A.
PENDAHULUAN
Setelah
berakhirnya masa khulafaur rasyidin; Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali,
kepemimpinan dunia Islam dipegang oleh Bani Umayyah pada tahun 661 M. Muawiyah
dibaiat sebagai khalifah pertama memimpin dunia Islam dari ibu kota Damaskus.
Setelah itu, ia menyerahkan kekuasaannya kepada putranya Yazid tahun 680 M.
Saat itulah pertama kali terjadi sistem dinasti di dalam Islam dan terus
berlangsung hingga tahun 1924 M.
Selama
1292 tahun kekhalifahan, beberapa dinasti silih berganti memimpin umat Islam
dunia. Pergantian dinasti yang pertama adalah tatkala Bani Abbasiyah mengadakan
pemberontakan terhadap Bani Umayyah sekitar tahun 740-an. Lalu mereka membangun
sebuah kerajaan muslim yang terkuat sepanjang masa.[1]
Peradaban Islam mengalami
puncak kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah. Di buktikan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan di awali dengan menerjemahkan naskah–naskah
asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat ilmu
pengetahuan dan perpustakaan Bait al- Hikmah, dan terbentuknya
madzhab- madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan
berfikir yang menjadi ciri khas pada masa Abbasiyah lambat laun mengalami
kemunduran sebab-sebab kemunduran Dinasti ini di latar belakangi oleh faktor
internal dan eksternal. Masa berkuasa Dinasti Abbasyiah berlangsung cukup lama
dan banyak melahirkan para tokoh pembesar Islam yang terkenal hingga saat ini
dengan berbagai pemikirannya.
B.
PEMBAHASAN
1. Revolusi Dan Awal
Pendirian Bani Abbasyiah
Pada
tahun 747 M, orang-orang Abbasiyah merasa saat untuk revolusi pun telah tiba.
Propinsi pertama yang dikuasai Abbasiyah adalah propinsi Merv, karena banyak
pendukung mereka di sana sehingga mudah melengserkan amir kota Merv dari
kepemimpinannya. Kemudian mereka beranjak menuju Kufah, salah satu kota basis
pendukung mereka juga.
Bertemulah
dua kelompok pasukan di Irak; pasukan Daulah Umayyah dengan membawa bendera putih
sebagai representasi orang-orang Arab dan pasukan gabungan Abbasiyah, Syiah,
dan orang-orang Persia dengan membawa bendera hitam sebagai representasi
orang-orang non-Arab. Pertempuran ini terjadi pada 25 Januari tahun 750 di
daerah dekat sungai Zab, Irak. Peperangan ini dimenangkan oleh orang-orang
Abbasiyah dan pendukungnya, meskipun jumlah mereka lebih sedikit dari pasukan
Daulah Umayyah.
Kemenangan
ini menandai jatuhnya Daulah Umayyah setelah beberapa kekalahan dalam
perang-perang sebelumnya. Khalifah Marwan II melarikan diri ke Mesir lalu
ditangkap dan dieksekusi. Saat-saat itu merupakan masa paling mengerikan bagi
keturunan Umayyah. Mereka semua ditangkap dan dibunuh, kecuali Abdurrahman
al-Umawi yang berhasil melarikan diri ke Andalusia, Spanyol, lalu mendirikan
kerajaan Bani Umayyah II. Setelah itu ia dikenal dengan nama Abrurrahman
ad-Dakhil.
Dinasti
Abbasiyah pun berdiri menggantikan Dinasti Umayyah memimpin dunia Islam.
Khalifah pertama mereka adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin
Abbas bin Abdul Muthalib atau yang dikenal dengan Abul Abbas as-Safah. Ia
disebut dengan as-Safah yang berarti menumpahkan banyak darah karena ia banyak
membunuh manusia sehingga dapat duduk di kursi khalifah.
Kerajaan
ini berdiri selama 524 tahun, dan Baghdad sebagai ibu kotanya. Kerajaan ini
dianggap sebagai kerajaan Islam yang terkuat sepanjang masa dan berhasil
menjadikan umat Islam merasakan zaman keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Meskipun berhasil memberikan nilai-nilai keadilan terhadap
orang-orang non-Arab dan lebih memberikan peran kepada mereka di masyarakat,
namun Dinasti Abbasiyah gagal memenuhi janji mereka untuk mengembalikan era
kekhalifahan khulafaur rasyidin di masa pemerintahan mereka.
Dinasti ini pun berasal dari
nama keluarga Bani Hasyim, yakni seleluhur dengan nabi Muhammad SAW. Yang
diambil dari nama paman beliau al Abbas, yang secara resmi diplokamirkan
oleh Abd Allah Al Shaffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abd Allah ibn Abbas.
Keturunan paman nabi Muhammad inilah yang disebut dengan bani Abbas. Yang mana
keturunan al Abbas ini mengklaim dirinya lebih baik menggantikan posisi nabi
ketika beliau wafat, dari pada Ali bin abi Thalib, yang mana mereka menganggap
paman nabi inilah yang lebih berhak, ketimbang keponakan nabi. Pada awal mula
pemikiran ini belum muncul ketika nabi meninggal, tetapi mengemuka ketika cucu
Ali bin abi Thalib, yang kekaligus pemimpin syiah al Khaisaniyah, atau kelompok
terbesar keturunan Ali yang melakukan perlawanan kepada Ummawiyah. Dari Dinasti
Abbasiyah ini tidak begitu terpengaruh dari peradaban Arab, seperti halnya pad
masa Dinasti Ummawiyah dikarenakan perpindahan ibukota dari Damaskus ke Bagdad.
Selain itu yang mempengaruhi berdirinya khilafah bani
Abbasiyah adalah terdapatnya beberapa kelompok umat yang sudah tidak mendukung
kekuasaan imperium bani Umayah yang notabenenya korupsi, sekuler dan memihak
sebagian kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij [2] serta kaum Mawali yaitu
orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari Persi. Mereka merasa di
perlakukan tidak setara dengan kelompok Arab karena pembebanan pajak yang
terlalu tinggi kelompok inilah yang mendukung revolusi Abbasiyah
Kekuasaan bani Abassiyah berlangsung dalam kurun
waktu yang sangat panjang berkisar tahun 132 H sampai 656 H (750 M-1258 M) yang
dibagi menjadi 5 periode: [3] Periode pertama (132
H/750 M- 232 H/847 M). Di sebut periode pengaruh Persia pertama. Periode kedua (232 H/847 M- 334 H/945 M). Di sebut
masa pengaruh Turki pertama. Periode
ke tiga (334 H/ 945 M – 447 H/1055 M). Masa kekuasaan dinasti Buwaih atau
pengaruh Persia kedua. Periode
ke empat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M). Merupakan kekuasaan dinasti bani Saljuk
dalam pemerintahan atau pengaruh Turki dua. Periode ke lima (590 H/1194 M – 565 H/1258 M).
Merupakan masa mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban islam.
2.
Masa
Keemasan Peradaban Islam Bani Abbasiyah.
Pada periode pertama
pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani
Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun
750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya
terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh
besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya.
Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang
ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak
bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim
al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim
al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing
baginya.
Dinasti abbasiyah, pada masa kekuasaannya memberikan
kemajuan bagi kalangan umat Islam, sehingga masa ini dikenal dengan The Golden
Age of Islamic. Kalau dasar-dasar pemerintahan Khilafah daulah Abbasiyah
diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak
keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M). namun dari ketujuh khalifah ini yang
paling terkenal dan paling besar pengaruhnya dalam perkembangan peradaban Islam
ada di masa Khalifah Harun al Rasyid dan anaknya al Ma’mun.
Pada masa al-Mahdi
perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui
irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan
besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa
kekayaan. Bashrah
menjadi pelabuhan yang penting.[4]
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di
zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya
al-Ma'mun (813-833 M), serta khalifah-khalifah sesudahnya
hingga sampai masa Al Mutawakkil. Pada masa Harun Al-Rasyid kekayaan negara banyak
dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan mendirikan rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter, dan farmasi. Sementara pada masa Al-Ma’mun, ia gunakan untuk
menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, sabi dan bahkan
penyembah binatang untuk menerjemahkan berbagai buku berbahasa asing kedalam
Bahasa Arab, serta mendirikan Bait al Hikmah sebagai pusat penerjemahan
dan akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan. Didalamnya diajarkan berbagai
ilmu , seperti kedokteran, matematika, geografi, dan filsafat. Disamping itu
Masjid-masjid juga merupakan sekolah, tempat untuk memepelajari berbagai
disiplin ilmu dengan bebagai halaqat didalamnya. Pada masanya kota
Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. [5]
Kekhalifahan
Bani Abbasiyah biasa dikaitkan dengan Khalifah Harun al-Rasyid. Harun al-Rasyid
yang digambarkan sebagai Khalifah yang paling terkenal dalam zaman keemasan
kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam memerintah Khalifah digambarkan sangat
bijaksana, yang selalu didampingi oleh penasihatnya, yaitu Abu Nawas, seorang
penyair yang kocak, yang sebenarnya adalah seorang ahli hikmah atau filsuf
etika. Zaman keemasan itu digambarkan dalam kisah 1001 malam sebagai negeri
penuh keajaiban.
Di
masa-masa inilah para Khalifah mengembangkan berbagai jenis Kesenian, terutama
kesusastraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Berbagai buku bermutu
diterjemahkan dari peradaban India maupun Yunani. Dari India misalnya, berhasil
diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita
Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga diperoleh
dari terjemahan yang berasal dari India. Selain itu juga diterjemahkan
buku-buku filsafat dari Yunani, terutama filsafat etika dan logika. Salah satu
akibatnya adalah berkembangnya aliran pemikiran Muktazilah yang amat
mengandalkan kemampuan rasio dan logika dalam dunia Islam. Sedangkan dari
sastra Persia terjemahan dilakukan oleh Ibnu Mukaffa, yang meninggal pada tahun
750 M. Pada masa itu juga hidup budayawan dan sastrawan masyhur seperti Abu
Tammam (meninggal 845 M), Al-Jahiz (meninggal 869 M), Abul Faraj (meninggal 967
M) dan beberapa sastrawan besar lainnya. [6]
Kemajuan
ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang sastra dan seni saja juga berkembang ,
meminjam istilah Ibnu Rusyd, Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu Aqli. Ilmu-ilmu Naqli
seperti Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain. Dan juga
berkembang ilmu-ilmu Aqli seperti Astronomi, Matematika, Kimia, Bahasa,
Sejarah, Ilmu Alam, Geografi, Kedokteran dan lain sebagainya. Perkembangan ini
memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, dalam ilmu bahasa
muncul antara lain Ibnu Malik At-Thai seorang pengarang buku nahwu yang sangat
terkenal Alfiyah Ibnu malik, dalam bidang sejarah muncul sejarawan besar
Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh besar lainnya yang memiliki pengaruh yang besar
bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Popularitas Daulah Abbasiyah
juga mencapai puncaknya di zaman Khalifah al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang
banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit,
lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling
tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat dan tak tertandingi. [7]
3. Faktor-Faktor
Kemajuan Masa Bani Abbasyiah
Masyarakat Islam pada masa Abbasyiah ini, mengalami
kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat yang dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu:
a. Faktor
Politik
1) Pindahnya
ibu kota negara dari Syam ke Irak dan Bagdad sebagai ibu kotanya (146 H).
Bagdad pada waktu itu merupakan kota yang paling tinggi kebudayaannya dan sudah
lebih dulu mencapai tingkat ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dari Syam.
2) Banyaknya
cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana.
Khalifah-khalifah Abbasyiah misalnya al Mansur, banyak mengangkat pegawai
pemerintahan dan istana dari cendekiawan-cendekiawan Persia. Yang terbesar dan
banyak pengaruh pada mulanya ialah keluarga Barmak dan kemudian turun temurun
ke anak dan cucu-cucunya. Keluarga Barmak ini berasal dari Bactra dan dikenal
sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan serta filsafat dan condong
pada paham Muktazilah. Mereka disamping sebagai wazir, juga menjadi pendidik
anak-anak khalifah.
3) Diakuianya
Muktazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa khalifah al Ma’mun pada tahun
827 M. Muktazilah adalah aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan
berfikir kepada manusia. Aliran ini telah berkembang dalam masyarakat terutama
pada masa dinasti Abbasyiah I.
b. Faktor
Sosiografi
1) Meningkatnya
kemakmuran umat Islam pada waktu itu. menurut Ibn Khaldun sebagaimana dikutip
oleh Ahmad Amin, ilmu itu seperti industri, banyak atau sedikitnya tergantung
pada kemakmuran, kebudayaan, dan kemewahan masyarakat. Kemakmuran yang dicapai
oleh umat Islam ketika itu seakan-akan hanya terdapat dalam alam khayal.
2) Luasnya
wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Persia dan Romawi yang masuk
Islam kemudian menjadi muslim yang taat. Hal ini menyebabkan perkawinan
campuran yang melahirkan keturunan yang tumbuh dengan memadukan kebudayaan
kedua orang tuanya. Hal ini banyak dilakukan oleh khalifah, panglima, gubernur,
menteri dan pembesar lainnya. Golongan keturunan ini sangat menonjol pada zaman
Abbasyiah karena mereka mempunyai banyak keistimewaan dalam bentuk tubuh,
kecerdasan akal, kecakapan berusaha, berorganisasi, bersiasat, dan terkemuka
dalam segala bidang kebudayaan.
3) Pribadi
beberapa khalifah pada masa itu, terutama pada masa dinasti Abbasyiyah I,
seperti Al Mansur, Harun al Rasyid, dan al- Ma’mun yang sangat mencintai ilmu
pengetahuan sehingga kebijaksanaannya banyak ditujukan kepada ilmu pengetahuan.
4) Selain
itu semua, menurut Ahmad Amin, karena permasalahan yang dihadapi oleh umat
Islam semakin kompleks dan berkembang. Maka, untuk mengatasi semua itu
diperlukan pengaturan, pembukuan dan pembidangan ilmu pengetahuan, khususnya
ilmu-ilmu naqli yang terdiri dari ilmu-ilmu agama, bahasa dan adab.
Adapun ilmu aqli seperti kedokteran, manthiq, dan ilmu-ilmu riyadhiyat,
telah dimulai oleh umat Islam dengan metode yang teratur.
c. Aktifitas
Ilmiah
Ada beberapa aktifitas ilmiah yang berlangsung
dikalangan umat Islam pada masa dinasti Abbasyiah yang mengantar mereka
mencapai kemajuan dibidang ilmu pengetahuan yaitu; [8]
1) Penyusunan
Buku-Buku Ilmiah, dibagi dalam tiga fase. Fase pertama, pencatatan
pemikiran atau hadis atau hal-hal lain pada kertas kemudian dirangkap. Fase
kedua, pembukuan pemikiran-pemikiran atau hadis-hadis Rasulullah dalam satu
buku. Fase ketiga, adalah penyusunan dan pengaturan kembali buku yang
telah ada kedalam pasal-pasal dan bab-bab tertentu.
2) Penerjemahan,
aktifitas penerjemahan pada masa Abbasiyah ini semakin berkembang dengan pesat.
Misalnya penerjemahan buku-buku ilmu falaq dari bahasa India kedalam bahasa
arab dan buku-buku tentang perhitungan lainnya. Selain itu juga dilakukan
penerjemahan buku-buku yunani, hingga pada masa al Ma’mun didirikan Bait al
Hikmah di Bagdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang,
perpustakaan dan lembaga penerjemahan. Selain di Kota Bagdad aktivitas
penerjemahan juga terjadi di Kota Marwa (Persia Tengah) dan Jundaisabur (Barat
Persia).
3) Pensyarahan,
menejelang abad ke 10 M, kegiatan kaum muslimin bukan hanya menerjemahkan,
bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan) dan melakukan tahqiq
(pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkaslalu
dalam wujud yang lebih luasdan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan,
analisis dan kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal. Bahkan
dengan kepekaan mereka hasil kritik dan analisis itumemancing lahirnya
teori-teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri.
d. Kemajuan
Ilmu Pengetahuan
Aktivitas ilmiah yang dilakukan oleh kaum muslimin
mengantarkan mereka sampai pada puncak kemajuan ilmu pengetahuan pada masa
Abbasyiah. Penerjemahan yang dilakukan dengan giat menyebabkan mereka dapat
menguasai warisan intelektual dari tiga jenis kebudayaan, yaitu Yunani, Persia,
dan India yang pada akhirnya kaum muslimin mampu membangun kebudayaan Ilmu baik
ilmu agama maupun filsafat dan sains (ilmu umum).
a) Ilmu Tafsir
Ilmu
tafsir yaitu ilmu yang menjelaskan tentang makna/kandungan ayat Al Qur’an,
sebab-sebab turunnya ayat / Azbabun nuzulnya, hukumnya dan lain-lain. Adapun
ahli tafsir yang termasyur ketika itu antara lain; Ibnu Jarir At Thabari dengan
tafsirnya Al-Qur’annul Azim sebanyak 30 juz, dan Abu Muslim Muhammad bin Bahr
Isfahany (mu’tazilah), tafsirnya berjumlah 14 jilid.
b) Ilmu Hadis
Ilmu hadist adalah ilmu
yang mempelajari tentang hadist dari sunat, perawinya, isi dll. Pada masa itu
bermunculan ahli-ahli hadist yang besar dan terkenal beserta hasil karyanya,
antara lain; 1) Imam Bukhari, , kitabnya yang termasyur adalah al-Jami’us shohih
dan terkenal dengan shohih Bukhori. 2) Imam Muslim, Kitabnya Jaim’us Shohih dan terkenal dengan ”Shahih
Muslim”. 3) Abu Dawud dengan kitab hadistnya berjudul “Sunan Abu Dawud”.
4) Ibnu majah dengan kitab hadistnya Sunan Ibnu majah. At-Turmidhi dengan kitabnya “Sunan Turmidhi”.
Ilmu
fikih, yaitu ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum Islam (segala sesuatu
yang diwajibkan, dimakruhkan, dibolehkan dan yang diharamkam oleh agama Islam.
Beberapa tokoh fikih yang termasyur ialah; Imam Abu Hanifah ( 80 – 150H / 700 –
767M ) beliau menyusun madzhabnya yaitu madzhab Hanafi. Imam Malik Bin Anas,
lahir di Madinah tahun 93 H / 788 M dan meninggal di Hijaz pada tahun 170 H /
788 M, beliau menyusun madzhab Maliki. Imam Syafii nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Idris bin Syafi’i (150 – 204H/767 – 820M ), sewaktu berumur 7
tahun sudah hafal Al-Qur’an dan menyusun madzhabnya yaitu madzhab Syafi’i. Imam
hambali ( 164 – 241H / 780 – 855M ), beliau menyusun madzhabnya, yaitu madzhab
Hambali. Para mujtahidin mencurahkan segala
kemampuannya untuk mendapatkan ilmu-ilmu praktis dalam syariat Islam sehingga
umat Islam dengan mudah dapat melaksanakan.
d) Ilmu Tasawuf
Ilmu tasawuf, yaitu ilmu
yang mengajarkan cara-cara membersihkan hati. Pikiran dan ucapan dari sifat
yang tercela, sehingga tumbuh rasa taqwa dan dekat kepada Allah. Untuk dapat
mencapai kebahagiaan abadi (bersih lahir dan bathin). Orang muslim yang
menjalani kehidupan tasawuf disebut “Sufi”. Tokohnya antara lain; Rabi’ah Adawiyah (lahir
di Baghdad tahun 714 M ajaran tasawufnya dinamakan “Mahabbah”. Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Ghozali (1059 –
111 M) – hasil karyanya yang terkenal adalah “Ihya Ulumuddin”. Abdul
Farid Zunnu Al Misri, lahir tahun 156 H / 773 M – 245 H / 860 M), beliau dapat
membaca Hieroglif yang ditinggalkan di zaman Firaun (Mesir).
2) Ilmu-Ilmu Umum
a) Filsafat
Filsafat
islam adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakekat
segala sesuatu yang ada, sebab asal hukumnya atau ketentuan-ketentuannya
berdasarkan al-Quran dan hadist. Adapun totkoh filsafat
Islam antara lain; Al-Kindi ( 185 – 252H / 805 – 873M ), terkenal dengan sebutan
“Filosof Arab” beliau menerjemahkan buku-buku asing kedalam bahasa Arab. Bermacam-macam
ilmu telah dikajinya, terutama filsafat. Al Kindi bukan hanya Filosof, tetapi
juga ahli ilmu matematika, astronomi, formakologi dan sebagainya. Al Farabi (
180 – 260H / 780 – 863M ) beliau menerjemahkan buku-buku asing kedalam bahasa
Arab. Al Farabi banyak menulis buku mengenai logika, matematika, fisika,
metafisika, kimia, etika dan sebagainya. Filsafatnya mengenai logika antara
lain dalam bukunya “Syakh Kitab al Ibarah Li Aristo”, menjelaskan logika adalah
ilmu tentang pedoman yang dapat menegakkan pikiran dan dapat menunjukkannya
kepada kebenaran. Dia digelari sebagai guru besar kedua, setelah Aristoteles
yang menjadi guru besar pertama, buah karyanya banyak diterjemahkan ke dalam
bahasa Eropa. Ibnu Sina (Abdullah bin Sina) ( 370 – 480H / 980 – 1060M ). Di Eropa
dikenal dengan nama Avicena. Sejak kecil ia telah belajar bahasa arab,
geometri, fisika, Logika, Teologi Islam, Ilmu-ilmu Islam dan Kedokteran. Beliau
seorang dokter di kota Hamazan Persia menulis buku-buku kedokteran dan
mengadakan penelitian tentang berbagai macam jenis penyakit, beliau juga
seorang filosof yang terkenal dengan idenya mengenai faham serba wujud atau
Wahdatul wujud, juga ahli fisika dan ahli jiwa. Pada usia 17 tahun ia sangat
terkenal. Karangan Ibnu Sina lebih dari dua ratus buku. Karangan beliau hingga
kini masih banyak dijumpai di perpustakaan Eropa dan Amerika. [11]
b) Kedokteran
Pada
masa daulah Bani Abbasiyyah kedokteran mengalami perkembangan dan kemajuan,
khususnya tatkala pemerintahan Harun ar Rosyid dan khalifah-khalifah besar
sesudahnya. Pada waktu itu sekolah-sekolah tinggi kedokteran didirikan,
sehingga banyak mencetak sarjana kedokteran. Diantara dokter-dokter muslim tersebut
yang terkenal antara lain; Hunain Ibnu
Iskak, lair pada tahun 809 M dan meninggal pada tahun 874 M. beliau adalah
dokter spesialis mata, karyanya adalah buku-buku tentang berbagai penyakit, dan
banyak menerjemahkan buku-buku kedokteran yang berbahasa Yunani kedalam bahasa
Arab. Ibnu Sina, disamping filosof juga sebagai tokoh kedokteran, bukunya yang
sangat terkenal dibidang kedokteran adalah Al-Qonun Fi Al-tib dijadikan
buku pedoman kedokteran di Universitas-universitas Eropa maupun negara-negara
Islam. [12]
c)
Astronomi
Astronomi adalah ilmu yang mempelajari perjalanan matahari, bumi,
bulan dan bintang-bintang dan planet-planet yang lain. Tokoh-tokohnya antara
lain; Abu Mansur Al Falaqi, Jabir Al Batani, beliau
pencipta alat teropong bintang yang pertama.
d) Matematika
Para tokohnya antara lain; Al-Khawarizmi
(194 – 266 H) Beliau telah menyusun buku Aljabar, dan yang menemukan angka nol
(0). Angka 1-9 berasal dari Hindu, yang telah dikembangkan oleh umat Islam
(Arab). Umar Khayam, Buku karyanya adalah Treatise On Algebra dan
buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Perancis.
e) Sejarah
Sejarah ialah ilmu yang
mempelajari tentang berbagai peristiwa masa lampau yang meliputi waktu dan
tempat peristiwa itu terjadi, pelakunya, peristiwanya dan disusun secara
sistimatis. Dengan mempelajari sejarah seseorang dapat mengambil pelajaran dan
manfaatnya dan hikmahnya dari peristiwa tersebut. Tokoh sejarah antara lain; Ibnu Qutaibah (828 M –
889 M0 dengan hasil karyanya Uyun Al Akhbar yang berisi sejarah politik
negeri-negeri islam. At Thabari (839 M – 923 M) menulis tentang sejarah para rasul dan
raja-raja. Ibnu Khaldun 1332 M – 1406 M hasil karyanya Al-Ihbar banyaknya 7
jilid dan setiap jilidnya berisi 500 halaman.
d. Perkembangan Kebudayaan
Kemajuan
yang dicapai Daulah Bani Abbasiyyah, disamping ilmu pengetahuan, berkembang
pula bidang kebudayaan yang ditandai dengan munculnya berbagai karya seni. Dalam bidang seni rupa telah mengalami kemajuan yang pesat antara
lain pahat, ukir, sulam, seni lukis, kaligrafi dan lain-lain. Hal ini bisa
dilihat di dinding-dinding istana khalifah, masjid, gedung yang indah dan
megah. Seni ukir, kaligrafi, hasil karyanya bisa diliha di Masjid-masjid,
istana khalifah dan gedung-gedung yang megah. Seni sulam menghiasi permadani,
pakaian, hiasan dinding dan sebagainya. Demikian juga dengan seni lainnya
diantaranya:
1) Seni Lukis mengalami kemajuan dan lahirlan
pelukis terkenal yang bernama Abdul Karim mansur yang nama aslinya Firdaussi.
Beliau yang pertama kali membuat buku bergambar di dunia ini dengan judulnya
Syah Nama. Buku ini telah disalin kedalam bahasa Perancis, Inggris dan Jerman.
2) Seni Bangunan, berdiri gedung-gedung yang kokoh
dengan arsiteknya yang indah dan megah, antara lain : istana Raja, Masjid, dan
lain-lain.
3) Seni Suara, Seni Musik dan Seni Tari juga mengalamii kemajuan sebagai bukti
muncullah penyanyi-penyanyi terkenal, sekolah, sekolah musik dan pabrik-pabrik
alat musik. Demikian juga dengan seni bahasa, bermuncullah sastrawan-sastrawan
terkenal.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan
kebudayaan dan pemikiran
Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti
seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di
antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan,
misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu,
lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1) Maktab/Kuttab
dan masjid,
yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar
bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu
agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
2) Tingkat
pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar
daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya
masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama.
Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama
bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di
rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas,
dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih
merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana
orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.[13] Perkembangan lembaga pendidikan itu
mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini
sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab,
baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah,
maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling
tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu: [14]
1) Terjadinya
asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang
lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa
pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi
berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham
tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia,
sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping
itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan
sastra. Pengaruh India
terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan
pengaruh Yunani
masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama
filsafat.
2) Gerakan
terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah
al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan
adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung
mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang
banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga
berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
4. Faktor-Faktor
Kemunduran Masa Bani Abbasyiah
Sebagai mana terlihat dalam periodesasi khilafah
Abbasyiah, masa kemunduran dimuilai sejak periode kedua, namun demikian
faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah pada periode
itu sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung
berperan sebagai kepala pegawai sipil. Tetapi jika khalifah lemah, mereka akan
berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain
yang menyebabkan khilafah Abbasyiah hancur. Beberapa diantaranya adalah sebagai
berikut: [15]
a. Luasnya wilayah yang harus di kendalikan
Ini sama sekali bukanya tidak dapat diatasi, tetapi salah satu
persyaratan untuk mempersatukan wilayah yang sangat luas harus ada suatu
tingkat saling percaya yang tinggi di kalangan penguasa-penguasa utama dan
pelakasana pemerintah,. Penghukuman mati, sering setelah disiksa, adalah
perlakuan biasa terhadap para wazir yang di berhentikan, pemenjaraan dan
penyitaan harta adalah praktek normal. Dalam keadaan seperti itu hampir bisa dipastikan
bahwa setiap orang pasti akan mencari keuntungan bagi dirinya dengan merugikan
orang lain, dan akibatnya adalah makin sulit bagi khalifah untuk memperoleh
orang-orang yang akan di tunjuk sebagai gubernur propinsi yang bisa dipercaya.
b. Meningkatnya ketergantungan pada tentara bayaran.
Hal ini berhubungan dengan
perkembangan-perkembangan dalam tekhnologi militer. Pemakaian tentara bayaran
juga berarti bahwa makin banyak uang di keluarkan makin kuat tentara yang
dimiliki. Demikianlah untuk mempertahankan posisinya khalifah memerlukan
kekuatan militer yang cukup untuk menanggunlangi beberapa gubernur pembangkang
pada saat yang sama, tetapi beban keuangan ini makin lama makin sulit diatasi.
c. Keuangan
Begitu kekuatan militer merosot, khalifah tidak
sanggup mengirimkan pajak ke Baghdad dan penghasilan menurun dan ini bisa
berarti ada pemberontakan oleh tentara atau kekuatan militernya berkurang
sehgingga berkurang pula kemampuan nya mengumpulkan pajak. Karena tidak ada
bank yang dimintai pinjaman uang oleh khalifah, maka jalan satu-satunya dalam
kedaruratan keuangan ini ialah menerapkan denda yang besar, atau penyitaan
begitu saja, dari orang-orang kaya yang bagaimanapun sebagaian besar kekayaanya
mungkin di dapat secara tidak sah.
Berbagai hal lain juga disebutkan yang memperparah
kesuliatan keuangan. Tentara di beri tanah bukanya uang, dan ini mengurangi
jumlah yang harus dibayar keperbendaharaan Negara. Untuk menghindari penyitaan
orang-orang memberikan harta berdasar waqaf dan ini bisa di berikan kepada
keluarganya sendiri.
d. Persaingan antar bangsa.
Khilafah Abbasyiah didirikan oleh bani Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh
persamaan nasib yaitu sama-sama ditindas pada masa bani Umayyah. Ada
sebab-sebab dinasti Abbas memilih orang- orang Persia dari pada orang Arab.
Pertama, sulit, bagi orang-orang arab untuk melupakan bani Umayyah. Kedua,
orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ushabiyah kesukuan. Meskipun demikian,
orang-orang Persia itu merasa puas. Mereka menginginkan dinasti dengan raja dan
pegawai dari Persia pula. Sementara bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang
mengalir ditubuh mereka adalah (ras )istimewa dan mereaka menganggap rendah
bangsa non Arab di dunia Islam.
Setelah Al Mutawakkil, seoratng khalifah yang lemah
naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi sejak saat itu kekuasaan
bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang
Turki. Posisi ini kemudian di rebut oleh bani Buwaih, bangsa Persia, pada
periode ketiga, dan selnjutnya beralih pada dinasti Saljuk.
e. Kemerosotan ekonomi
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran.
Pendapatan Negara menurun. Sementara pengeluaran meningkat lebih besar.
Menurunya pendapatan karena makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak
terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, di peringanya pajak,
sedangkan banyak dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak mau
membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh
kehidupan para khalifah semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam dan para
pejabat melakukan korupsi.
Konflik yang dilatar belakangi agama tak terbatas
pada konflik anatara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi’ah saja.
Tetapi juga antara aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung rasional
dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan salaf. Perselisihan antar dua
golongan ini di pertajam oleh Al Ma’mun, dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai
madzhab resmi Negara dan melakukan mihnah. Pada masa Al Mutawakkil (847-861)
aliran Mu’tazilah di batalkan sebagai aliran Negara dan golongan salaf kembali
naik daun. Tidak toleranya pengikut Hambali (salaf) terhadap Mu’tazilah yang
rasional telah menyempitkan horizon intelektual.
g. Ancaman dari luar
Adapun faktor eksternal yang menyebabkan khilafah
Abbasyiah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung
beberapa gelombang atau periode yang menelan banyak korban. Kedua, serangan
tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Pengaruh salib juga terlihat dalam
penyerbuan tentara Mongol, Hulago Khar, panglima tentara Mongol sangat membenci
Islam karena ia banyak di pengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen
Nestorian.
h. Pertentangan internal keluarga
Didalam pemerintahan terjadi konflik keluarga yang
berkepanjangan. Ribuan orang terbunuh akibat peristiwa Al Mansur melawan
Abdullah bin Ali pamanya sendiri dan Al Masum Al Mu’tasim melawan Abbas bin Al
Ma’mun. Konflik ini meyebabkan keretakan psikologis yang dalam dan
menghilangkan solidaritas keluarga, sehingga mengundang campur tangan dari
luar.
i.
Kehilangan kendali dan
munculnya daulah-daulah kecil
Faktor kepribadian sangat menentukan pula
keberhasilan seorang pemimpin. Kelemahan pribadi diantara khalifah Abbasyiah
mengakibatkan kehancuran system khilafah. Terutama karena terbuai kehidupan
mewah, perdana menteri seenaknya menentukan kebijakan para khalifah . mereka
menggunakan kekuatan dari luar untuk mempertahankan pemerintahanya seperti
orang Turki, Seljuk, dan Buwaihi-khawarizmi, kekuatan dari luar lebih
mengakibatkan kehancuran.
C.
KESIMPULAN
Dinasti
Abbasyiah merupakan dinasti yang melanjutkan kekuasaan
Bani Umayyah. Dinamakan Abbasiyah,
karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman
Nabi Muhammad saw.. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Popularitas daulah
Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya
al-Ma'mun (813-833 M), serta khalifah-khalifah sesudahnya
hingga sampai masa Al Mutawakkil.
Selama dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya. Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Umat Islam banyak
mengalami kemajuan yang sangat pesat, di antaranya dalam bidang Politik,
Sosiografi, aktivitas ilmiah, ilmu pengetahuan (agama maupun umum), dan
pemerintahan. Walaupun banyak kemajuan dalam perkembangan Islam di masa ini,
namun Dinasti Abbasiyah pada akhirnya mengalami kemunduran yang disebabkan oleh
banyak faktor, baik yang sifatnya internal maupun yang sifatnya eksternal.
Daftar Pustaka
A. Hasymy,
Sejarah Kebudayaan Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam
2, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003).
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani,
2012).
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)
Fatah
Syukur, Sejarah Peradaban
Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009).
H. Syamsuddin Nst, Sejarah
Peradaban Islam, (Riau: Badan Penelitian Dan
Pengembangan Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau, 2007).
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Beragai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1978).
Kumaidi dkk, Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta: Akik
Pusaka, 2009)
Muntoha, Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Cet. V, Yogyakarta: UII Press, 2016)
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam
Klasik, (Cet. 2, Jakarta: Prenada Media, 2004)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010).
Sulasman dan Suparman, Sejarah
Islam di Asia dan Eropa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013).
[6] E. Abdul Aziz Tibrizi, Diktat II Sejarah
Kebudayaan Islam, (Tangerang,: Pon-pest DaaEl-Qolam), h. 46.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam:
Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006), h. 52-53.
[11] H. Syamsuddin Nst, Sejarah Peradaban Islam, (Riau: Badan Penelitian Dan Pengembangan Fakultas
Ushuluddin UIN Suska Riau, 2007), h. 95.
[13] H. Syamsuddin Nst, Sejarah Peradaban Islam, (Riau: Badan Penelitian Dan Pengembangan Fakultas
Ushuluddin UIN Suska Riau, 2007), h. 83.