknya suatu keluarga muslim adalah:
a. Mengatur potensi
kelamin/kebutuhan seks yang sehat dan bersih
b. Melahirkan keturunan yang
mulia
c. Merasakan kasih sayang dan
penderitaan hidup
d. Mendidik generasi baru
e. Menjaga nasab
Sebuah
keluarga Muslim merupakan landasan utama bagi terbentuknya masyarakat Islami.
Di dalam keluarga Muslim terkandung sebuah konsep religius (al-mafhum
al-dini), yaitu bahwa para anggota keluarga diikat oleh sebuah ikatan agama
untuk mewujudkan kepribadian yang luhur. Konsep ini menekankan bahwa sebuah
keluarga Muslim harus dapat membentuk para anggotanya agar memiliki
kepribadian yang luhur ini. Memiliki sifat kasih dan sayang, cinta sesama,
menghormati orang lain, jujur, sabar, qana’ah dan pemaaf merupakan di antara
indikator bagi sebuah kepribadian yang luhur. Orangtua mempunyai andil yang
cukup besar dalam membentuk kepribadian seorang anak, karena memang
dilingkungan keluargalah anak akan dibentuk, dalam arti pertumbuhan dan
perkembangan oleh orangtua.
Menurut
Nasy’at Al-Masri dalam bukunya yang berjudul “Menyambut Kedatangan Bayi”,
mengatakan :Adapun pembinaan dan pendidikan
bagi seorang anak muslim dan muslimah yang baik, dapat direalisasikan
dalam tiga masalah: pertama; menumbuhkan dan mengembangkan segi-segi positif,
membangkitkan bakat-bakatnya yang luhur dan kreativitasnya yang membangun dengan mewarnai ketiganya dengan
warna dan corak Islam. Kedua; meluruskan
kecenderungan dan wataknya yang tidak baik, dengan mengarahkannya menuju
perangai dan watak yang terpuji. Ketiga; menguatkan keyakinan, bahwa tujuan
utama dari penciptaan manusia, ialah untuk mengabdikan kepada Allah S.W.T. [25]
Dalam
membina kebahagiaan dan ketentraman keluarga ada syarat yang perlu diketahui,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Zakiah Darajat yang dikutip oleh Prof. Dr. H.
Wahyu, sebagai berikut; Beberapa persyaratan yang perlu diketahui dan dilakukan
oleh setiap pasangan suami isteri, agar dapat tercapai kebahagiaan dan
ketentraman dalam keluarga. Syarat-syarat itu antara lain, hendaknya suami
isteri itu:
1.
Saling mengerti antara suami isteri
2.
Mengerti latar belakang pribadinya
3.
Mengerti diri sendiri
4.
Saling menerima
5.
Terimalah dia sebagaimana adanya
6.
Terimalah hobbynya dan kesenangannya
7.
Terimalah keluarganya
8.
Saling menghargai
9.
Menghargai perkataan dan perasaan
10.
Menghargai bakat dan keinginannya
11.
Saling mempercayai
12.
Percaya akan pribadinya
13.
Percaya akan kemampuannya
14.
Saling mencintai
15.
Lemah lembut dalam berbicara
16.
Tunjukkan perhatian kepadanya
17.
Bijaksana dalam pergaulan
18.
Jauhi sikap egoistis
Sementara itu orang tua
sebagai Pembina keluarga yang pertama dan utama dalam sebuah rumah tangga wajib
bertanggungjawab terhadap anak-anaknya, hal ini sebagai amanah dari Allah Swt.
Yang dititipkan kepada orangtua. Islam membebani kedua orangtua untuk
bertanggungjawab memelihara kehidupan, pendidikan, pertumbuhan fisik, dan
perkembangan mental anak, dengan pertimbangan bahwa anak merupakan amanat yang
dibebankan kepada mereka, dan Allah akan menghisab mereka atas amanat tersebut.
Hal itu untuk menghindarkan si anak dari
beban melindungi dan mendidik dirinya sendiri yang tidak mungkin dilakukannya
karena ketidakmampuannya untuk melakukan itu. Untuk itu Islam melimpahkan tanggungjawab
mendidik anak kepada kedua orangtua.[27]
[1] Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu
Sosial, (Bandung : PT. Eresco, 1992), h.55.
[2] Wahyu, Ilmu Sosial Dasar,
( Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 57.
[3] Wahyu, Ilmu Sosial Dasar,
h. 57.
[4] Wahyu, Pokok-pokok Materi
Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam, (Banjarmasin: 2010) Bagian 9, h. 1.
[5] Kementerian
Agama RI, Fondasi Keluarga Sakina “Bacaan
Mandiri Calon Pengantin”, (Jakarta, Ditjen Bimas Islam Kemenag
RI, 2017), h. 11.
[6]Wahyu, Pokok-pokok Materi
Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam,
[9] Tim Dosen PIF-Malang, Pengantar
Dasar-Dasar Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 4.
[10] Departemen Agam RI, Pedoman
Pelaksanaan PendidikanA gama Islam, (Jakarta : 1985/1986), h. 9
[12] Nasarudin Umar, Argumen
Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 1990), h. 82.
[13] Nasarudin Umar, Argumen
Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Quran, h. 82.
[14] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, (Cet.
II, Yogyakarta: Kaukaba, 2015), h. 179.
[15] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, (Cet.
II, Yogyakarta: Kaukaba, 2015), h. 179.
[16] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, h.
179.
[17] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif,
h. 180.
[18] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif,
h. 182.
[19] Dedi Junaidi, Bimbingan
Perkawinan, Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Quran Dan As-Sunah, (Cet.
I, Jakarta: Akademika Presindo 2000), h. 228-230.
[20] Kementerian
Agama RI, Fondasi Keluarga Sakina “Bacaan
Mandiri Calon Pengantin”, (Jakarta, Ditjen Bimas Islam Kemenag
RI, 2017), h. 12-13.
[21] Wahyu, Pokok-pokok Materi
Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam, (Banjarmasin: 2010) Bagian 9, h. 4.
[24] Wahyu, Pokok-pokok Materi
Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam, (Banjarmasin: 2010) Bagian 9, h.
5.
[25] Nasy’at Al-Masri, Uklhti
Al Muslimah Kaifa Tastaqbilin Mauludiki Al-Jadid, diterjemahkan H. Salim
Basyarahil , dengan judul: Menyambut Kedatangan Bayi, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1994). Cet.14, h.60.
[26] Wahyu, Pokok-pokok Materi
Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam, (Bagian 9, Banjarmasin: 2010), h.
6.
[27] Dr. Al-Husaini Abdul Majid
Hasyim, dkk, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1994), h. 35.