PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
A.
PENDAHULUAN
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat dan budaya,
maka hampir setiap ritual keagamaan pun dilaksanakan dengan memasukkan unsur
kebudayaan didalamnya, seperti pelaksanakan ritual kematian, pelaksanaan hari
besar Islam, pelaksanaan perkawinan dan lain sebagainya. Salah satu yang paling
banyak menarik perhatian umum dalam pelaksanaan ritual keagamaan di Indonesia
adalah pelaksanaan perkawinan dengan menggunakan adat daerah yang dipercayai
oleh masyarakat daerah tersebut. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita yang ingin membina rumah tangga yang bahagia dan kekal
abadi sampai maut memisahkan. Dalam masyarakat Indonesia pada umunya memang perkawinan
merupakan ritual keagamaan yang sering dilaksanakan dengan menggunakan adat
masing-masing daerah.
Perkawinan adalah upaya yang dilakukan oleh
sepasang mahluk hidup berlawanan jenis
untuk memperoleh keturunan demi melestarikan golongannya diatas muka bumi ini.
Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang
sakral, sangat dianjurkan oleh agama, diatur dalam undang-undang
perkawinan, dan tentunya agar seorang manusia yang memang diciptakan berpasang-pasangan.
Ditinjau dari sudut agama islam, perkawinan
adalah salah satu langkah yang bernilai ibadah. Misalnya dalam ajaran agama
islam disebutkan bahwa manusia diciptakan tuhan sebagai mahluk yang
berpasang-pasangan dengan tujuan untuk
melanjutkan keturunan dimuka bumi. Untuk itu diatur ketentuanketentuan agar
manusia melaksanakan perkawinan. Ayat berbunyi
:
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Terjemahnya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa
tentram dan dijadikan- Nya diantaramu kasih sayang. Sungguh itu merupakan
tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir.” (Ar-Rum :21). [1]
Banyak hal yang menarik dalam pelaksanaan ritual perkawinan
di Indonesia, antara lain penggunaan pakaian adat yang berbeda-beda di
masing-masing daerah dan tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda masing-masing
daerah. Hal ini tak jarang menjadi daya tarik tersendiri dalam ragam budaya di
negara ini. Salah satu daerah yang masih sangat menjaga dan melestarikan
adat-istiadat dalam pelaksanaan ritual perkawinan adalah Provinsi Gorontalo,
yang sangat dikenal dengan pakaian adat khasnya dan prosesinya yang banyak
menggunakan bahasa Gorontalo. Dalam
pelaksanaanya, perkawinan selain untuk memebuhi ketentuan agama, juga mengikuti
nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Setelah upacara akad nikah yang
merupakan ketentuan agama, perkawinan dilanjutkan
Perkawinan Adat Gorontalo memiliki ciri khas tersendiri dalam
pelaksanaannya, sebab penduduk Provinsi Gorontalo memiliki penduduk yang hampir
seluruhnya memeluk agama Islam, sudah tentu adat istiadatnya sangat menjunjung
tinggi kaidah-kaidah Islam. Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh
masyarakat Gorontalo yaitu, “Adati hula hula Sareati–Sareati hula hula to
Kitabullah” yang artinya, Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan
Kitabullah. Pengaruh Islam menjadi hukum tidak tertulis di Gorontalo
sehingga mengatur segala kehidupan masyarakatnya dengan bersendikan Islam.
Termasuk adat perkawinan di Gorontalo yang sangat bernuansa Islami.
Prosesi perkawinan dilaksanakan menurut Upacara adat yang
sesuai tahapan atau Lenggota Lo Nikah. Tahapan pertama disebut Mopoloduwo
Rahasia, yaitu dimana orang tua dari pria mendatangi kediaman orang tua
sang wanita untuk memperoleh restu perkawinan anak mereka. Apabila keduanya
menyetujui, maka ditentukan waktu untuk melangsungkan peminangan atau Tolobalango.
Tolobalango adalah peminangan secara resmi yang dihadiri oleh pemangku adat
Pembesar Negeri dan keluarga melalui juru bicara pihak keluarga pria atau Lundthu
Dulango Layio dan juru bicara utusan keluarga wanita atau Lundthu
Dulango Walato, Penyampaian maksud peminangan dilantunkan melalui
pantun-pantun yang indah. Dalam Peminangan Adat Gorontalo tidak menyebutkan
biaya perkawinan (Tonelo) oleh pihak utusan keluarga calon pengantin
pria, namun yang terpenting mengungkapkan Mahar atau Maharu dan
penyampaian acara yang akan dilaksanakan selanjutnya. Pada waktu yang telah
disepakati dalam acara Tolobalango maka prosesi
selanjutnya adalah mengantar harta atau depito dutu.
Upacara adat tolobalango atau antar harta yang telah
dijelaskan ini menunjukan bahwa pelaksanaannya sungguh sangat sakral dan penuh
dengan makna, namun seiring berkembangnya zaman pelaksanaan hal yang sesakral
ini semakin memudar di dalam masyarakat adat Gorontalo. Pelaksanaan tolobalango
di Gorontalo mulai jauh dari makna-makna yang sesungguhnya bahkan semakin
merubah makna sejarah yang ada didalamnya, sehingga apa yang disampaikan di dalamnya
kebanyakan orang tidak mampu memahaminya dengan baik. Unsur kebudayaan
Gorontalo saat ini mulai dirubah sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin
canggih. Nilai-nilai yang terkandung didalmnya seakan lewat begitu saja, seakan
tanpa makna, padahal kalau hal ini mampu dipahami dengan baik terutama oleh
calon mempelai yang akan menjalani perkawinan maka ini akan mampu membantu
berlangsungnya proses kehidupan berumah tangga setelah terjadi perkawinan.
B.
PEMBAHASAN
a.
Prosesi Adat Modutu Yang Dilaksanakan Dengan Adat
Gorontalo
Dutu “Modutu” menghantarkan adat harta
perkawinan. Acara ini adalah tahapan ke enam dari aspek adat perkawinan secara
adat gorontalo pelaksanaannya merupakan forum-formil yang disamping dihadiri
oleh pemangku adat dan
keluarga, juga turut dihadiri oleh unsur pemerintah yang ikut manyaksikan
hantaraan adat harta perkawinan beserta biayanya. Dutu sebagai keharusaan
adat,bagi masyarakat suku gorontalo, untuk mengikuti tahapan-tahapan kegiatan
tata cara adat perkawinan berlaku, dan merupakan hak sebagai anggota
masyarakat, untuk memberlakukan adat
kebesaran dalam pelaksanaan perkawinan yang suci dan sakral.
Dutu disebut juga adat momu’o
ngango, yang merupakan acara tersendiri, hakekatnya adalah pembahasan
terakhir yang menyangkut teknis pelaksanaan pada hari perkawinan. Adat Momu’o
ngango bisa (Modutu), telah melibatkan unsur pemerintah setempat, dan pegawai
syara’ dahulu diwajibkan buwatulo totolu. Adat Momu’o Ngango pada
hakekatnya, merupakan pengukuhan keluarga dan disaksikan oleh pemerintah
setempat dan pegawai syarah serta seluruh kerabat, tetangga dan handai
taulan. Pemberitahuan secara
umum dalam adat ini diwujudkan dengan bunyi-bunyian, berupa
handalo, oleh petugas adat.[2]
Depito
Dutu adalah suatu prosesi adat perkawinan suku Gorontalo, di mana keluarga
calon pengantin pria mengantar mahar perkawinan kepada calon pengantin wanita.
Keluarga pengantin pria akan membawa mahar yang telah disepakati sebelumnya
pada saat prosesi adat tolobalango (peminangan). Bersama mahar itu juga
terdapat sejumlah harta lainnya, biasanya segala kebutuhan pengantin wanita
berupa busana, perhiasan, kosmetik hingga pakaian dalam. Selain itu juga
keluarga calon pengantin pria akan membawa bermacam-macam buah-buahan,
bumbu-bumbu, hingga beras.
Arak-arakan
harta dari calon pengantin pria itu akan di bawa ke rumah calon pengantin
wanita dengan kendaraan yang telah dihiasi dengan janur kuning, diiringi
pukulan rebana dan lagu-lagu tradisional Gorontalo berisi pantun, doa dan
harapan kebahagian dalam berumah tangga nantinya. Kendaraan yang membawa
hantaran ini diikuti oleh iring-iringan kendaraan yang mengangkut keluarga
besar calon pengantin pria.
Di
rumah calon pengantin wanita, telah bersiap menyambut kedatangan tamu, sejumlah
kerabat dan keluarga besar calon pengantin wanita. makanan yang manis-manis
telah disiapkan untuk menjamu tamu yang datang. Calon mempelai wanita pun telah
didandani untuk dipamerkan kepada keluarga besar calon mempelai pria. Dalam
acara ini calon mempelai pria tidak ikut datang ke rumah calon mempelai wanita.
Dengan
persembahan pantun dan kata-kata bijak dalam bahasa Gorontalo, keluarga calon
pengantin pria mempersembahkan hantaran yang sudah disiapkan. Hantaran harta
untuk calon pengantin wanita itu akan memasuki rumah berurutan mulai dari yang
utama dahulu yaitu mahar, kemudian disusul pernak pernik kebutuhan calon
pengantin wanita, dan yang terakhir buah-buahan. Setelah duduk dan menikmati
hidangan dari keluarga calon mempelai wanita, satu persatu keluarga calon
mempelai pria mendatangi kamar yang telah disiapkan untuk melihat calon
mempelai wanita yang sudah didandani cantik. [3]
Upacara modutu yang
dilaksanakan dalam tradisi Gorontalo ini pada dasarnya merupakan sebuah wujud
kebudayaan sebuah daerah. Pada umumnya setiap kebudayaan mempunyai tujuh unsur
dasar, yaitu kepercayaan, nilai, norma dan saksi, simbol, teknologi, bahasa,
dan kesenian. [4]
1.
Kepercayaan
Kepercayaaan berkaitan dengan pandangan tentang
bagaimana dunia ini berpotensi. Kepercayaan itu bisa berupa pandangan-pandangan
atau interprestasi- interprestasi tentang masa lampau, bisa berupa
penjelasan-penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi
tentang masa depan, dan bisa juga berdasarkan commonsense, akal sehat,
kebijaksanaan yang
dimiliki suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu kombinasi antara
semua hal tersebut.
2.
Nilai
Jika kepercayaan menjelaskan apa itu sesuatu,
nilai menjelaskan apa yang seharusnya terjadi. Nilai itu luas, abstrak, standar
kebenaran yang harus dimiliki, yang layak diinginkan dan layak dihormati.
Meskipun mendapat pengakuan luas, nilai-nilai punjarang ditaati oleh setiap
anggota masyarakat. Namun nilailah yang menentukan suasana kehidupan kebudayaan
dan masyarakat.
3.
Norma dan Sanksi
Jika nilai itu cita-cita abstrak, norma adalah
suatu aturan khusus, atau seperangkat aturan tentang apa yang tidak harus
dilakukaan oleh manusia. Norma mengungkapkan bagaimana
manusia seharusnya berprilaku atau
bertindak. Norma adalah standar
yang ditetapkan sebagai garis pedoman bagi setiap aktivitas manusia lahir dan
kematian, bercinta, berperang, apa yang harus dimakan dan apa yang harus
dipakai, kapan dan dimana orang bisa bercanda, melucu, dan sebagainya.
4.
Teknologi
Pengetahuan dan teknik-teknik suatu bangsa
dipakai untuk membangun kebudayaan materialnya. Dengan pengetahuan dan
teknik-teknik yang dimilikinya, suatu bangsa membangun lingkungan fisik sosial, dan psikologi yang khas.
5.
Simbol
Simbol adalah sesuatu yang dapat
mengeksperesikan atau memberi makna-sebuah salib atau sesuatu patung Budha, sesuatu
konstitusi, suatu bendera. Banyak simbol berupa obyek-obyek fisik yang telah
memperoleh makna kultural dan dipergunakan untuk tujuan yang bersifat simbolik
ketimbang tujuan-tujuan
instrumental.
6.
Bahasa
Menurut Haroof
(1962 : 43) Bahasa adalah gudang kebudayaan, berbagai arti yang dibeirkan
manusia terhadap obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, dan perilaku merupakan
jantung kebudayaan. Dan bahasa
merupakan sarana utama untuk menangkap, mengkomunikasikan, mendiskusikan,
mendiskualifikasiakan, mengubah, dan mewariskan arti-arti ini kepada generasi baru.
7.
Kesenian
Setiap
kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi artristik. Itu tidak berarti, bahwa semua
bentuk seni dikembangkan dalam setiap kebudayaan. Bagaimanapun kebutuhan akan ekspresi estetis
berkaitan dengan karakteristik- karakteristik dasar masing-masing masyarakat,
dan tidak ada masyarakat-bangsa yang memiliki karakteristik dasar yang sama.
Karena itu, setiap bangsa memiliki ekspresi-ekspresi estisis yang
khas.
Ketujuh unsur dasar kebudayaan ini juga yang ada dalam
setiap prosesi adat yang dilkasanakan di Gorontalo. Termasuk pelaksanaan adat
modutu, yang didalamnya ditanamkan unsur kepercayaan, bagi sebagian besar
masyarakat yang melaksanakan adat unsur kepercayaan ini adalah sesuatu hal yang
utama sebab menanamkan nilai-nilai adat didalam diri manusia harus dengan
kepercayaan, kalau tanpa rasa percaya semua akan sia-sia untuk dijalani.
Kemudian unsur nilai yang juga tidak kalah pentingnya dengan unsur kepercayaan,
kalau rasa percaya sudah ditanamkan dalam diri maka unsur nilai-nilai yang
dikandungnya pun akan mudah untuk diterapkan dalam diri siapa saja yang
menjalaninya. Kemudian unsur norma dan sanksi, oleh sebagian besar masyarakat
yang melaksanakannya melihat hal ini adalah sebuah aturan adat yang tidak
tertulis maka sudah pasti juga pelaksanaan ritual adat ini juga diyakini ada
unsur sanksi didalamnya, walaupun berupa sanksi yang tidak berwujud. Kemudian
unsur teknologi yang di dalamnya merupakan unsur pendukung dari pelaksanaan
adat, sebab teknologi ini mampu merubah kondisi dari setiap pelaksanaan adat
yang juga harus menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Kemudian unsur
simbol yang ada dalam setiap pelaksanaan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan,
sebab adat merupakan simbol dari suatu daerah. Kemudian unsur bahasa, merupakan
unsur terpenting juga dalam pelaksanaan adat karena ciri khas dari setiap
pelaksanaan adat di Gorontalo itu adalah memasukkan unsur bahasa daerah di
dalamnya. Dan yang terakhir adalah unsur kesenian, keindahan dari setiap
pelaksanaan adat di Gorontalo termasuk pelaksaan upacara modutu tak lepas dari
adanya unsur seni didalamnya, yang menambah keindahan pelaksanaan sebuah
tradisi.
b.
Pergeseran Nilai-Nilai
Adat Modutu
Perkawinan diberbagai suku bangsa yang ada di indonesia
biasanya diukur berdasarkan adanya mas kawin, acara perkenalan, acara meminang,
acara akad nikah dan pesta untuk kaum kerabat dan handai taulan. Hal yang sama
juga terjadi dalam prosesi adat perkawinan di Gorontalo yang banyak mengandung
nilai-nilai kebaikan didalamnya, namun saat ini nilai-nilai yang dulunya sangat
sakral dan dijalani dengan penuh hikmat perlahan-lahan mulai terjadi pergeseran
nilai-nilai adatnya.
Walaupun kecendurungan dari sebuah tatanan nilai akan
terus dipertahankan, tetapi ketika nilai diperhadapkan dengan situasi dan
kondisi sosial masyarakat yang labil dan moderis, maka kemungkinan akan terjadi
degrasi nilai dan sosial akan semakin terbuka terkait dengan masalah ini Soerjono
mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik
yang material maupun yang imaterial. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa
pergeseran nilai-nilai budaya dalam konteks sosial bukan hanya meluluhlanatakan hal-hal yang bersifat material tetapi
juga dapat mengikis aspek non materialnya.
Soerjono menyatakan bahwa pergeseran atau perubahan
nilai-nilai sosial sebagai sesuatu variasi dan cara hidup yang telah diterima,
baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan, material,
komposisi penduduk, ideologi maupun ada karena adanya penemuan- penemuan baru
dalam masyarakat berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan dari suatu masyarakat tidak akan bertahan lama atau selamanya. Oleh
karena perkembangan dari suatu kebudayaan tidaklah terlepas dari
kondisi perkembangan sosial
disekitarnya, perubahan-perubahan sosial akan terus melanda suatu budaya
dalam hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor interen maupun eksteren dari
pengaruh budaya tertentu. [5]
Selanjutnya Selo
Soermardjan Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada lembaga
kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya,
nilai-nilai, sikap-sikap dan pola prilaku diantara kelompok dalam masyarakat. [6]
Sejumlah pendapat diatas
dapat dikatakan bahwa perubahan nilai-nilai sosial merupakan
perubahan-perubahan pada tatanan prilaku sosial serta turut berpengaruh pada
sistem nilai kelompok sosial serta turut berpengaruh pada sistem nilai maupun sikap serta pola tingkah
laku kelompok sesuai tertentu, bersifat tidak terulang dan dapat terjadi akibat
pengaruh-pengaruh sosial baik dari dalam maupun dari luar sistem sosial
tersebut.
Dalam upacara adat modutu
di Gorontalo yang terjadi saat ini dapat kita lihat realita dalam masyarakat
bahwa telah terjadi pergeseran nilai-nilai adat yang dikandungnya, yang
sebenarnya merupakan hal pokok dalam pelaksanaan prosesi adat, antara lain
adalah:
a.
Nilai kekeluargaan dan
solidaritas
Seluruh rangkaian upacara
adat modutu yang dilaksanakan di Gorontalo, tak lepas dari keterlibatan
keluarga secara utuh yang merupakan bentuk solidaritas yang dibangun. Namun
akhir-akhir ini nilai kekeluargaan yang dibangun sudah mulai terkikis oleh
perubahan zaman, terutama bagi masyarakat yang semakin modern. Dulunya nilai
kekeluargaan yang dibangun dalam penyelenggaraan adat modutu masih sangat
terasa, seperti dalam hal persiapan sampai dengan pelaksanaan, berkumpul
bersama merencanakan serta turut serta dalam mempersiapkan sajian makanan pada
saat pelaksanaan upacara adat modutu. Namun saat ini oleh karena semakin berkembangnya
zaman dan kesibukan masing-masing orang dalam pekerjaan maka nilai ini rasanya
tidak seperti dulu lagi, semua sudah dipercayakan kepada orang yang bersedia
mengurusnya, makanan sudah ada ketring yang menyiapkan bahkan ada yang sudah
menyerahkan kepada pihak ketiga untuk semua urusan sampai dengan proses
pernikahan. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada nilai kekeluargaan yang sejak
dulu ditanamkan dalam prosesi adat yang dilaksanakan di Gorontalo, walaupun
tetap masih ada yang mempertahankan nilai kekeluargaan ini dalam pelaksanaan
adat di Gorontalo.
b.
Nilai pendidikan
Dalam prosesi adat pada
umumnya mengandung unsur nilai pendidikan didalamnya, termasuk adat modutu yang
banyak mengandung nilai-nilai pendidikan didalamnya yang biasanya disampaikan
lewat tuja’i dan prosesinya yang unik, namun yang terjadi saat ini apa
yang menjadi nilai pendidikan didalamnya ternyata tidak mampu diserap dan
diterapkan dalam kehidupan setelahnya, baik calon pengantin yang menjalaninya
maupun para tamu undangan yang hadir pada saat itu. Hal ini dipengaruhi oleh
sebagian besar orang Gorontalo terutama anak-anak muda zaman sekarang yang
tidak mau lagi belajar bahasa Gorontalo yang merupakan bahasa daerah yang
merupakan bahasa pemersatu warganya, padahal semua prosesi adat di Gorontalo
termasuk prosesi adat modutu, semuanya dilaksanakan dengan menggunakan bahasa
daerah Gorontalo, kalau saat ini sudah gengsi orang menggunakan bahasa
Gorontalo maka siapa lagi yang akan meneruskan upacara-upacara adat Gorontalo
di masa yang akan datang. Sehingga dapat dikatakan bahwa upacara adat modutu
yang dilaksanakan dengan mewah dan meriah saat ini hanya merupakan simbol adat,
yang penting sudah melaksanakan paham atau tidak, diterapkan atau tidak itu
urusan belakangan.
c.
Nilai etika
Nilai etika dalam
pelaksanaan adat modutu juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dengan
nilai-nilai yang lain, saat ini telah terjadi pergeseran nilai dalam etika
pelaksanaan adat modutu yang banyak mengandung makna sosial dan keagamaan.
Pergeseran nilai etika yang terjadi saat ini dapat kita lihat dari begitu
banyaknya para calon pengantin wanita yang sebenarnya dalam makna adat modutu
itu diibaratkan seperti emas atau barang langka yang belum pernah dilihat orang
terutama keluarga calon mempelai laki-laki yang pada saat upacara adat modutu
ini menjadi obyek yang disembunyikan dan membuat orang penasaran untuk
melihatnya, namun saat ini semua itu telah berubah. Calon pengantin wanita
dianggap sudah bukan barang langka lagi atau emas murni lagi, karena
kemurniannya justru telah hilang pada saat proses pacaran, bahkan ada yang
sudah hamil diluar nikah pada saat prosesi adat ini, sehingga hal ini justru
merusak nilai makna yang sesungguhnya dalam pelaksanaan adat yang modutu.
Selain itu kecanggihan teknologi dan perkembangan zaman yang semakin meningkat
mampu merubah makna adat yang sesungguhnya, tidak sedikit para calon pengantin
wanita saat ini yang justru memposting kecantikannya di media sosial sesaat
sebelum pelaksanaan adat modutu dengan menggunakan balutan pakaian adat
pengantin yang banyak memunculakan komentar dari orang-orang yang melihatnya,
lalu apa lagi yang harus disembunyikan kalau sudah seperti ini, apa gunanya
pelaksanaan adat modutu yang seharusnya dilaksanakan untuk memperkenalkan calon
mempelai wanita kepada pihak calon mempelai laki-laki, padahal semua orang
sudah pernah melihatnya. Hal ini terjadi akibat dari ketidak pahaman tentang
makna adat yang sesungguhnya.
d.
Nilai kesakralan
Prosesi adat diberbagai
daerah di Indonesia pada umumnya sangat menjaga kesakralan pelaksanaan adatnya,
sehingga tidak ada satupun yang terlewati dalam proses pelaksanaannya. Namun
khusus di Gorontalo dalam prosesi adat modutu yang dilaksanakan saat ini telah
terjadi transformasi dalam runtut pelaksanaannya, seharusnya yang dilaksanakan
sejak dulu itu adalah antara adat tolobalango dan adat modutu itu dilaksanakan
dalam rentan waktu yang berbeda dan terpisah, namun yang terjadi saat ini
adalah pelaksanaan yang dilaksanakan secara bersamaan antara tolobalango dan
modutu, yang sudah pasti merubah makna modutu yang sebenarnya, sehingga
kesakralan dari adat modutu pun tidak lagi seperti sedia kala. Hal ini biasanya
dilakukan untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya.
Harsojo menambahkan dalam
buku yang berjudul “ Pengantar
Anthropologi” berkembang pola teori yang juga mempelajari perubahan
kebudayaan dengan menggunakan pendekatan sejarah yaitu :
1.
Discovery dan invention yakni bahwa discovery
adalah setiap penambahan pada pengetahuan dan invention dalam penerapan yang
baru dari pengetahuan.
2.
Difusi penyebaran dapat dikatakan sebagai
proses penyebaran unsur kebudayaan dari satu individu keindividu lain, dan dari
satu masyarakat kemasyarakat lain.
3.
Akulturasi yakni meliputi fenomena yang timbul
sebagai hasil, jika kelompok- kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang
berbeda-beda bertemu dengan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus dan menimbulkan perubahan dalam pola
kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau pada kedua-duanya.
Asimilasi
yakni suatu fase dari akulturasi dan akulturasi adalah suatu aspek dari
perubahan kebudayaan. Asimilasi ialah suatu proses sosial yang telah lanjut
yang ditandai oleh makin kurangnya perbedaan antara individu-individu dan
antara kelompok-kelompok, dan makin eratnya persatuan aksi sikap dan proses
mental yang berhubungan dengan kepentingan dan tujuan yang sama.[7]
Perubahan sosial pada pelaksanaan adat modutu yang
terjadi saat ini sebenarnya tidak menjadi masalah kalau nilai-nilai yang
dikandungnya masih tetap dipertahankan dengan semestinya sebab tujuan dari
pelaksanaan prosesi adat yang sesungguhnya itu adalah makna dan nilai-nilai
didalamnya. Namun saat ini perubahan itu justru merubah makna dan nilai-nilai
yang dikandungnya disebabkan perubahan zaman dan teknologi yang semakin
berkembang. Berbanding terbalik dengan apa yang pernah dilaksanakan oleh nenek
moyang kita dulu, walalupun adatnya dibuat dengan cara yang tradisional dan
primitif namun nilai dan makna menjadi tujuan utamanya, sehingga prosesi adat
yang dilaksanakan tidak berlalu begitu saja tetap akan membekas dalam ingatan
dan akan selalu diterapkan dalam kehidupan selanjutnya terutama kehidupan rumah
tangga.
C.
Kesimpulan
1. Depito Dutu adalah suatu prosesi
adat perkawinan suku Gorontalo, di mana keluarga calon pengantin pria mengantar
mahar perkawinan kepada calon pengantin wanita. Keluarga pengantin pria akan
membawa mahar yang telah disepakati sebelumnya pada saat prosesi adat tolobalango
(peminangan). Bersama mahar itu juga terdapat sejumlah harta lainnya, biasanya
segala kebutuhan pengantin wanita berupa busana, perhiasan, kosmetik hingga
pakaian dalam. Selain itu juga keluarga calon pengantin pria akan membawa
bermacam-macam buah-buahan, bumbu-bumbu, hingga beras.
2. Pada dasarnya pelaksanaan adat modutu itu mengharapkan
makna dan berkah didalamnya, serta nilai-nilai adat yang bisa diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, namun kenyataannya justru telah terjadi pergeseran nilai
dan makna yang sesungguhnya didalam pelaksanaan adat ini. Antara lain
pergeseran nilai kekeluargaan, nilai pendidikan, nilai etika dan nilai
kesakralan. Hal ini mengakibatkan masyarakat yang tidak mampu menyerap dan
menerapkan makna dan nilai itu dalam kehidupan sehari-hari terutama calon
pengantin yang menjalaninya.
Daftar Putaka
Al-Qur’an dan
Terjemah “Mushaf Fatimah”, Pustaka Al-Fatih, Jakarta, 2009
Medi
Botutihe. Tata Upacara Adat Gorontalo.
(Gorontalo: 2003). Hal
142
Rafael.Manusia Dan Kebudayaan Dalam Prespektif Ilmu
Budaya Dasar. Jakarta, Rineka Cipta, 2007. Hal 16
Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.1990), hal 303-306
Harsojo.Sejarah Anthropologi. (Bandung: PT
Putra A Bardin, 1999). Hal :
154-155